Gus
Miek bagi sebagian orang yang pernah dekat dan mengenalnya, akan
terkesan bahwa beliau adalah pengayom atau pelindung rakyat jelata,
dengan kebeningan hati beliau, mampu menembus batas kelas dan agama.
Beberapa kisah berikut adalah salah satu yang mewakili dari kisah
beliau. Semoga bermanfaat bagi Sami’in setia yang belum pernah mengenal
beliau secara dekat dan para pemerhati yang ingin lebih banyak
mengetahui tentang Gus Miek.
Kota Surabaya, salah satu kota yang menjadi favourite Gus Miek, dan
salah satu tempat yang paling sering beliau singgahi adalah kafe di
Hotel Elmi. Suasana malam khas kafe yang gaduh, dimana entakan musik
menggebrak malam, dan disudut-sudut ruangan penuh kepulan asap rokok
yang menyesakkan dada, berbaur bau alkohol yang menusuk hidung. Disalah
satu sudut pojok ruangan kafe terlihat seorang lelaki berwajah teduh
sedang mengobrol dikelilingi beberapa orang. Tubuhnya sedang, rambutnya
ikal dan diantara jemari tangannya terselip sebatang rokok.
Terdengar kalimat-kalimat yang menyejukkan dan sesekali terdengar tawa
segar. Menurut orang-orang yang ada disekelilingnya tersebut, lelaki itu
selain ada di kafe ini juga dikenal di beberapa diskotik di Surabaya.
Dan mereka semua memberikan julukan "Kyai Nyentrik".
Itulah dunia K.H. Khamim Jazuli alias Gus Miek. Ia adalah tokoh sentral
sema’an Al-Qur’an yang pengikutnya ribuan orang. Sema’an adalah kegiatan
membaca dan mendengarkan Al-Qur’an berjama’ah atau bersama-sama, dimana
dalam sema’an itu juga selain mendengarkan Al-Qur’an, yang hadir (
sami’in) juga bersama-sama melakukan ibadah sholat wajib secara
berjama’ah juga sholat-sholat sunnah yang lain, dari ba’da Subuh hingga
khatamnya Al-Qur’an. Gus Miek memiliki seorang istri dan lima orang
anak. Beliau dikenang sebagai Kiai yang mengayomi umat, terutama rakyat
jelata. Ke khasan gayanya dalam menyebarkan kebenaran sangat langka dan
tidak seperti ulama pada umumnya. Lahan garapannya adalah orang-orang
pinggiran dan para ”manusia malam”.
Majelis Sema’an mula-mula didirikan dikampung Burengan Kediri sekitar
tahun 1986. Mula-mula pengikutnya hanya 10-15 orang. Lama kelamaan
berkembang menjadi ribuan. Tempatnya pun tidak hanya di masjid atau dari
rumah ke rumah, tetapi sudah memasuki wilayah pendopo kabupaten, Kodam
bahkan sampai ke Keraton Yogya.
Dari berkelana timbullah gagasan sema’an Al-Qur’an. Saya ingin benar dan
tidak terlalu banyak salah. Maka saya ambil langkah silang dengan
menganjurkan pada para santri untuk berkumpul sebulan sekali, mengobrol,
guyonan santai, diiringi hiburan. Syukur-syukur jika hiburan itu berbau
ibadah yang menyentuh rahmat dan nikmat Allah. Kebetulan saya menemukan
pakem bahwa pertemuan seperti itu jika dibarengi membaca dan
mendengarkan Al-Qur’an, syukur-syukur bisa dari awal sampai khatam,
Allah akan memberikan rahmat dan nikmatNYA.
Jadi menurut Gus Miek, secara batiniah sema’an Al-Qur’an adalah hiburan
yang hasanah, hiburan yang baik. Selain juga merupakan upaya pendekatan
diri kepada Allah, dan sebagai tabungan di hari akhir. Itu yang harus
bener-benar diyakini oleh jema’ah sema’an Al-Qur’an. Orang yang
mendengarkan dan membaca Al-Qur’an mendapat pahala yang sama. Malah
dalam sebuah ulasan seorang ulama dikatakan bahwa orang yang
mendengarkan bacaan Al-Qur’an pahalanya lebih besar daripada yang
membacanya, sebab pendengar lebih bisa menata hati, pikiran dan telinga
serta lebih fokus pada pendekatan diri kepada Allah.
Satu-satunya upaya untuk mengutarakan sesuatu kepada Allah menurut
beliau ialah lewat Majelis sema’an Al-Qur’an ini. Karena berdasarkan
sebuah hadis, ”barang siapa ingin berkomunikasi dengan Allah, maka
beradalah ditengah-tengah suatu majelis yang didalamnya mengalun
Al-Qur’an.”
Gus Miek memang memiliki kelebihan yang unik. Beliau lebih suka memakai
pakaian trendi ketimbang sorban, jubah maupun sarung. Pergaulannya pun
sangat luas. ” Saya merasa dituntut menguasai bahasa kata, bahasa gaul,
dan bahasa hati,” tutur beliau.
Pada saat saya masuk diskotik, kafe atau karaoke, saya hanya bisa
tertawa. Saya senang tapi saya lebih tertarik pada pendapat seorang
ulama dulu, kalau nggak salah namanya Imam Ahmad bin Hanbal. Kalau masuk
ke tempat hiburan yang diharamkan oleh Islam, justru Imam Ahmad bin
Hanbal malah bergabung dan berdoa, pada saat beliau dipintu masuk
pertama. Doa beliau ” Ya Allah, seperti halnya Kau buat orang-orang ini
berpesta pora ditempat seperti ini, semoga Engkau jadikan pula mereka
berpesta pora di akherat nanti”.
Semasa hidup Gus Miek selalu diburu, bahkan tidak sedikit yang merelakan
waktunya berjam-jam dan berhari-hari untuk bertemu walaupun sekedar
bersalaman. Tamunya datang dari berbagai golongan, mulai tukang becak,
para banci, santri, artis, politikus, pejabat sampai Jendral. Mereka
percaya bertemu dengan Gus Miek akan membawa berkah tersendiri. Mereka
kebanyakan meminta nasehat tentang berbagai persoalan hidup. Saat beliau
berumur 10 tahun sudah banyak didekati orang. ”Bahasa yang datang
kepada saya ya itu-itu saja, minta restu, mengungkapkan kekurangan,
minta doa mudah mencari rezeki, bahkan orang yang mau melahirkan juga
datang kepada saya, dikira saya ini bidan,” tutur beliau seraya
terkekeh.
Gus Miek benar-benar rendah hati. ” Saya ini bukan kiai, juga bukan
ulama. Saya ini orang yang dipaksa untuk dipanggil kiai. Saya ini hanya
orang yang ingin melakukan kebenaran dan tak ingin terlalu banyak
salah”, kata beliau. ” Kita ini jangan sekali kali sok suci atau super
bersih, sebab didunia ini ada dua penampilan. Pertama, penampilan
sebagai manusia satu-satunya dibumi yang paling top, paling suci ,
paling bersih. Kedua, kebalikannya, sebagai manusia penghuni bumi yang
bukan apa-apa. Saya ini hanyalah, insyaAllah kalau dalam jiwa kita sudah
tertanam perasaan sebagai hamba Allah, akan tertanam pula rasa dosa,
rasa salah, rasa kekurangan, sehingga untuk memohon pengampunan kepada
Allah akan lebih besar dan meningkat. Dan itu sulit, termasuk saya
sendiri”, tutur beliau
Selain rendah hati beliau juga pribadi yang sangat sederhana. Meski
keluarganya di Kediri, namun tak seorangpun tahu keberadaannya. Jika
beliau berada di Surabaya lebih sering berada dirumah salah satu sahabat
beliau yaitu Bapak Syafi’i, di dekat Masjid Ampel, beliau tak
segan-segan tidur di kursi plastik jebol ditemani sebuah teko kuningan
berisi teh kental dan dua gelasnya. Tak lupa asbak penuh puntung rokok
kretek, karena ia memang dikenal perokok berat.
Karena kerendahan hati serta tak segan-segan membantu orang yang
kesusahan tersebut, bisa dimaklumi jika tamunya berjubel, bahkan pernah
sampai 18 hari 18 malam tidak tidur karena sibuk menerima tamu. Karena
beliau tak kuasa menolak tamu. Bahkan pernah pada saat hadir disema’an,
Gus Miek langsung dikerubuti ribuan jama’ah, sampai-sampai harus
diselundupkan ke jamaah wanita untuk menghindari serbuan sami’in.
Disamping sema’an Al-Qur’an, beliau juga mendirikan majelis dzikir
”Dzikrul Ghofilin”. Maksudnya adalah dzikirnya orang-orang yang lupa
kepada Allah. Seperti halnya sema’an, majelis dzikir yang lazim disebut
muzahadah inipun diikuti ribuan jama’ah dengan khusuk. Baik majelis
sema’an Al-Qur’an dan Dzikrul Ghofilin ini sangat diminati oleh ribuan
muslimin terutama daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Gus Miek sejak kecil memang terlihat aneh. Beliau mengaku sering
dianggap aneh bahkan tidak jarang ada yang mengatakan tidak waras. ”
Dari umur 11 tahun saya seperti orang sakit, orang-orang menganggap saya
tidak waras. Lha wong kerjaan saya hanya disungai, memancing terus
menerus,” tuturnya
Gus Miek sejak kecil suka mengembara, bahkan orang tuanya pun tidak tahu
dimana keberadaan Khamim kecil. Dan oleh Ayahnya ia sudah dianggap anak
hilang. Bahkan kebiasaan Gus Miek tersebut berlanjut hingga masa
tuanya. Bukan rahasia lagi jika orang sulit mencarinya. Untuk bertemu
beliau itu ”jodoh-jodohan” atau ”nasib- nasiban”, kalau jodoh gampang
ditemui, tidak dicaripun beliau muncul, tetapi kalau tidak jodoh,
dicari-cari kemanapun bahkan sampai satu bulanpun, belum tentu ketemu,
kata beberapa sami’in.
Banyak cerita tentang karomah atau kemuliaan yang muncul disekitar
kehidupan Gus Miek, yang oleh orang awam dianggap aneh. Diantaranya
kemampuan Gus Miek menyembuhkan penyakit hanya dengan air putih. Banyak
pula yang bercerita bahwa Gus Miek bisa hadir di dua tempat. Salah satu
contoh cerita yaitu saat Kiai Musta’in Romli, pendiri Pondok Pesantren
Darul ’Ulum Jombang, dan salah satu seorang mursyid sebuah tarekat
meninggal. Ketika itu sang ayahanda Gus Miek yaitu Kiai Ahmad Jazuli
akan berangkat takziah. Gus Miek saat itu diajak ikut, tapi beliau
menolak, dan memilih tinggal dirumah saja.
Berangkatlah rombongan Kiai Ahmad Jazuli ke Jombang tanpa Gus Miek
kecil. Tiba dirumah duka, betapa kagetnya beliau karena melihat Gus Miek
sudah berada disana. Bertanyalah beliau kepada kerabat Kiai Mustain,
dan jawaban kerabat kiai Musta’in membuat Kiai Ahmad Jazuli tercengang. ”
Gus Miek sudah menemani Kiai Musta’in sejak seminggu sebelum almarhum
wafat, Kiai ..,”tutur kerabat tersebut.
Cerita unik yang lain ketika pada saat sholat jamaah Jum’at, tiba-tiba
Gus Miek hilang. Orang-orang disekitar beliau bingung dibuatnya. Mereka
sudah berusaha mencari Gus Miek kesana kemari usai sholat jum’at, namun
tetap tidak ketemu. Dengan tiba-tiba Gus Miek muncul dengan membawa
seonggok kurma yang ranting-rantingnya masih meneteskan getah segar. Dan
mereka yakini bahwa Gus Miek tadi pasti habis sholat jum’at di Mekah.
Pada suatu saat Gus Miek juga terlihat lagi dikelilingi fakir miskin,
Gus Miek memberikan uang kepada mereka semuanya. Anehnya uang tersebut
diberikan setelah beliau secepat kilat menggerakkan tangan kanannya ke
udara, dan mendadak ditangan beliau sudah tergenggam uang segepok.
Kiai kharismatik dan sederhana, kaya dengan karomah serta sangat dekat
dengan orang kebanyakan, pembela serta pelindung kaum papa dan miskin
ini, tak ayal dianggap seorang Wali ( Orang Suci). Sosok beliau yang
pergaulannya dikenal luas ini, wafat di Surabaya tepatnya di Rumah Sakit
Budi Mulia, pada 5 Juni 1993, dan dimakamkan di pemakaman para Wali,
Desa Ngadi, Kecamatan Mojo, Kediri. Tempat Makam ini juga beliau
penggagasnya.
Perjalanan Hidup Gus Miek
Gus Miek dalam usia 9 tahun sudah pernah ke pasuruan untuk mengunjungi KH. Hamid. Ini adalah sebuah pertemuan pertama yang sangat mengharukan. Saat itu Gus Miek telah beberapa hari tinggal di pondok KH. Hamid. Selama itu pula Gus Miek tidak pernah menjalankan shalat. Ia hanya tidur saja sepanjang hari. Oleh KH. Hamid, Gus Miek kemudian dibangunkan dan dimarahi agar menjalankan shalat. Gus miek lalu bangun, tetapi bukan untuk menjalankan shalat melainkan membaca perjalanan hidup KH. Hamid dari awal hingga akhir, termasuk mengenai kelebihan dan kekurangannya. KH. Hamid pun terkejut, kemudian memeluk Gus Miek dengan berurai air mata. Sejak saat itu, KH. Hamid sangat menyayangi Gus Miek dan memerintahkan semua muridnya agar apa pun yang dilakukan Gus Miek dibiarkan saja, bahkan kalau bisa dilayani semua kebutuhannya.
Suatu ketika, rombongan keluarga KH. Ahmad Siddiq yang tengah khusyuk ziarah ke makam Sunan Ampel terganggu oleh datangnya rombongan Gus Miek yang terdiri dari berbagai latar belakang kehidupannya. Rombongan yang cukup banyak itu sedikit gaduh sehingga mengganggu rombongan yang lain, termasuk rombongan KH. Ahmad Siddiq. Melihat rombongan Gus Miek yang campur aduk dan gaduh itu KH. Ahmad Siddik menyingkir lalu melanjutkan perjalanan ke Pasuruan menemui KH. Hamid yang masih merupakan kerabatnya. KH. Ahmad Siddiq kemudian bercerita kepada KH. Hamid bahwa dirinya telah bertemu dengan Gus Miek dan rombongannya saat ziarah di makam Sunan Ampel.
“Ya, Pak Kiai, begini, Gus Miek itu di atas saya,” jawab KH. Hamid setelah mendengar pengaduan KH. Ahmad Siddiq.
“Ah, masak?” tanya KH. Ahamd Siddiq tidak percaya karena KH. Hamid sudah sangat termasyhur keluhurannya di kalangan ulama tanah Jawa.
“Saya itu tugasnya ‘sowan’ kepada para kiai. Kalau Gus Miek itu tugasnya kepada bromocorah,” jawab KH. Hamid.
KH. Ahmad Siddiq hanya diam saja mendengarkan dan penuh keraguan.
“Benar, Pak Kiai. Gus Miek itu tugasnya kepada para bromocorah, para pemabuk, pejudi, perempuan nakal, dan orang-orang awam. Dan, untuk tugas seperti itu saya tidak sanggup,” tegas KH. Hamid.
Setelah mendengar jawaban KH. Hamid, KH. Ahmad Siddiq dengan perasaan yang berkecamuk langsung berangkat ke Ploso menemui KH. Djazuli untuk mengadukan jawaban KH. Hamid tersebut.
“Begini, Kiai Ahmad, saya dengan Gus Miek itu harus bagaimana?! Dulu, Kiai Watucongol juga menceritakan kehebatannya Gus Miek. Saya jadinya hanya bisa diam saja,” jawab KH. Djazuli.
Pada kasus lain diceritakan, KH. Ahmad Siddiq pernah mengadu kepada KH. Hamid tentang sepak terjang Gus Miek dan para pengikutnya karena kebetulan KH. Ahamad Siddik juga sering ke Tulungagung, di rumah mertuanya, sehingga ia sering melihat hal itu.
“Begini Pak Kiai, sampean kalau baik dengan saya, berarti juga harus baik dengan ‘sana’ karena ia kakakku. Sampean buka saja kitab ini halaman sekian,” jawab KH. Hamid. Akhirnya, KH. Ahmad Siddiq pulang dan membuka kitab yang telah sering dibacanya. KH. Ahmad Siddiq pun menjadi mengerti maksud dari kitab itu.
Setelah kekacauan akibat pemberontakan PKI mulai reda, Gus Miek dalam perkembangan dakwahnya mulai memasuki wilayah Pasuruan. Pertama kali masuk wilayah tersebut, Gus Miek menuju rumah KH. Hamid yang dikenal sebagai wali. Saat hendak naik mobil, dari Malang, Gus Miek mengirim bacaan Al-Fatehah kepada KH. Hamid. Selama dalam perjalanan, Gus Miek hanya diam saja sehingga para pengikutnya pun ikut diam membisu.
Tiba-tiba di pekarangan rumah KH. Hamid, Gus Miek tidak langsung bertemu, tatapi hanya mondar-mandir di jalan. Setelah beberapa lama, Gus Miek mengajak shalat di masjid, dan Gus Miek menjadi imam. Setelah salam, ada seorang laki-laki yang menyentuh pundak Amar Mujib dan bertanya.
“Maaf, orang itu apakah Kiai Hamim?”
Amar mengangguk.
“Gus, nanti tidur di sini ya? Nanti saya potongkan ayam, dan tidur dengan saya satu rumah,” kata lelaki itu yagn ternyata adalah KH. Hamid. KH. Hamid ternyata tidak mengenali Gus Miek yang duduk-duduk dan mondar-mandir di pekarangan karena penampilan Gus Miek sudah sangat jauh berbeda dengan saat ketika ia sering mengunjungi KH. Hamid belasan tahun silam. Saat itu, Gus Miek masih muda belia dengan pakaian lusuh dan rambut panjang. Pertemuan pertama Gus Miek dengan KH. Hamid adalah saat Gus Miek berusia sekitar 9 tahun.
Gus Miek lalu bertamu ke rumah KH. Hamid. Keduanya asyik berbincang tanpa memedulikan tamu-tamu yang lain. Puluhan tamu menunggu untuk bertemu KH. Hamid, tetapi tidak dipedulikan sampai akhirnya datang Kiai Dhofir.
“Mid, Hamid!” Kiai Dhofir memanggil.
Gus Miek terlihat sangat marah, mukanya merah padam, matanya tajam menatap Kiai Dhofir. Gus Miek dengan tergesa-gesa pamit pulang. Dalam perjalanan, Gus Miek dengan nada emosi berkata: “Masya Allah, siapa tamu tadi, kok tidak punya tata karma!”
“Mungkin karena Kiai Hamid adalah kemenakannya,” Amar menanggapi emosi Gus Miek.
“Walaupun kemenakannya saya tidak terima. Kiai Hamid itu kiai dan juga termasuk wali.” Jawab Gus Miek masih dalam keadaan emosi.
Setelah emosinya mereda, Gus Miek berkata: “Mar, kata Kiai Hamid, wali di sini yang paling tinggi adalah Husein, orangnya hitam. Tetapi, wali Husein berkata bahwa wali yang paling tinggi di sini adalah Kiai Hamid.”
Pada kesempatan yang lain, Gus Miek bersama ibnu Katsir Siroj dan Nototawar pergi ke Pasuruan untuk mencari Habib Ahmad as-Syaqaf. Hari itu hari Minggu, mereka berangkat dari Tulungagung pagi-pagi. Hampir seharian berputar-putar di Pasuruan, belum juga bisa bertemu alamatnya. Sudah ditemukan Habib Muhamad, tetapi belum ditemukan yang bermarga as Syaqaf. Hingga diputuskan” pokoknya yang aneh, khariqul ‘adah, dan yang jadzab! Sayang, tetap tidak bertemu juga.
Akhirnya, satu-satunya jalan adalah bertanya kepada KH. Hamid Pasuruan. Begitu tiba di rumah KH.hamid, dia sudah menyambut di depan pintu. “Hamim, wal qur’anil hakim,” sapa KH. Hamid sambil memeluk Gus Miek dan membimbingnya masuk.
Setelah di dalam rumah, KH. Hamid kemudian menyodorkan kain sarung Samarinda berwarna hijau kepada Gus Miek.
“Ini, Gus, saya beri sarung, silakan shalat dulu,” kata KH. Hamid .
Gus Miek dan kedua pengikutnya kemudian menuju ke masjid. Ketika saatnya mendirikan sholat, Gus Miek hilang dari pandangan. Dicari-cari tetap tidak ketemu. Akhirnya, keduanya shalat, tetapi begitu mengucapkan salam, ternyata Gus Miek sudah duduk bersila di sebelah Katsir. Sehabis shalat, keduanya menemui KH. Hamid.
“Wah, Gus, sampean telat. Tadi malam, tepat malam Jum’at, saya khataman Riyadh as-Shalihin dan didatangi Kanjeng Nabi,” kata KH. Hamid.
Gus Miek hanya tersenyum. KH. Hamid kemudian berdiri mengambil sesuatu di atas sebuah jam besar, lalu mengulurkan tangannya kepada Gus Miek dan kedua pengikutnya. KH. Hamid menyuruh Gus Miek mengambil satu, demikian juga dengan yang lain, lalu kemudian memintanya kembali.
Gus Miek, yang tadinya mengambil biji yang berada di tengah, ketika mengembalikan biji itu ke telapak tangan KH. Hamid berubah menjadi batu akik, sementara yan lain masih tetap berupa biji koro. Kemudian KH. Hamid mengembalikannya kepada masing-masing. Kepada Ibnu Katsir, KH. Hamid berpesan agar biji itu ditanam dan kelak bila sudah berbuah KH. Hamid akan datang berkunjung ke rumahnya.
Ketiganya lalu berpamitan dan segera mencari rumah Habib Muhamad as-syaqaf sebagaimana petunjuk KH. Hamid. Ternyata, rumahnya dekat sekali dengan rumah KH. Hamid. Tiba di rumah Habib Muhamad as-syaqaf, orangnya tinggi besar dengan suara yang keras dan lantang.
“Dari mana?” Tanya Habib Muhamad as-Syaqaf.
“Mau minta doa shalawat,” jawab Gus Miek.
“Apa belum shalat, di dalam shalat kan banyak shalawat dan banyak doa,” jawab Habib Muhamad as-Syaqaf.
Habib Muhamad as-Syaqaf kemudian berdiri dan menjalankan shalat. Akan tetapi, urut-urutan shalat yang dijalankan Habib Muhamad as-Syaqaf sungguh kacau balau menurut tata aturan syari’at fiqih pada umumnya.
Usai shalat, Habib Muhamad as-Syaqaf mengambil ceret berwarna keemasan dengan satu gelas besar dan tiga cangkir kecil. Habib Muhamad as-Syaqaf menuangkan kopi jahe khas Arab, lalu memberikan yang paling besar kepada Gus Miek dan disuruh menghabiskannya. Begitu Gus Miek meminum habis isi gelas besar itu, Habib Muhamad as-Syaqaf kembali menuangkan secara penuh, kembali Gus Miek menghabiskan. Kejadian tersebut terus berulang sehingga kedua pengikut Gus Miek menjadi keheranan, bagaimana mungkin ceret sekecil itu mempunyai isi yang sedemikian banyak, dan betapa kasihan Gus Miek harus meminum minuman yang tidak enak di lidah dan di perut itu sedemikian banyak, meski seolah Gus Miek tidak mersakan apa-apa. Setelah puas saling membuktikan kemampuannya, Habib Muhamad as-Syaqaf menyuruh Gus Miek berdoa dan dia mengamininya.
Di tengah perjalanan pulang, Ibnu Katsir Siroj memprotes Gus Miek mengenai peristiwa pemberian KH. Hamid. Seharusnya, menurut Ibnu Katsir, Gus Miek tidak mengambil biji yang tengah karena Gus Miek sudah sakti. Gus Miek menjelaskan, pada awalnya memang ingin mengambil yang pinggir, tetapi tiba-tiba ada suara “Khayrul umuri ausatbuha,” (sebaik-baik perkara adalah yang tengah). Lalu, Ibnu Katsir meminta sarung Gus Miek, tetapi Gus Miek tidak memberikannya karena ia kenang-kenangan dari KH. Hamid Pasuruan.
Setelah tiba dan tinggal kembali di Mangunsari, semakin hari semakin banyak pengikut Gus Miek, baik pengikut Lailiyah maupun santri jalanan yang simpati kepada Gus Miek. Gus Miek hanya menyarankan kepada mereka untuk mengunjungi orang-orang saleh sehingga kesadaran mereka bisa muncul dengan sendirinya. Misalkan berkunjung ke KH. Hamid Pasuruan, Gus Miek meminta Maskur menyampaikan salamnya kepada KH. Hamid. KH. Hamid yang memahami maksud Gus Miek, menerima salam itu sambil terlihat marah (ia tampak habis memarahi rombongan yang masih berada di pelataran rumahnya).
“Gus Miek siapa!” bentak KH. Hamid.
“Ploso,” jawab Maskur.
“Gus Miek itu siapa, sembahyang atau tidak,” bentak KH. Hamid.
“Ya, tidak tahu,” jawab Maskur.
“Anak siapa sih Gus Miek itu, ya sudah kamu tidak salah, saya juga tidak salah, sampaikan salam saya kepada Gus Miek,” kata KH. Hamid .
Maskur kemudian mencari Gus Miek ke Ploso, Mojoagung, Jember, Surabaya, Botoputih, tatapi tidak ketemu. Akhirnya, ia balik ke Setonogedong, Kediri. Setelah membaca surat Yasin, Gus Miek tiba-tiba muncul.
Pembicaraan KH. Hamid dengan Maskur beserta rombongannya tersebut juga disaksikan oleh seorang tamu yang meragukan shalat Gus Miek, ingin menemui KH. Hamid untuk menanyakan hal itu.
“Lho, itu yang kau tanyakan, itu kan Gus Miek, cepat minta maaf. Ayo, saya antarkan,” ajak KH. Hamid seperti gugup.
KH. Hamid kemudian membukakan jendela.
“Lihat, itu siapa yang shalat,” kata KH. Hamid.
Orang itu gemetar dan pucat karena melihat Gus miek tengah menjalankan shalat di pucuk pohon mangga, beralaskan daun-daun mangga.
“Sudah, cari Gus Miek dan minta maaf,” perintah KH. Hamid.
Orang itu pun terus mencari Gus Miek dan baru bertemu Gus Miek setelah dua tahun kemudian.
sumber informasi : blog.its.ac.id Terima kasih Anda telah membaca Kisah KH HAMIM DJAZULI ( GUS MIEK ). Mungkin Anda tertarik ingin membaca artikel ©Kejahatan dan Kemuliaan yang lainya?