SEMUA BERAWAL DARI... (kata itu diberi nama CINTA)

DIsarankan ...

aaaku. Powered by Blogger.

PROLOG

Tri Sulistyo Sebelumnya aku sampekan maap se-gede2-nya, kalo mungkin aja tulisan ato postingan banyak dari copas punya senior2 dan aku lupa ambilnya. Hingga gak aku cantumin sumbernya. Cuman satu yang aku yakinin bila bila senior semua ikhlas...

Babad MADIUN (bagian 11)

YOGYAKARTA SETELAH PERLAWANAN BUPATI MADIUN

Sejak terjadi pemberontakan Pangeran Raden Ronggo Prawirodirjo III terhadap Belanda, disekitar Istana Yogyakarta ditempatkan Pasukan Belanda yang kuat, bahkan setelah Raden Ronggo Prawirodirjo III Gugur, Pasukan Belanda menambah kekuatannya di sekitar Istana. Walaupun Sultan telah memenuhi keinginan Belanda untuk membasmi perlawanan Bupati Madiun, namun Belanda masih belum puas, tanggal 31 Desember 1810 Gubernur Jendral HW Daendels datang ke Istana Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono II diturunkan dari tahta, dan mengangkat putra mahkota Pangeran Adipati Anom dengan gelar Sultan Hamengku Buwono III. Sultan baru ini adalah ayah Pangeran Dipokusumo (Bupati Madiun pengganti Raden Ronggo Prawirodirjo III), Sultan Hamengku Buwono II kemudian disebut Sultan sepuh tidak mempunyai kekuasaan lagi, hanya pada acara tertentu seperti Grebeg Siyam, grebeg Maulud, Grebeg Suro dan Upacara-upacara lainnya, hadir mendampingi Sultan Hamengku Buwono III.
Pangeran Notokusumo dan Pangeran Notodiningrat, yang diserahkan ke Semarang oleh Hamengku Buwono II sebagai jaminan atas janji untuk menangkap hidup atau mati Ronggo Prawirodirjo III, baru di kembalikan ke Istana Yogyakarta tanggal 16 Desember 1811, hal itu pun, karena ada perubahan politik dalam pemerintahan negeri Belanda (Perancis) yaitu, kekalahan Pemerintah Belanda dari Inggris, yang sebenarnya Belanda menginginkan kedua pangeran tersebut untuk di binasakan.

Tanggal 26 Agustus 1811, tentara Inggris yang di pimpin Lord Minto berpusat di India mengepung pusat pemerintahan Belanda di Batavia, Pusat pertahanan pasukan Belanda di Jatinegara jatuh. Gubernur Jendral J.W. Janssens (pengganti Daendels) yang semula Gubernur Kaap Kolonie (Afrika Selatan) menghadapi nasib tragis. J.W. Janssens dan pasukan Belanda mundur ke Semarang, dengan harapan mendapat bantuan Kasultanan dan Kasunanan Mataram, namun tidak mendapat simpati. Kasultanan Yogyakarta termasuk Kabupaten Madiun, bahkan diam-diam membantu tentara Inggris, dengan harapan Belanda segera musnah dari wilayah Yogyakarta. Tanggal 18 September 1811 Belanda akhirnya menyatakan menyerah pada Jendral Auchmuty di Salatiga dengan syarat menanda tangani perjanjian ”Kapitulasi Tuntang” secara yurisdis semenjak itu Nusantara di kuasai Inggris.

Pergantian Pemerintahan Belanda ke tangan Inggris, dimanfaatkan oleh Sultan Sepuh untuk mengambil tahta Kasultanan Yogyakarta kembali, dari tangan Sultan Hamengku Buwono III. 23 September 1811 Sultan Sepuh mengembalikan Sultan menjadi Putra Mahkota kembali. Dalam masa peralihan tersebut dilakukan pembersihan di lingkungan Istana, Pejabat-pejabat yang pro Belanda dan Danuredjo II di tangkap dan dipenjara atau di bunuh.

Setelah Kapitulasi Tuntang, pemerintah Hindia Belanda menyerahkan kekuasaan di Nusantara kepada Pemerintah Britania Raya (Inggris) dengan Gubernur Jendral Sir Thomas Stamford Rafless.

Pada masa Pemerintahan Inggris ini, Sultan Hamengku Buwono II mengajak Kasunanan Surakarta untuk memulihkan hak-hak raja-raja Mataram, termasuk tata cara Upacara protokoler Istana serta berusaha mengadakan perlawanan kepada Pemerintah Inggris. Usaha-usaha perlawanan Sultan Hamengku Buwono II ini membuat Pemerintah Inggris tidak suka. Dengan di bantu Pangeran Notokusumo, tanggal 18 - 20 Juni 1812 Pasukan Inggris yang dipimpin Jendral Gillespie menyerbu Istana Yogyakarta dan terjadi pertempuran hebat, namun Pasukan Inggris berhasil menguasai Istana dan memaksa Hamengku Buwono II turun tahta, Kasultanan diserahkan kembali pada Sultan Hamengku Buwono III (putra mahkota), kemudian Oleh Rafless, Sultan sepuh (Hamengku Buwono II) di tangkap dan diasingkan ke Pulau Pinang kemudian dipindah ke Ambon.

Pada tanggal 1 Agustus 1812 Pemerintah Inggris memaksa Hamengku Buwono III untuk memenuhi keinginan Pemerintah Inggris, yaitu antara lain :
-     Wilayah Kedu, sebagian Semarang, separuh Pacitan, Rembang, Japan, Jipang, Grobogan dan Surabaya menjadi milik Pemerintah Inggris yang diberi ganti kerugian sebesar 100.000 Real per tahun
-     Kasultanan Yogyakarta tidak boleh mempunyai angkatan bersenjata yang kuat, kecuali hanya prajurit-prajurit keamanan Kraton
-     Memberikan sebagian wilayah Kasultanan Yogyakarta kepada Pangeran Notokusumo, atas jasa beliau pada Pemerintah Inggris.

Tanggal 17 Maret 1813 Pemerintah Inggris mengangkat serta membangunkan Istana Pangeran Notokusumo sebagai Pangeran Merdiko di bawah Pemerintah Inggris dengan wilayah Kadipaten Paku Alaman dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam. Tahun 1815 kekuasaan Inggris di Nusantara diserahkan kembali ke Pemerintah Belanda.

Tahun 1820, Bupati Madiun Pangeran Dipokusumo tidak aktif menjalankan roda pemerintahan dikarenakan sakit, maka sesuai tradisi jika penguasa berhalangan dibentuklah perwakilan atau badan perwakilan. Pada waktu itu Patih Raden Tumenggung Tirtoprodjo yang menjadi Pejabat Bupati Madiun. Penerus Trah Prawirodirjo yaitu Raden Ronggo Prawirodiningrat waktu itu belum cukup dewasa

Babad MADIUN (bagian 12)

MASA PERANG DIPONEGORO DI MADIUN
Bupati Madiun Pangeran Raden Ronggo Prawirodiningrat adalah putra ke enam Ronggo Prawirodirjo III dengan ibu suri GKR Maduretno, saudaranya kandungnya ada sebelas, yakni  :
1.    RA Prawironegoro,
2.    RA Suryongalogo,
3.    RA Pangeran Diponegoro,
4.    RA Suryokusumo,
5.    Raden Adipati Yododiningrat (Bupati Ngawi),
6.    Raden Ronggo Prawirodiningrat sendiri (Bupati Madiun),
7.    RA Suronoto,
8.    RA Somoprawiro,
9.    RA Notodipuro, dan
10.  RA Prawirodilogo.
Sedangkan dari ibu selir putri asli Madiun, lahirlah Pahlawan Nasional Raden Bagus Sentot Prawirodirjo. Beliau sejak kecil hidup dilingkungan istana Yogyakarta.

Pada masa pemerintahan Ronggo Prawirodiningrat ini, meletus perang Jawa, atau Perang Diponegoro. Rakyat Madiun dan sekitarnya dari semua golongan mendukung perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap pemerintahan Belanda. Perang Besar ini disebabkan karena Bangsa Belanda selalu ikut campur urusan pemerintahan Kasultanan Yogyakarta dan selalu melakukan penindasan, pemerasan yang tidak berperi kemanusiaan, hingga rakyat semakin menderita.

Pendukung Perang Diponegoro di Kabupaten Madiun, dan di seluruh wilayah Mataram, pada umumnya terdiri dari :
1.     Rakyat Kebanyakan : mereka sudah tidak tahan atas berbagai Pajak yang tinggi mencekik hidup mereka (usaha Belanda dalam menutup Kas akibat kekalahan Perang pada era Napoleon )
2.     Golongan Bangsawan : mereka tidak puas dengan peraturan sewa menyewa tanah yang hanya dihargai sebagai ganti rugi belaka (praktek Monopoli Belanda)
3.     Ulama dan Santri : mereka merasa tidak senang dengan tingkah laku kaki tangan Belanda minum-minuman, berjudi, dan madat yang akhirnya merajalela.
Maka dengan munculnya seorang pemimpin yang berani melawan dominasi Belanda, mereka segera menyambut dengan semangat juang yang membara.

Perang Diponegoro berawal dari rencana Belanda membangun jalan Yogyakarta- Magelang melewati Muntilan, namun berbelok melintasi Makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Pangeran Diponegoro murka, dan meyuruh bawahannya untuk memcabut patok-patok yang telah dipasang Belanda.

Rabu, 20 Juli 1825, Perang meletus dengan adanya serangan mendadak tentara Belanda di rumah Pangeran Diponegoro dan pamannya Pangeran Magkubumi serta para pendukungnya di Tegalrejo.
Perang Diponegoro ini berlangsung 5 tahun, yaitu periode I, tahun 1825-1826. periode II, tahun 1827-1830.

Dari catatan Kapten Inf. P.J.F. Louw dan Kapten Inf. E.S. De Klerck menyatakan sebagai berikut :

Daerah Madiun dan sekitarnya yang ikut berperang adalah :
-   Maospati (tempat Bupati Wedono Madiun yang memegang komando tertinggi wilayah Mancanegara Timur )
-   Wonorejo
-   Kranggan atau Wonokerto
-   Muneng dan Bagi
-   Keniten (Ngawi)
-   Magetan (terdiri dari 3 kabupaten)
-   Bangil (Ngawi)
-   Purwodadi (Magetan)
-   Gorang-gareng (terdiri dari 2 kabupaten)
-   Ponorogo (terdiri dari 6 kabupaten)
-   Caruban
-   Lorog (Pacitan)
-   Panggul (Pacitan)

Selain daerah Kabupaten tersebut diatas, masih ada yang kemungkinan bukan di bawah para Bupati, diantaranya Desa Perdikan, Desa Norowito, Desa Pangrambe, Desa Sentanan dan Desa Apana yaang terdapat di Pacitan, juga Domini-Domini Kerajaan.

Wonorejo adalah daerah penelitian Belanda yang selanjutnya untuk pertama kali orang-orang Belanda menetap disitu. Kranggan atau Wonokarto atau Tunggul, terletak di Madiun Bagian utara, dekat Kota Ngawi di kiri kanan sungai Madiun. Di sebelah tenggara Tunggul terletak di Kabupaten Muneng dengan Ibukota Muneng ( sekarang masih terkenal) di sebelah selatan Ngawi terdapat Kabupaten Keniten, berbatasan dengan Magetan dengan batas alam sungai Jungki. Purwodadi merupakan Kabupaten termuda dengan lokasi di sebelah selatan Keniten, termasuk wilayah Kabupaten Magetan sekarang. Maospati saat itu merupakan tempat bersemayam Bupati Wedono sebagai komando tertinggi untuk wilayah Mancanegara Timur.

Pada waktu permulaan perang, bupati di wilayah Madiun yang memimpin perang sebagai Panglima daerah sebagai berikut :
-      Raden Mas Tumenggung Prawirodirjo (saudara sepupu Pangeran Diponegoro), Bupati Kepala I di Wonorejo Madiun.
-      Raden Mas Tumenggung Prawirosentiko, Bupati kepala II di Tunggul
-      Raden Mas Tumenggung Surodirjo, Bupati Keniten
-      Raden Mas Tumenggung Yudoprawiro, Bupati Maospati
-      Raden Mas Tumenggung Yudokusumo, Bupati Muneng
-      Raden Mas Tumenggung Surodiwiryo, Bupati Bagi
-      Raden Ngabehi Mangunprawiro, Bupati Purwodadi

Dukungan Bupati Wedono Pangeran Raden Ronggo Prawirodiningrat, masih diragukan oleh Pangeran Diponegoro, karena beliau walaupun anti Belanda namun masih setia pada Sultan Yogyakarta. Usia Ronggo Prawirodiningrat waktu itu baru 21 tahun, maka dalam menjabat Bupati Wedono, beliau masih di dampingi oleh beberapa Bupati yang sebagian besar ikut berperang mendukung Pangeran Diponegoro.

Pemimpin peperangan yang berasal dari Madiun terdiri dua orang yaitu : Mas Kartodirjo dan Raden Tumenggung Mangunprawiro, putra Tumenggung Mangunnegoro yang telah gugur dalam medan perang, selaku panglima perang Pangeran Diponegoro. Raden Tumenggung Mangunprawiro menggantikan kedudukan sebagai Bupati dan Panglima perang, walaupun secara yuridis adiknya bernama Raden Tumenggung Yudodipuro yang menjadi Bupati Purwodadi kemudian.

Awal perang terjadi di Kota Ngawi, Kawuh, Gerih dan Kudur Bubuk semuanya di perbatasan Kabupaten Madiun.

Catatan harian, Letnan Jendral De Kock, tanggal 8 Agustus 1825, berdasar laporan spionase, bahwa Kabupaten Madiun, Caruban dan Magetan sudah mengumpulkan pasukan terpilih lengkap dengan berbagai senjata tempur di bawah Panglima Mas Kartodirdjo dan akhir Agustus 1825, tujuh Bupati wilayah Kasunanan Surakarta mulai tidak setia pada Belanda.

Van Lewick, Residen Rembang staf diplomatik Belanda pada Bulan November 1825 berusaha untuk mengadakan perdamaian dengan mengundang bupati-bupati di wilayah Madiun, yaitu: Madiun, Maospati, Magetan, Muneng dan Gorang-Gareng dengan iming-iming tertentu, diharap semua Bupati tidak membantu Perang Diponegoro dan mengakui pemerintahan Hindia Belanda. Usaha Van lewick ini gagal karena mereka tetap menghormati sikap Bupati Wedono Madiun.

Setelah usahanya gagal, Van Lewick mengirim satu detasemen tentara dibawah Kapten Infanter Theunissen dan diperkuat lagi dengan berbagai satuan lapangan dari Surabaya.

Babad MADIUN (bagian 13)

JALANNYA PERANG DIPONEGORO DI MADIUN

Kota Ngawi adalah sangat penting, sebagai pusat perdagangan dan pelayaran. Maka Tanggal 13 Nopember 1825, pasukan Belanda dibawah pimpinan Kapten Theunissen Van lowick berhasil merebut Kota Ngawi. Sebagai pertahanan Pasukan Madiun, kemudian, 15 Nopember 1825 pasukan Madiun bergeser ke selatan Kota Ngawi, namun akhirnya dikepung Pasukan Belanda dari utara oleh pasukan Van Lewick dan dari barat pasukan Letnan Vlikken Sohild yang dibantu ratusan Prajurit Kabupaten Jogorogo (wilayah Surakarta) akhirnya pasukan Madiun berhasil di kacaukan, sekitar 60 prajurit gugur. Akhir tahun 1825, Belanda mendirikan Benteng stelsel di Kota Ngawi yang di jaga 250 tentara, 6 meriam api, dan 60 Kavaleri.
Di wilayah selatan pertahanan pasukan Madiun diletakan di Pacitan. Peperangan dipimpin oleh Panglima Daerah Bupati Mas Tumenggung Djojokarijo, Mas Tumenggung Jimat dan Ahmad Taris, akan tetapi akhir Agustus 1825 daerah Pacitan berhasil dikuasai Belanda. Bupati Djojokarijo di pecat (mendapat pensiun 40), sedang Tumenggung Jimat dan Ahmad taris ditangkap yang nasibnya tidak diketahui.

Sebagai bupati baru, diangkatlah oleh Belanda Mas Tumenggung Somodiwiryo, akan tetapi tidak lama bertahta sebab 9 Oktober 1825 diserbu oleh pasukan Madiun yang dipimpin oleh Raden Mas Dipoatmojo putra Diponegoro sendiri dan berhasil membunuh bupati baru tersebut. Namun akhirnya awal Desember 1825 seluruh pasukan Madiun di Pacitan berhasil dipecah belah oleh Belanda, hingga Pacitan sepenuhnya di kuasai Belanda. Hingga awal tahun 1826, Kota Kabupaten Madiun belum menjadi medan peperangan Perang Diponegoro. Namun ditahun kedua perang ini, Panglima Daerah Mas Kartodirdjo ditangkap di Madiun.

Semenjak pertahanan di Ngawi jatuh ke tangan tentara Belanda, prajurit Madiun yang mundur ke wilayah barat (Jogorogo) akhirnya kembali memusatkan pertahanan di Ibukota Wonorejo, Madiun. Hal ini telah diketahui pihak Belanda maka, 18 Desember 1825, dibawah Kapten Inf. Rosser yang membawa pasukan Belanda dari Madura, prajurit Mangkunegaran, di tambah tentara dari Benteng Ngawi, dari selatan Belanda dibantu prajurit Kasunanan Surakarta di Ponorogo. Terjadilah perang hebat, pada tanggal 18 Desember 1825, hingga akhirnya pasukan Madiun berhasil dikalahkan, Pangeran Serang beserta istrinya gugur sebagai kusuma bangsa. Beliau adalah menantu Pangeran Mangkudiningrat karena anti Inggris, akhirnya dibuang oleh Raffless ke Bengkulu (1812) sedangkan Pangeran Serang sendiri adalah keturunan Sunan Kalijogo dari Kadilangu, Demak.

Seorang pangeran dari Pamekasan, Madura ikut terbunuh, pertempuran meluas sejak tanggal 24 Desember 1825 hingga pada 9 Januari 1826, Panglima Daerah Mas Kartodirjo berhasil di tangkap dan terbunuh. Walaupun demikian beberapa Bupati masih setia dan tetap bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Secara formal sejak 9 Januari 1826, Bupati wedono Mancanegara Timur, Ronggo Prawirodiningrat sudah dibawah kekuasaan Belanda, beliau ditangkap dan dibawa ke benteng Ngawi.

Namun dalam kenyataanyan baru tahun 1827 daerah Madiun aman dengan didirikannya benteng Belanda beserta satu detasemen tentara dengan senjata lengkap di dekat Istana Bupati Wedono Madiun di Wonorejo di Desa Kartoharjo. Benteng tersebut dijaga oleh 135 tentara Belanda dengan 62 pucuk bedil, 2 meriam kaliber 31/4 inci dan ratusan prajurit Kasunanan Surakarta dibawah pimpinan Letnan Infanteri Schnarburch. Bangunan benteng tersebut mempunyai 2 menara penjagaan di utara dan selatan dapat mengawasi arah Ponorogo, Istana Wonorejo dan Pasar Madiun (Prajuritan = Kelurahan MadiunLor).

Tanggal 15 Mei 1828 benteng Madiun sudah sempurna, dijaga oleh ribuan tentara siang dan malam yang merupakan simbol di mulainya Kolonialisme Belanda di wilayah Kabupaten Madiun. Namun secara yuridis, kekuasaan pemerintahan kabupaten Madiun tetap di bawah Pangeran Ronggo Prawirodiningrat. Menurut laporan Belanda tanggal 20 Mei 1828 hingga permulaan Juni 1828 masih ada pemberontakan-pemberontakan kecil di sekitar wilayah  Ibukota Madiun dengan pimpinan Raden Sosrodilogo yang akhirnya tertangkap 3 Nopember 1828. Setelah Raden Sosrodilogo tertangkap pada tanggal 3 Oktober 1828, maka keadaan sekitar Kota Madiun kembali aman.

Sekarang Bupati Madiun berkedudukan di Pangongangan yaitu ditengah Kota Madiun, sekarang di Komplek Perumahan Dinas Bupati Madiun. Disinilah seterusnya Bupati Madiun sampai sekarang menjalankan pemerintahan, sedangkan makamnya ada di Kelurahan Taman (dulu Desa Perdikan) selain makam Kuncen. Disini disemayamkan pahlawan-pahlawan pendiri Kabupaten Madiun pada waktu lampau, sehingga kepada orang yang dipercaya menjaga/merawat makam tersebut diberikan hadiah satu wilayah Pedesaan sebagai tanah perdikan serta hak untuk memungut hasilnya, bersifat Orfelijik (turun tumurun).

Nama Para Bupati (Wedono Mancanegara Timur) Madiun
Kyai / Ki Ageng Reksogati 1518 – 1568 (Perwakilan Demak / Penyebar Agama Islam)
1.        Pangeran Timoer 1568-1586 (disebut juga Panembahan Rama atau Ronggo Jumeno)
2.        Raden Aju Retno Dumilah 1586 – 1590
3.        Panembahan Senopati 1590–1591 nama Purabaya dirubah menjadi Mbediun / Mediun)
4.        Raden Mas Soemekar 1591 – 1595
5.        Pangeran Adipati Pringgolojo 1595 – 1601
6.        Raden Mas Bagoes Petak (Mangkunegoro I) 1601 – 1613
7.        Pangeran Adipati Mertolojo (Mangkunegoro II) 1613 – 1645
8.        Pangeran Adipati Balitar Irodikromo (Mangkunegoro III) 1645 – 1677 (terjadi perang Trunojoyo)
9.        Pangeran Toemenggoeng Balitar Toemapel 1677–1703
10.      Raden Ajoe Poeger 1703–1704 (terjadi pemberontakan Untung Suropati. RA Puger mengikuti suaminya ke Kraton Kartasura)
11.      Pangeran Harjo Balater 1704 – 1709 (Sebagai saudara dan Menggantikan RA Puger)
12.      Toemenggoeng Soerowidjojo 1709 – 1725
13.      Pangeran Mangkoedipoero 1725–1755 (terjadi Palihan Nagari Yogyakarta dan Surakarta, Madiun di bawah Pemerintahan Yogyakarta, kemudian diangkat Raden Ronggo Prawiro Sentiko oleh Hamengku Buwono I sebagai Bupati Madiun bergelar Ronggo Prawirodirjo I, berkedudukan di Istana Kranggan )
14.      Raden Ronggo Prawirodirdjo I 1755 – 1784
15.      Pangeran Raden Mangundirdjo (Ronggo Prawirodirdjo II) 1784–1795 (Berkedudukan di Istana Kranggan dan Wonosari)
16.      Pangeran Raden Ronggo Prawirodirdjo III 1795–1810 (Berkedudukan di Istana Wonosari, Maospati dan Yogyakarta)
17.      Pangeran Dipokoesoemo 1810 – 1820
18.      Raden Ronggo Prawirodiningrat 1820–1822 (beliau saudara lain ibu dari Bagus Sentot Prawirodirjo)
19.      Raden Toemenggoeng Tirtoprodjo 1822 – 1861
20.      Raden Mas Toemenggoeng Ronggo Harjo Notodiningrat 1861–1869 (karena kekuasaan Belanda, Bupati Notodiningrat hanya menjadi Kepala Kantor Pemerintahan Kolonial / Rijkbestuur )
21.      R.M. Toemenggoeng Adipati Sosronegoro 1869 – 1879 (sebagai Rijsbestuur)
22.      Raden Mas Toemenggoeng Sosrodiningrat 1879–1885 (Belanda membagi Karesidenan Madiun menjadi lima regenschappen yang masing-masing punya kedudukan yang sama, yaitu Madiun, Magetan, Ngawi, Ponorogo dan Pacitan )
23.      Raden Arjo Adipati Brotodiningrat 1885–1900
24.      Raden Arjo Toemenggoeng Koesnodiningrat 1900–1929 (muncul sekolah-sekolah formal di desa yang dikenal sebagai Volk School selanjutnya disebut Vervolk School selama 2 tahun, tahun 1912 dibuka di Kertohardjo yaitu Sekolah Kartini. Tahun 1918, Kabupaten Madiun di pisah dengan wilayah perkotaan setelah adanya Gemeente Ordonatie berdasar Peraturan Pemerintah 20 Juni 1918)
25.      R.M. Toemenggoeng Ronggo Koesmen 1929 – 1937
26.      R.M. Toemenggoeng Ronggo Koesnindar 1937–1953 (Jepang masuk ke Madiun)
27.      Raden Mas Toemengoeng Harsojo Brotodiningrat 1954-1956
28.      Raden Sampoerno 1956 – 1962 (sebagai Pejabat Bupati)
29.      Kardiono, BA 1962 – 1965 (Partai Komunis Indonesia mendapat suara terbanyak dan Bupatinya R. Kardiono, Hilang dituduh tersangkut G30S/PKI)
30.      Mas Soewandi 1965 – 1967
31.      H. Saleh Hassan 1967 – 1973
32.      H. Slamet Hardjooetomo 1973 – 1978
33.      H. Djajadi 1978 – 1983
34.      Drs. H. Bambang Koesbandono 1983 – 1988
35.      Ir. S. Kadiono 1988 – 1998
36.      R. H. Djunaedi Mahendra, SH. M.Si 1998 – 2008
37.      H. Muhtarom, S.Sos 2008-2013

Sebelum meletus Perang Diponegoro, Madiun belum pernah di jamah oleh orang-orang belanda atau eropa lainnya. Namun dengan berakhirnya Perang Diponegoro, belanda menjadi tahu potensi daerah Madiun. Terhitung mulai tanggal 1 Januari 1832, Madiun secara resmi dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda dan dibentuklah suatu tatanan pemerintahan yang berstatus karesidenan dengan ibu kota di Desa Kartoharjo (tempat istana Patih Kartoharjo) yang berdekatan dengan istana Kabupaten Madiun di Desa Pangongangan.

Sejak saat itu mulai berdatangan Bangsa Belanda dan Eropa lainnya, yang berprofesi dalam bidang perkebunan dan perindustrian, yang mengakibatkan munculnya berbagai perkebunan, yaitu perkebunan tebu dengan pabrik gulanya di PG. Pagotan, PG. Kanigoro, PG. Rejoagung, PG. Purwodadie di Glodok, PG.Soedono di Geneng, PG. Redjosarie di Kawedanan, perkebunan teh di Jamus dan Kare, perkebunan kopi di Kandangan Kare, perkebunan tembakau di Pilang Kenceng dan lain-lain. Mereka bermukim di dalam kota di sekitar Istana Residen Madiun.

Semua warga Belanda dan Eropa yang bermukim di Kota Madiun, karena statusnya yang merasa lebih superior dari pada penduduk pribumi, mereka tidak mau diperintah oleh Pemerintah Kabupaten Madiun. Selanjutnya untuk melaksanakan segregasi (pemisahan) sosial, berdasarkan perundang-undangan inlandsche gementee ordonantie, oleh Departemen Binenlandsch Bestuur, dibentuk Staads Gementee Madiun atau Kotapraja Madiun berdasarkan Peraturan Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 20 Juni 1918, dengan berdasarkan staatsblaad tahun 1918 nomor 326.

Pada awalnya, walikota (burgemeester) dirangkap oleh asisten residen merangkap sebagai voor setter, yang pertama yaitu Ir. W. M. Ingenlijf, yang selanjutnya diganti oleh Demaand hingga tahun 1927. Setelah tahun 1927 sampai dengan sekarang.
Urut-urutan walikota yang pernah memimpin Kota Madiun adalah sebagai berikut :
1. Mr. K. A. Schotman
2. Boerstra
3. Mr. Van dijk
4. Mr. Ali Sastro Amidjojo
5. Dr. Mr. R. M. Soebroto
6. Mr. R. Soesanto Tirtoprodjo
7. Soedibjo
8. R. Poerbo Sisworo
9. Soepardi
10. R. Mochamad
11. R. M. Soediono
12. R. Singgih
13. R. Moentoro
14. R. Moestadjab
15. R. Roeslan Wongsokoesoemo
16. R. Soepardi
17. Soemadi (Hilang , dituduh tersangkut G30S/PKI )
18. Joebagjo (Hilang, dituduh tersangkut G30S/PKI )
19. Pd. Walikota R. Roekito, BA
20. Drs. Imam Soenardji ( 1968 s.d. 1974 )
21. Achmad Dawaki, BA ( 1974 s.d. 1979 )
22. Drs. Marsoedi ( 1979 s.d. 1989 )
23. Drs. Masdra M. Jasin ( 1989 s.d. 1994 )
24. Drs. Bambang Pamoedjo ( 1994 s.d. 1999 )
25. Drs. H. Achmad Ali ( 1999 s.d. 2004 )
26. H. Kokok Raya, SH, M.Hum ( 2004 s.d. 2009 )
27. H. Bambang Irianto, SH, MM (2009 s.d. 2014 )

Babad MADIUN (bagian 14)

TANAH PERDIKAN DI WILAYAH MADIUN
Di wilayah Madiun dan sekitarnya terdapat beberapa kelurahan dan desa yang dahulu kala pada masa pemerintahan Kesultanan Mataram berstatus sebagai tanah perdikan yang di bebaskan dari segala kewajiban pajak atau upeti karena daerah tersebut memiliki kekhususan tertentu dan berhak mengurus rumah tangganya sendiri, yaitu tanah perdikan Taman, Kuncen (Demangan), Kuncen (Caruban), Sewulan, Banjarsari, Giripurno (Magetan), Tegalsari (Ponorogo) dan Pacalan (Magetan).
1.    Tanah Perdikan Kuncen
Pada masa penaklukan Mancanegara Timur oleh Mataram, terjadi banyak korban dikedua belah pihak prajurit, Pusat peperangan terjadi di sekitar sendang dekat istana Kabupaten di Wonorejo (kuncen), korban-korban tersebut dimakamkan di sekitar sendang. Panembahan Senopati memberi otonomi luas pada daerah ini, dan mengangkat Juru kunci untuk memelihara dan menjaga makam. Itulah sebabnya daerah ini disebut “Kuncen”.
Desa Perdikan Kuncen terletak di arah barat laut Desa Demangan (bekas Ibukota Wonosari atau pindahan Wonorejo), perlu diketahui, setelah Wonorejo hancur akibat perang, pusat pemerintahan bupati bergeser ke timur yakni menempati kutho miring (Demangan).
Makam Kuncen hingga saat ini masih di hormati dan dikeramatkan masyarakat Madiun, para bupati Madiun yang di makamkan disini pada umumnya bergelar Mangkunegoro, yaitu :
1.    Mangkunegoro I (Raden Mas Bagus Petak atau Pangeran Adipati Djuminah),
2.    Mangkunegoro II (Raden Mas keniten atau Pangeran Adipati Martoloyo),
3.    Mangkunegoro III (Raden Kyai Irodikromo ),
4.    Mangkunegoro IV.
Sesuai daftar silsilah Bupati Madiun, para pejabat dan bangsawan yang di makamkan disini adalah keturunan dari Pangeran Timur. Selain itu juga ada makam Kyai Grubug, beliau berasal dari Banten dan sebagai pengasuh keluarga Bupati Mangkunegoro I.
Hingga kini ada 14 kyai yang memimpin Desa Perdikan Kuncen, yaitu :
1.    Kyai Grubug,
2.    Kyai Semin I,
3.    Kyai Semin II,
4.    Kyai Semin III,
5.    Kyai Semin IV,
6.    Kyai Djodo,
7.    Kyai Mat Ngarif,
8.    Kyai Darsono,
9.    Kyai Sutopo,
10.  Kyai Karsono, dan
11.  Kyai Kentjono
Selain Makam Kuncen, disini juga ada Masjid tertua di Madiun, yaitu Masjid Nur Hidayatullah, artefak-artefak disekeliling masjid, makam Mangkunegoro, serta sendang (tempat pemandian) yang dihormati dan keramat. Sejak tahun 2006 dilaksanakan kembali tradisi mataraman, yaitu grebeg maulud Nabi Muhamad, SAW dengan acara kirab gunungan jaler dan gunungan estri dengan dinaikan ke kereta kuda dari Masjid Kuncen menuju ke Masjid Donopuro Taman, atau dari Alun-alun Madiun menuju ke Masjid Taman.

DAFTAR ISI
Widget by Putra Q-Ae