SEMUA BERAWAL DARI... (kata itu diberi nama CINTA)

DIsarankan ...

aaaku. Powered by Blogger.

PROLOG

Tri Sulistyo Sebelumnya aku sampekan maap se-gede2-nya, kalo mungkin aja tulisan ato postingan banyak dari copas punya senior2 dan aku lupa ambilnya. Hingga gak aku cantumin sumbernya. Cuman satu yang aku yakinin bila bila senior semua ikhlas...

walau tidak bisa beramal...

Seorang lelaki badui (Arab pedesaan) datang kepada Nabi SAW dan bertanya, "Wahai Rasulullah, kapankah hari kiamat datang?"
            "Apakah yang kamu persiapkan untuk menghadapinya?" Beliau balik bertanya.
            Lelaki itu menjawab, "Tidak ada sesuatu (persiapan khusus), kecuali kecintaanku kepada Allah dan RasulNya…"
            Dengan tersenyum, Nabi SAW memberi jawaban singkat, "Kamu bersama orang yang kamu cintai…"
            Orang tersebut berlalu dengan gembira.
            Sahabat Anas bin Malik yang saat itu hadir dalam perbincangan tersebut dan meriwayatkan kisah ini berkata, "Tidaklah kami bergembira seperti gembiranya kami mendengar sabda Nabi SAW yang sangat singkat tersebut, yakni : 'Kamu bersama orang yang kamu cintai'."
            Dan Anas berkata lagi, "Saya cinta kepada Nabi SAW, Abu Bakar dan  Umar, dan saya berharap bisa bersama mereka karena kecintaanku ini, walau tidak bisa beramal seperti amalan mereka."

Kisah Kesabaran

Walau harus kehilangan satu kaki dan satu anak, namun Urwah tetap sabar. la malah bersyukur karena Allah ma­sih menyisakan satu kaki dan anak-anaknya yang lain. Subhanallah, kesabarannya ini tentu patut diteladani.

ABU Abdillah atau Urwah bin Zubair bin AI Awwam adalah di antara sederet tabiin yang me­miliki kucuran mata air hikmah untuk generasi umat sesudah beliau. Adik dari Abdullah bin Zubair ini memberikakan pelajaran tentang nilai se­buah kesabaran.

Suatu hari cucu Abu Bakar Ash Shiddiq ini mendapat tugas untuk menemui Khalifah AI Walid bin ‘Abdil Malik di ibukota kekhali­fahan, yaitu Damaskus di negeri Syam. Bersama dengan rom­bongan, Urwah akan menem­puh perjalanan dari Madinah menuju Damaskus yang saat ini menjadi negara Yordania.

Ketika melewati Wadil Qura, sebuah daerah yang be­lum jauh dari Madinah, telapak kaki kiri beliau terluka. Tabiin yang lahir pada tahun 23 Hijriyah ini menganggap lukanya biasa. Ternyata, luka tersebut menanah dan terus menjalar ke bagian atas kaki Urwah.

Setibanya di istana AI Walid, luka di kaki kiri Urwah tersebut sudah mu­lai membusuk hingga betis. Urwah pun mendapatkan pertolongan dari Khali­fah AI Walid yang memerintahkan sejumlah dokter untuk memberikan perawatan.

LUKA DI KAKI
Setelah rnelalui beberapa peme­riksaan, para dokter yang memeriksa salah seorang murid dari Aisyah binti Abu Bakar ini mempunyai satu kesimpulan. Kaki kiri Urwah harus diamputasi agar luka yang membusuk tidak terus menjalar ke tubuh. Urwah menerima keputusan tim dokter ini dan dimulailah operasi amputasi. Seorang dokter menyuguhkan Ur­wah semacam obat bius agar operasi amputasi tidak terasa sakit. Saat itu, Urwah meno­lak dengan halus.

Beliau mengatakan, "Aku tidak akan me­minum suatu obat yang menghilangkan akalku sehingga aku tidak lagi mengenal Allah, walaupun untuk sesaat."

Mendengar itu, para dokter pun menjadi ragu untuk melakukan amputasi. Saat itu juga, Urwah mengatakan, "Si­lakan kalian potong kakiku. Selama ka­lian melakukan ope­rasi, aku akan salat agar sakitnya tidak sempat kurasakan."

Melihat pengala­man yang tidak meng­enakkan dari seorang cucu sahabat terkenal itu, Khalifah AI Walid menghampiri Urwah yang masih terbaring. la mencoba untuk menghibur. Tapi, de­ngan senyum, Urwah meng­ucapkan sebuah kalimat, "Ya Allah, segala puji hanya untuk­ Mu. Sebelum ini, aku memiliki dua kaki dan dua tangan, kemudian Eng­kau ambil satu. Alhamdulillah Engkau masih menyisakan yang lain. Dan walaupun Engkau telah memberikan musibah kepadaku, namun masa sehatku masih lebih panjang dari hari-hari sakit ini. Se­gala puji hanya untuk-Mu atas apa yang telah Engkau ambil dan atas apa yang telah Engkau berikan kepadaku dari masa sehat."

ANAK MENINGGAL
Mendengar itu, Khalifah AI Walid ber­kata, "Belum pernah sekalipun aku me­lihat seorang tokoh yang kesabarannya seperti dia."

Beberapa saat setelah itu, tim dokter memperlihatkan potongan kaki yang di­amputasi itu kepada Urwah. Melihat po­tongan kakinya, beliau mengatakan, "Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengeta­hui, tidak pernah sekalipun aku melang­kahkan kakiku itu ke arah kemaksiatan."

Ujian yang Allah berikan kepada Ur­wah tidak sampai di situ. Malam itu juga, bersamaan dengan telah selesainya op­erasi pemotongan kaki, Urwah mendapat kabar bahwa salah seorang putra beliau yang bernama Muhammad, putra kesaya­ngannya, meninggal dunia. Muhammad meninggal karena sebuah kecelakaan: di­tendang oleh kuda sewaktu sedang ber­main-main di dalam kandang kuda.

Dalam keheningan malam itu, Urwah berucap pada dirinya sendiri, "Segala puji hanya milik Allah, dahulu aku memiliki tujuh orang anak, kemudian Engkau ambil satu dan masih Kau sisakan enam. Walau­pun Engkau telah memberikan musibah kepadaku, hari-hari sehatku masih lebih panjang dari masa pembaringan ini. Dan walaupun Engkau telah mengambil salah seorang anakku, sesungguhnya Engkau masih menyisakan yang lain."

Syeh Jangkung

Syeh Jangkung ketika Kecil Sangat Nakal

SIAPA sebenarnya Saridin itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, warga Pati dan sekitarnya mungkin bisa membaca buku Babad Tanah Jawa yang hidup sekitar awal abad ke-16. Sebab, menurut cerita tutur tinular yang hingga sekarang masih diyakini kebenarannya oleh masyarakat setempat, dia disebut-sebut putra salah seorang Wali Sanga, yaitu Sunan Muria dari istri bernama Dewi Samaran.

Siapa wanita itu dan mengapa seorang bayi laki-laki bernama Saridin harus dilarung ke kali? Konon cerita tutur tinular itulah yang akhirnya menjadi pakem dan diangkat dalam cerita terpopuler grup ketoprak di Pati, Sri Kencono. Cerita babad itu menyebutkan, bayi tersebut memang bukan darah daging Sang Sunan dengan istrinya, Dewi Samaran.

Terlepas sejauh mana kebenaran cerita itu, dalam waktu perjalanan cukup panjang muncul tokoh Branjung di Desa Miyono yang menyelamatkan dan merawat bayi Saridin hingga beranjak dewasa dan mengakuinya sebagai saudaranya. Cerita pun merebak. Ketika masa mudanya, Saridin memang suka hidup mblayang (berpetualang) sampai bertemu dengan Syeh Malaya yang dia akui sebagai guru sejati.

Syeh Malaya itu tak lain adalah Sunan Kalijaga. Kembali ke Miyono, Saridin disebutkan telah menikah dengan seorang wanita yang hingga sekarang masyarakat lebih mengenal sebutan ''Mbokne (ibunya) Momok" dan dari hasil perkawinan tersebut lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Momok.

Sampai pada suatu ketika antara Saridin dan Branjung harus bagi waris atas satu-satunya pohon durian yang tumbuh dan sedang berbuah lebat. Bagi waris tersebut menghasilkan kesepakatan, Saridin berhak mendapatkan buah durian yang jatuh pada malam hari, dan Branjung dapat buah durian yang jatuh pada siang hari.

Kiasan

Semua itu jika dicermati hanyalah sebuah kiasan karena cerita tutur tinular itu pun melebar pada satu muara tentang ketidakjujuran Branjung terhadap ibunya Momok. Sebab, pada suatu malam Saridin memergoki sosok bayangan seekor macan sedang makan durian yang jatuh.

Dengan sigap, sosok bayangan itu berhasil dilumpuhkan menggunakan tombak. Akan tetapi, setelah tubuh binatang buas itu tergolek dalam keadaan tak bernyawa, berubah wujud menjadi sosok tubuh seseorang yang tak lain adalah Branjung.

Untuk menghindari cerita tutur tinular agar tidak vulgar, yang disebut pohon durian satu batang atau duren sauwit yang menjadi nama salah satu desa di Kecamatan Kayen, Durensawit, sebenarnya adalah ibunya Momok, tetapi oleh Branjung justru dijahili.

Terbunuhnya Branjung membuat Saridin berurusan dengan penguasa Kadipaten Pati. Adipati Pati waktu itu adalah Wasis Joyo Kusumo yang harus memberlakukan penegakan hukum dengan keputusan menghukum Saridin karena dinyatakan terbukti bersalah telah membunuh Branjung.

Meskipun dalam pembelaan Saridin berulang kali menegaskan, yang dibunuh bukan seorang manusia tetapi seekor macan, fakta yang terungkap membuktikan bahwa yang meninggal adalah Branjung akibat ditombak Saridin.

Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, dia harus menjalani hukuman yang telah diputuskan oleh penguasa Pati.

Pulang

Sebagai murid Sunan Kalijaga yang tentu mempunyai kelebihan dan didorong rasa tak bersalah, kepada penguasa Pati dia menyatakan telah punya istri dan anak. Karena itu, dia ingin pulang untuk menengok mereka.

DAFTAR ISI
Widget by Putra Q-Ae