Abu Nawas Akan Dihukum Pancung
Cita-cita atau obsesi
menghukum Abu Nawas sebenarnya masih bergolak, namun Baginda merasa
kehabisan akal untuk menjebak Abu Nawas.
Seorang penasihat kerajaan kepercayaan Baginda Raja menyarankan agar Baginda memanggil seorang ilmuwan-ulama yang berilmu tinggi untuk menandingi Abu Nawas. Pasti masih ada peluang untuk mencari kelemahan Abu Nawas. Menjebak pencuri harus dengan pencuri. Dan ulama dengan ulama. Baginda menerima usul yang cemerlang itu dengan hati bulat. Setelah ulama yang berilmu tinggi berhasil ditemukan, Baginda Raja menanyakan cara terbaik menjerat Abu Nawas. Ulama itu memberi tahu cara-cara yang paling jitu kepada Baginda Raja. Baginda Raja manggut-manggut setuju. Wajah Baginda tidak lagi murung. Apalagi ulama itu menegaskan bahwa ramalan Abu Nawas tentang takdir kematian Baginda Raja sama sekali tidak mempunyai dasar yang kuat. Tiada seorang pun manusia yang tahu kapan dan di bumi mana ia akan mati apalagi tentang ajal orang lain.
Ulama andalan Baginda Raja mulai mengadakan persiapan seperlunya untuk memberikan pukulan fatal bagi Abu Nawas. Siasat pun dijalankan sesuai rencana. Abu Nawas terjerembab ke pangkuan siasat sang ulama. Abu Nawas melakukan kesalahan yang bisa menghantarnya ke tiang gantungan atau tempat pemancungan. Benarlah peribahasa yang berbunyi sepandai-pandai tupai melompat pasti suatu saat akan terpeleset. Kini, Abu Nawas benar-benar mati kutu. Sebentar lagi ia akan dihukum mati karena jebakan sang ilmuwan-ulama. Benarkah Abu Nawas sudah keok? Kita lihat saja nanti.
Banyak orang yang merasa simpati atas nasib Abu Nawas, terutama orang-orang miskin dan tertindas yang pernah ditolongnya. Namun derai air mata para pecinta dan pengagum Abu Nawas tak.akan mampu menghentikan hukuman mati yang akan dijatuhkan. Baginda Raja Harun Al Rasyid benar-benar menikmati kemenangannya. Belum pernah Baginda terlihat seriang sekarang. Keyakinan orang banyak bertambah mantap. Hanya satu orang yang tetap tidak yakin bahwa hidup Abu Nawas akan berakhir setragis itu, yaitu istri Abu Nawas.
Bukankah Alla Azza Wa Jalla lebih dekat daripada urat leher. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah Yang Maha Gagah. Dan kematian adalah mutlak urusanNya. Semakin dekat hukuman mati bagi Abu Nawas; orang banyak semakin resah. Tetapi bagi Abu Nawas malah sebaliknya. Semakin dekat hukuman bagi dirinya, semakin tenang hatinya. Malah Abu Nawas nampak setenang air danau di pagi hari. Baginda Raja tahu bahwa ketenangan yang ditampilkan Abu Nawas hanyalah merupakan bagian dari tipu dayanya Tetapi Baginda Raja telah bersumpah pada diri sendiri bahwa beliau tidak akan terkecoh untuk kedua kalinya.
Sebaliknya Abu Nawas juga yakin, selama nyawa masih melekat maka harapan akan terus menyertainya. Tuhan tidak mungkin menciptakan alam semesta ini tanpa ditaburi harapan-harapan yang menjanjikan. Bahkan dalam keadaan yang bagaimanapun gentingnya. Keyakinan seperti inilah yang tidak dimiliki oleh Baginda Raja dan ulama itu. Seketika suasana menjadi hening, sewaktu Baginda Raja memberi sambutan singkat tentang akan dilaksanakan hukuaman mati atas diri terpidana mati Abu Nawas. Kemudian tanpa memperpanjang waktu lagi Baginda Raja menanyakan permintaan terakhir Abu Nawas.
Dan pertanyaan inilah yang paling dinanti-nantikan Abu Nawas. “Adakah permintaan yang terakhir”
“Ada Paduka yang mulia.” jawab Abu Nawas singkat.
“Sebutkan.” kata Baginda.
“Sudilah kiranya hamba diperkenankan memilih hukuman mati yang hamba anggap cocok wahai Baginda yang mulia.” pinta Abu Nawas.
“Baiklah.” kata Baginda menyetujui permintaan Abu Nawas…”Paduka yang mulia, yang hamba pinta adalah bila pilihan hamba benar hamba bersedia dihukum pancung, tetapi jika pilihan hamba dianggap salah maka hamba dihukum gantung saja.” kata Abu Nawas memohon.
“Engkau memang orang yang aneh. Dalam saat-saat yang amat genting pun engkau masih sempat bersenda gurau. Tetapi ketahuilah bagiku segala tipu muslihatmu hari ini tak akan bisa membawamu kemana-mana.” kata Baginda sambil tertawa.
Seorang penasihat kerajaan kepercayaan Baginda Raja menyarankan agar Baginda memanggil seorang ilmuwan-ulama yang berilmu tinggi untuk menandingi Abu Nawas. Pasti masih ada peluang untuk mencari kelemahan Abu Nawas. Menjebak pencuri harus dengan pencuri. Dan ulama dengan ulama. Baginda menerima usul yang cemerlang itu dengan hati bulat. Setelah ulama yang berilmu tinggi berhasil ditemukan, Baginda Raja menanyakan cara terbaik menjerat Abu Nawas. Ulama itu memberi tahu cara-cara yang paling jitu kepada Baginda Raja. Baginda Raja manggut-manggut setuju. Wajah Baginda tidak lagi murung. Apalagi ulama itu menegaskan bahwa ramalan Abu Nawas tentang takdir kematian Baginda Raja sama sekali tidak mempunyai dasar yang kuat. Tiada seorang pun manusia yang tahu kapan dan di bumi mana ia akan mati apalagi tentang ajal orang lain.
Ulama andalan Baginda Raja mulai mengadakan persiapan seperlunya untuk memberikan pukulan fatal bagi Abu Nawas. Siasat pun dijalankan sesuai rencana. Abu Nawas terjerembab ke pangkuan siasat sang ulama. Abu Nawas melakukan kesalahan yang bisa menghantarnya ke tiang gantungan atau tempat pemancungan. Benarlah peribahasa yang berbunyi sepandai-pandai tupai melompat pasti suatu saat akan terpeleset. Kini, Abu Nawas benar-benar mati kutu. Sebentar lagi ia akan dihukum mati karena jebakan sang ilmuwan-ulama. Benarkah Abu Nawas sudah keok? Kita lihat saja nanti.
Banyak orang yang merasa simpati atas nasib Abu Nawas, terutama orang-orang miskin dan tertindas yang pernah ditolongnya. Namun derai air mata para pecinta dan pengagum Abu Nawas tak.akan mampu menghentikan hukuman mati yang akan dijatuhkan. Baginda Raja Harun Al Rasyid benar-benar menikmati kemenangannya. Belum pernah Baginda terlihat seriang sekarang. Keyakinan orang banyak bertambah mantap. Hanya satu orang yang tetap tidak yakin bahwa hidup Abu Nawas akan berakhir setragis itu, yaitu istri Abu Nawas.
Bukankah Alla Azza Wa Jalla lebih dekat daripada urat leher. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah Yang Maha Gagah. Dan kematian adalah mutlak urusanNya. Semakin dekat hukuman mati bagi Abu Nawas; orang banyak semakin resah. Tetapi bagi Abu Nawas malah sebaliknya. Semakin dekat hukuman bagi dirinya, semakin tenang hatinya. Malah Abu Nawas nampak setenang air danau di pagi hari. Baginda Raja tahu bahwa ketenangan yang ditampilkan Abu Nawas hanyalah merupakan bagian dari tipu dayanya Tetapi Baginda Raja telah bersumpah pada diri sendiri bahwa beliau tidak akan terkecoh untuk kedua kalinya.
Sebaliknya Abu Nawas juga yakin, selama nyawa masih melekat maka harapan akan terus menyertainya. Tuhan tidak mungkin menciptakan alam semesta ini tanpa ditaburi harapan-harapan yang menjanjikan. Bahkan dalam keadaan yang bagaimanapun gentingnya. Keyakinan seperti inilah yang tidak dimiliki oleh Baginda Raja dan ulama itu. Seketika suasana menjadi hening, sewaktu Baginda Raja memberi sambutan singkat tentang akan dilaksanakan hukuaman mati atas diri terpidana mati Abu Nawas. Kemudian tanpa memperpanjang waktu lagi Baginda Raja menanyakan permintaan terakhir Abu Nawas.
Dan pertanyaan inilah yang paling dinanti-nantikan Abu Nawas. “Adakah permintaan yang terakhir”
“Ada Paduka yang mulia.” jawab Abu Nawas singkat.
“Sebutkan.” kata Baginda.
“Sudilah kiranya hamba diperkenankan memilih hukuman mati yang hamba anggap cocok wahai Baginda yang mulia.” pinta Abu Nawas.
“Baiklah.” kata Baginda menyetujui permintaan Abu Nawas…”Paduka yang mulia, yang hamba pinta adalah bila pilihan hamba benar hamba bersedia dihukum pancung, tetapi jika pilihan hamba dianggap salah maka hamba dihukum gantung saja.” kata Abu Nawas memohon.
“Engkau memang orang yang aneh. Dalam saat-saat yang amat genting pun engkau masih sempat bersenda gurau. Tetapi ketahuilah bagiku segala tipu muslihatmu hari ini tak akan bisa membawamu kemana-mana.” kata Baginda sambil tertawa.
“Hamba tidak bersenda gurau Raduka yang mulia.” kata Abu Nawas
bersungguh-sungguh. Baginda main terpingkal-pingkal. Belum selesai
Baginda Raja tertawa-tawa, Abu Nawas berteriak dengan nyaring.
“Hamba minta dihukum pancung!” Semua yang hadir kaget. Orang banyak
belum mengerti mengapa Abu Nawas membuat keputusan begitu. Tetapi
kecerdasan otak Baginda Raja menangkap sesuatu yang lain. Sehingga tawa
Baginda yang semula berderai-derai mendariak terhenti. Kening Baginda
berkenyit mendengar ucapan Abu Nawas. Baginda Raja tidak berani menarik
kata-katanya karena disaksikan oleh ribuan rakyatnya. Beliau sudah
terlanjur mengabulkan Abu Nawas menentukan hukuman mati yang paling
cocok untuk dirinya.
Kini kesempatan Abu Nawas membela diri. “Baginda yang mulia, hamba
tadi mengatakan bahwa hamba akan dihukum pancung. Kalau pilihan hamba
benar maka hamba dihukum gantung. Tetapi di manakah letak kesalahan
pilihan hamba sehingga hamba harus dihukum gantung. Padahal hamba telah
memilih hukuman pancung?” Olah kata Abu Nawas memaksa Baginda Raja dan
ulama itu tercengang. Benar-benar luar biasa otak Abu Nawas ini. Rasanya
tidak ada lagi manusia pintar selain Abu Nawas di negeri Baghdad ini.
“Abu Nawas aku mengampunimu, tapi sekarang jawablah pertanyaanku ini. Berapa banyakkah bintang di langit?”
“Oh, gampang sekali Tuanku.”
“lya, tapi berapa, seratus juta, seratus milyar?” tanya Baginda.
“Bukan Tuanku, cuma sebanyak pasir di pantai.”Kau ini… bagaimana bisa orang menghitung pasir di pantai?”
“Bagaimana pula orang bisa menghitung bintang di langit?”
“Hahahahaha…! Kau memang penggeli hati. Kau adalah pelipur laraku.
Abu Nawas mulai sekarang jangan segan-segan, sering-seringlah datang ke
istanaku. Aku ingin selalu mendengar lelucon-leluconmu yang baru!”
“Siap Baginda…!” Lalu Baginda memerintahkan bendahara kerajaan
memberikan sekantong uang kepada manusia terlucu di negerinya itu.
Abu Nawas Masuk Penjara
Abu Nawas masih mengeram di
penjara. Namun begitu Abu Nawas masih bisa menyelesaikan pekerjaannya
dengan memakai tangan orang lain. Baginda berpikir. Sejenak kemudian
beliau segera memerintahkan sipir penjara untuk membebaskan Abu Nawas.
Baginda Raja tidak ingin menanggung resiko yang lebih buruk. Karena akal
Abu Nawas tidak bisa ditebak. Bahkan di dalam penjara pun Abu Nawas
masih sanggup menyusahkan orang.
Keputusan yang dibuat Baginda Raja untuk melepaskan Abu Nawas memang
sangat tepat. Karena bila sampai Abu Nawas bertambah sakit hati maka
tidak mustahil kesusahan yang akan ditimbulkan akan semakin gawat. Kini
hidung Abu Nawas sudah bisa
menghirup udara kebebasan di luar. Istri Abu Nawas menyambut gembira kedatangan suami yang selama ini sangat dirindukan. Abu Nawas juga riang. Apalagi melihat tanaman kentangnya akan membuahkan hasil yang bisa dipetik dalam waktu dekat.
Abu Nawas memang girang bukan kepalang tetapi ia juga merasa gundah. Bagaimana Abu Nawas tidak merasa gundah gulana sebab Baginda sudah tidak lagi memakai perangkap untuk memenjarakan dirinya. Tetapi Baginda Raja langsung memenjarakannya. Maka tidak mustahil bila suatu ketika nanti Baginda langsung menjatuhkan hukuman pancung. Abu Nawas yakin bahwa saat ini Baginda pasti sedang merencanakan sesuatu. Abu Nawas menyiapkan payung untuk menyambut hujan yang akan diciptakan Baginda Raja.
Pada hari itu Abu Nawas mengumumkan dirinya sebagai ahli nujum atau tukang ramal nasib. Sejak membuka praktek ramal-meramal nasib, Abu Nawas sering mendapat panggilan dari orang-orang terkenal. Kini Abu Nawas tidak saja dikenal sebagai orang yang handal dalam menciptakan gelak tawa tetapi juga sebagai ahli ramal yang jitu.
Mendengar Abu Nawas mendadak menjadi ahli ramal maka Baginda Raja Harun Al Rasyid merasa khawatir. Baginda curiga jangan-jangan Abu Nawas bisa membahayakan kerajaan. Maka tanpa pikir panjang Abu Nawas ditangkap. Abu Nawas sejak semula yakin Baginda Raja kali ini bemiat akan menghabisi riwayatnya. Tetapi Abu Nawas tidak begitu merasa gentar. Mungkin Abu Nawas sudah mempersiapkan tameng. Setelah beberapa hari meringkuk di dalam penjara, Abu Nawas digiring menuju tempat kematian.Tukang penggal kepala sudah menunggu dengan pedang yang baru diasah. Abu Nawas menghampiri tempat penjagalan dengan amat tenang. Baginda merasa kagum terhadap ketegaran Abu Nawas. Tetapi Baginda juga bertanya-tanya dalam hati mengapa Abu Nawas begitu tabah menghadapi detik-detik terakhir hidupnya. Ketika algojo sudah siap mengayunkan pedang, Abu Nawas tertawa-tawa sehingga Baginda menangguhkan pemancungan.Beliau bertanya, “Hai Abu Nawas, apakah engkau tidak merasa ngeri menghadapi pedang algojo?”
“Ngeri Tuanku yang mulia, tetapi hamba juga merasa gembira.” jawab Abu Nawas sambil tersenyum.
“Engkau merasa gembira?” tanya Baginda kaget.
“Betul Baginda yang mulia, karena tepat tiga hari setelah kematian hamba, maka Baginda pun akan mangkat menyusul hamba ke liang lahat, karena hamba tidak bersalah sedikit pun.” kata Abu Nawas tetap tenang. Baginda gemetar mendengar ucapan Abu Nawas. dan tentu saja hukuman pancung dibatalkan.
Abu Nawas digiring kembali ke penjara. Baginda memerintahkan agar Abu Nawas diperlakukan istimewa. Malah Baginda memerintahkan supaya Abu Nawas disuguhi hidangan yang enak-enak. Tetapi Abu Nawas tetap tidak kerasa tinggal di penjara. Abu Nawas berpesan dan setengah mengancam kepada penjaga penjara bahwa bila ia terus-menerus mendekam dalam penjara ia bisa jatuh sakit atau meninggal Baginda Raja terpaksa membebaskan Abu Nawas setelah mendengar penuturan penjaga penjara.
menghirup udara kebebasan di luar. Istri Abu Nawas menyambut gembira kedatangan suami yang selama ini sangat dirindukan. Abu Nawas juga riang. Apalagi melihat tanaman kentangnya akan membuahkan hasil yang bisa dipetik dalam waktu dekat.
Abu Nawas memang girang bukan kepalang tetapi ia juga merasa gundah. Bagaimana Abu Nawas tidak merasa gundah gulana sebab Baginda sudah tidak lagi memakai perangkap untuk memenjarakan dirinya. Tetapi Baginda Raja langsung memenjarakannya. Maka tidak mustahil bila suatu ketika nanti Baginda langsung menjatuhkan hukuman pancung. Abu Nawas yakin bahwa saat ini Baginda pasti sedang merencanakan sesuatu. Abu Nawas menyiapkan payung untuk menyambut hujan yang akan diciptakan Baginda Raja.
Pada hari itu Abu Nawas mengumumkan dirinya sebagai ahli nujum atau tukang ramal nasib. Sejak membuka praktek ramal-meramal nasib, Abu Nawas sering mendapat panggilan dari orang-orang terkenal. Kini Abu Nawas tidak saja dikenal sebagai orang yang handal dalam menciptakan gelak tawa tetapi juga sebagai ahli ramal yang jitu.
Mendengar Abu Nawas mendadak menjadi ahli ramal maka Baginda Raja Harun Al Rasyid merasa khawatir. Baginda curiga jangan-jangan Abu Nawas bisa membahayakan kerajaan. Maka tanpa pikir panjang Abu Nawas ditangkap. Abu Nawas sejak semula yakin Baginda Raja kali ini bemiat akan menghabisi riwayatnya. Tetapi Abu Nawas tidak begitu merasa gentar. Mungkin Abu Nawas sudah mempersiapkan tameng. Setelah beberapa hari meringkuk di dalam penjara, Abu Nawas digiring menuju tempat kematian.Tukang penggal kepala sudah menunggu dengan pedang yang baru diasah. Abu Nawas menghampiri tempat penjagalan dengan amat tenang. Baginda merasa kagum terhadap ketegaran Abu Nawas. Tetapi Baginda juga bertanya-tanya dalam hati mengapa Abu Nawas begitu tabah menghadapi detik-detik terakhir hidupnya. Ketika algojo sudah siap mengayunkan pedang, Abu Nawas tertawa-tawa sehingga Baginda menangguhkan pemancungan.Beliau bertanya, “Hai Abu Nawas, apakah engkau tidak merasa ngeri menghadapi pedang algojo?”
“Ngeri Tuanku yang mulia, tetapi hamba juga merasa gembira.” jawab Abu Nawas sambil tersenyum.
“Engkau merasa gembira?” tanya Baginda kaget.
“Betul Baginda yang mulia, karena tepat tiga hari setelah kematian hamba, maka Baginda pun akan mangkat menyusul hamba ke liang lahat, karena hamba tidak bersalah sedikit pun.” kata Abu Nawas tetap tenang. Baginda gemetar mendengar ucapan Abu Nawas. dan tentu saja hukuman pancung dibatalkan.
Abu Nawas digiring kembali ke penjara. Baginda memerintahkan agar Abu Nawas diperlakukan istimewa. Malah Baginda memerintahkan supaya Abu Nawas disuguhi hidangan yang enak-enak. Tetapi Abu Nawas tetap tidak kerasa tinggal di penjara. Abu Nawas berpesan dan setengah mengancam kepada penjaga penjara bahwa bila ia terus-menerus mendekam dalam penjara ia bisa jatuh sakit atau meninggal Baginda Raja terpaksa membebaskan Abu Nawas setelah mendengar penuturan penjaga penjara.
Mencangkul Dari Dalam Penjara
Karena dianggap hampir
membunuh Baginda maka Abu Nawas mendapat celaka. Dengan kekuasaan yang
absolut Baginda memerintahkan prajurit-prajuritnya langsung menangkap
dan menyeret Abu Nawas untuk dijebloskan ke penjara. Waktu itu Abu Nawas
sedang bekerja di ladang karena musim tanam kentang akan tiba. Ketika
para prajurit kerajaan tiba, ia sedang mencangkul.
Dan tanpa alasan yang jelas mereka langsung menyeret Abu Nawas sesuai
dengan titah Baginda. Abu Nawas tidak berkutik. Kini ia mendekam di
dalam penjara. Beberapa hari lagi kentang-kentang itu harus ditanam.
Sedangkan istrinya tidak cukup kuat untuk melakukan pencangkulan. Abu
Nawas tahu bahwa
tetangga-tetangganya tidak akan bersedia membantu istrinya sebab mereka juga sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.
Tidak ada yang bisa dilakukan di dalam penjara kecuali mencari jalan keluar. Seperti biasa Abu Nawas tidak bisa tidur dan tidak enak makan. Ia hanya makan sedikit. Sudah dua hari ia meringkuk di dalam penjara. Wajahnya murung. Hari ketiga Abu Nawas memanggil seorang pengawal. “Bisakah aku minta tolong kepadamu?” kata Abu Nawas membuka pembicaraan.
“Apa itu?” kata pengawal itu tanpa gairah.
“Aku ingin pinjam pensil dan selembar kertas. Aku ingin menulis surat untuk istriku. Aku harus menyampaikan sebuah rahasia penting yang hanya boleh diketahui oleh istriku saja.”
Pengawal itu berpikir sejenak lalu pergi meninggalkan Abu Nawas. Ternyata pengawal itu menghadap Baginda Raja untuk melapor. Mendengar laporan dari pengawal, Baginda segera menyediakan apa yang diminta Abu Nawas. Dalam hati, Baginda bergumam mungkin kali ini ia bisa mengalahkan Abu Nawas. Abu Nawas menulis surat yang berbunyi:
“Wahai istriku, janganlah engkau sekali-kali menggali ladang kita karena aku menyembunyikan harta karun dan senjata di situ. Dan tolong jangan bercerita kepada siapa pun.”
Tentu saja surat itu dibaca oleh Baginda karena beliau ingin tahu apa sebenamya rahasia Abu Nawas. Setelah membaca surat itu Baginda merasa puas dan langsung memerintahkan beberapa pekerja istana untuk menggali ladang Abu Nawas. Dengan peralatan yang dibutuhkan mereka berangkat dan langsung menggali ladang Abu Nawas. Istri Abu Nawas merasa heran. Mungkinkah suaminya minta tolong pada mereka? Pertanyaan itu tidak terjawab karena mereka kembali ke istana tanpa pamit. Mereka hanya menyerahkan surat Abu Nawas kepadanya.
Lima hari kemudian Abu Nawas menerima surat dari istrinya. Surat itu berbunyi: “Mungkin suratmu dibaca sebelum diserahkan kepadaku. Karena beberapa pekerja istana datang ke sini dua hari yang lalu, mereka menggali seluruh ladang kita. Lalu apa yang harus kukerjakan sekarang?”
Rupanya istrinya Abu Nawas belum mengerti muslihat suaminya. Tetapi dengan bijaksana Abu Nawas membalas: “Sekarang engkau bisa menanam kentang di ladang tanpa harus menggali, wahai istriku.” Kali ini Baginda tidak bersedia membaca surat Abu Nawas lagi. Baginda makin mengakui keluarbiasaan akal Abu Nawas. Bahkan di dalam penjara pun Abu Nawas masih bisa melakukan pencangkulan.
tetangga-tetangganya tidak akan bersedia membantu istrinya sebab mereka juga sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.
Tidak ada yang bisa dilakukan di dalam penjara kecuali mencari jalan keluar. Seperti biasa Abu Nawas tidak bisa tidur dan tidak enak makan. Ia hanya makan sedikit. Sudah dua hari ia meringkuk di dalam penjara. Wajahnya murung. Hari ketiga Abu Nawas memanggil seorang pengawal. “Bisakah aku minta tolong kepadamu?” kata Abu Nawas membuka pembicaraan.
“Apa itu?” kata pengawal itu tanpa gairah.
“Aku ingin pinjam pensil dan selembar kertas. Aku ingin menulis surat untuk istriku. Aku harus menyampaikan sebuah rahasia penting yang hanya boleh diketahui oleh istriku saja.”
Pengawal itu berpikir sejenak lalu pergi meninggalkan Abu Nawas. Ternyata pengawal itu menghadap Baginda Raja untuk melapor. Mendengar laporan dari pengawal, Baginda segera menyediakan apa yang diminta Abu Nawas. Dalam hati, Baginda bergumam mungkin kali ini ia bisa mengalahkan Abu Nawas. Abu Nawas menulis surat yang berbunyi:
“Wahai istriku, janganlah engkau sekali-kali menggali ladang kita karena aku menyembunyikan harta karun dan senjata di situ. Dan tolong jangan bercerita kepada siapa pun.”
Tentu saja surat itu dibaca oleh Baginda karena beliau ingin tahu apa sebenamya rahasia Abu Nawas. Setelah membaca surat itu Baginda merasa puas dan langsung memerintahkan beberapa pekerja istana untuk menggali ladang Abu Nawas. Dengan peralatan yang dibutuhkan mereka berangkat dan langsung menggali ladang Abu Nawas. Istri Abu Nawas merasa heran. Mungkinkah suaminya minta tolong pada mereka? Pertanyaan itu tidak terjawab karena mereka kembali ke istana tanpa pamit. Mereka hanya menyerahkan surat Abu Nawas kepadanya.
Lima hari kemudian Abu Nawas menerima surat dari istrinya. Surat itu berbunyi: “Mungkin suratmu dibaca sebelum diserahkan kepadaku. Karena beberapa pekerja istana datang ke sini dua hari yang lalu, mereka menggali seluruh ladang kita. Lalu apa yang harus kukerjakan sekarang?”
Rupanya istrinya Abu Nawas belum mengerti muslihat suaminya. Tetapi dengan bijaksana Abu Nawas membalas: “Sekarang engkau bisa menanam kentang di ladang tanpa harus menggali, wahai istriku.” Kali ini Baginda tidak bersedia membaca surat Abu Nawas lagi. Baginda makin mengakui keluarbiasaan akal Abu Nawas. Bahkan di dalam penjara pun Abu Nawas masih bisa melakukan pencangkulan.
Membangun Istana Diawang awang
Abu Nawas belum kembali.
Kata istrinya ia bersama seorang Pendeta dan seorang Ahli Yoga sedang
melakukan pengembaraan suci. Padahal saat ini Baginda amat membutuhkan
bantuan Abu Nawas. Beberapa hari terakhir ini Baginda merencanakan
membangun istana di awang-awang. Karena sebagian dari raja-raja negeri
sahabat telah membangun bangunan-bangunan yang luar biasa.
Baginda tidak ingin menunggu Abu Nawas lebih lama lagi. Beliau
mengutus beberapa orang kepercayaanya untuk mencari Abu Nawas. Mereka
tidak berhasil menemukan Abu Nawas kerena Abu Nawas temyata sudah berada
di rumah ketika mereka baru berangkat.
Abu Nawas menghadap Baginda Raja Harun Al Rasyid.
Baginda amat riang. Saking gembiranya beliau mengajak Abu Nawas bergurau. Setelah saling tukar menukar cerita-cerita lucu, lalu Baginda mulai mengutarakan rencananya.
“Aku sangat ingin membangun istana di awang-awang agar aku lebih terkenal di antara raja-raja yang lain. Adakah kemungkinan keinginanku itu terwujud, wahai Abu Nawas?”
“Tidak ada yang tidak mungkin diiakukan di dunia ini Paduka yang mulia.” kata Abu Nawas berusaha mengikuti arah pembicaraan Baginda.
“Kalau menurut pendapatmu hal itu tidak mustahil diwujudkan maka aku serahkan sepenuhnya tugas ini kepadamu.” kata Baginda puas.
Abu Nawas terperanjat. Ia menyesal telah mengatakan kemungkinan mewujudkan istana di awang-awang. Tetapi nasi telah menjadi bubur. Kata-kata yang telah terlanjur didengar oleh Baginda tidak mungkin ditarik kembali. Baginda memberi waktu Abu Nawas beberapa minggu. Rasanya tak ada yang lebih berat bagi Abu Nawas kecuali tugas yang diembannya sekarang. Jangankan membangun istana di langit, membangun sebuah gubuk kecil pun sudah merupakan hal yang mustahil dikerjakan.
Abu Nawas menghadap Baginda Raja Harun Al Rasyid.
Baginda amat riang. Saking gembiranya beliau mengajak Abu Nawas bergurau. Setelah saling tukar menukar cerita-cerita lucu, lalu Baginda mulai mengutarakan rencananya.
“Aku sangat ingin membangun istana di awang-awang agar aku lebih terkenal di antara raja-raja yang lain. Adakah kemungkinan keinginanku itu terwujud, wahai Abu Nawas?”
“Tidak ada yang tidak mungkin diiakukan di dunia ini Paduka yang mulia.” kata Abu Nawas berusaha mengikuti arah pembicaraan Baginda.
“Kalau menurut pendapatmu hal itu tidak mustahil diwujudkan maka aku serahkan sepenuhnya tugas ini kepadamu.” kata Baginda puas.
Abu Nawas terperanjat. Ia menyesal telah mengatakan kemungkinan mewujudkan istana di awang-awang. Tetapi nasi telah menjadi bubur. Kata-kata yang telah terlanjur didengar oleh Baginda tidak mungkin ditarik kembali. Baginda memberi waktu Abu Nawas beberapa minggu. Rasanya tak ada yang lebih berat bagi Abu Nawas kecuali tugas yang diembannya sekarang. Jangankan membangun istana di langit, membangun sebuah gubuk kecil pun sudah merupakan hal yang mustahil dikerjakan.
Hanya Tuhan saja yang mampu melakukannya. Begitu gumam Abu Nawas.
Hari-hari berlalu seperti biasa. Tak ada yang dikerjakan Abu Nawas
kecuali memikirkan bagaimana membuat Baginda merasa yakin kalau yang
dibangun itu benar-benar istana di langit. Seluruh ingatannya dikerahkan
dan dihubung-hubungkan. Abu Nawas bahkan berusaha menjangkau masa
kanak-kanaknya. Sampai ia ingat bahwa dulu ia pemah bermain
layang-layang. Dan inilah yang membuat Abu Nawas girang. Abu Nawas tidak
menyia-nyiakan waktu lagi. Ia bersama beberapa kawannya merancang
layang-layang raksasa berbentuk persegi empat. Setelah rampung baru Abu
Nawas melukis pintu-pintu serta jendela-jendela dan ornamen-omamen
lainnya. Ketika semuanya selesai Abu Nawas dan kawan-kawannya
menerbangkan layang-layang raksasa itu dari suatu tempat yang
dirahasiakan. Begitu layang-layang raksasa berbentuk istana itu
mengapung di angkasa, penduduk negeri gempar. Baginda Raja girang bukan
kepalang. Benarkah Abu Nawas berhasil membangun istana di langit? Dengan
tidak sabar beliau didampingi beberapa orang pengawal bergegas menemui
Abu Nawas. Abu Nawas berkata dengan bangga.
“Paduka yang mulia, istana pesanan Paduka telah rampung.”
“Engkau benar-benar hebat wahai Abu Nawas.” kata Baginda memuji Abu Nawas.
“Terima kasih Baginda yang mulia.” kata Abu Nawas.
“Lalu bagaimana caranya aku ke sana?” tanya Baginda.
“Dengan tambang, Paduka yang mulia.” kata Abu Nawas.”Kalau begitu
siapkan tambang itu sekarang. Aku ingin segera melihat istanaku dari
dekat.” kata Baginda tidak sabar.
“Maafkan hamba Paduka yang mulia. Hamba kemarin lupa memasang
tambang itu. Sehingga seorang kawan hamba tertinggal di sana dan tidak
bisa turun.” kata Abu Nawas.
“Bagaimana dengan engkau sendiri Abu Nawas? Dengan apa engkau turun ke bumi?” tanya Baginda.
“Dengan menggunakan sayap Paduka yang mulia.” kata Abu Nawas dengan bangga.
“Kalau begitu buatkan aku sayap supaya aku bisa,terbang ke sana.”
kata Baginda. “Paduka yang mulia, sayap itu hanya bisa diciptakan dalam
mimpi.” kata Abu Nawas menjelaskan.
“Engkau berani mengatakan aku gila sepertimu?” tanya Baginda sambil
melotot. “Ya, Baginda. Kurang lebih seperti itu.” jawab Abu Nawas
tangkas.
“Apa maksudmu?” tanya Baginda lagi. “Baginda tahu bahwa. membangun
istana di awang-awang.adalah pekerjaan yang mustahil dilaksanakan.
Tetapi Baginda tetap menyuruh hamba mengerjkannya, sedangkan hamba tahu
bahwa pekerjaan itu mustahil dikerjakan. Tetapi hamba tetap menyanggupi
titah Baginda yang tidak masuk akal itu.” kata Abu Nawas berusaha
meyakinkan Baginda.
Tanpa menoleh Baginda Raja kembali ke istana diiring para
pengawalnya. Abu Nawas berdiri sendirian sambil memandang ke atas
melihat istana terapung di awang-awang.”Sebenarnya siapa diantara kita
yang gila?” tanya Baginda mulai jengkel. “Hamba kira kita berdua
sama-sama tidak waras Tuanku.” jawab Abu Nawas tanpa ragu.
Tipu Muslihat Dibalas Tipu Muslihat
Ada seorang Yogis (Ahli
Yoga) mengajak seorang Pendeta bersekongkol akan memperdaya Iman Abu
Nawas. Setelah mereka mencapai kata sepakat, mereka berangkat menemui
Abu Nawas di kediamannya. Ketika mereka datang Abu Nawas sedang
melakukan sholat Dhuha.
Setelah dipersilahkan masuk oleh istri Abu Nawas mereka masuk dan
menunggu sambil berbincang-bincang santai. Seusai sholat Abu Nawas
menyambut mereka. Abu Nawas dan para tamunya bercakap-cakap sejenak.
“Kami sebenarnya ingin mengajak engkau melakukan pengembaraan suci. Kalau engkau tidak keberatan bergabunglah bersama kami.” kata Ahli Yoga.
“Dengan senang hati lalu kapan rencananya?” tanya Abu Nawas polos.
“Besok pagi.” kata Pendeta.
“Baiklah kalau begitu kita bertemu di warung teh besok.” kata Abu Nawas menyanggupi. Hari berikutnya mereka berangkat bersama. Abu Nawas mengenakan jubah seorang Sufi. Ahli Yoga dan Pendeta memakai seragam keagamaan mereka masing-masing.
Di tengah jalan mereka mulai diserang rasa lapar karena mereka memang sengaja tidak membawa bekal,
“Hai Abu Nawas, bagaimana kalau engkau saja yang mengumpulkan derma guna membeli makanan untuk kita bertiga. Karena kami akan mengadakan kebaktian.” kata Pendeta.
Tanpa banyak bicara Abu Nawas berangkat mencari dan mengurnpulkan derma dari dusun satu ke dusun lain. Setelah derma terkumpul, Abu Nawas membeli makanan yang cukup untuk tiga orang. Abu Nawas kembali ke Pendeta dan Ahli Yoga dengan membawa makanan.
Karena sudah tak sanggup menahan rasa lapar Abu Nawas berkata, “Mari segera kita bagi makanan ini sekarang juga.”
“Jangan sekarang. Kami sedang berpuasa.” kata Ahli Yoga.
“Tetapi aku hanya menginginkan bagianku saja sedangkan bagian kalian terserah pada kalian.” kata Abu Nawas menawarkan jalan keluar.”Akan tidak setuju. Kita harus seiring seirama dalam berbuat apa pun.” kata Pendeta.
“Betul aku pun tidak setuju karena waktu makanku besok pagi. Besok pagi aku baru akan berbuka.” kata Ahli Yoga.Bukankah aku yang engkau jadikan niat pencari derma Dan derma itu telah ku tukar dengan makanan ini. Sekarang kalian tidak mengizinkan aku mengambil bagian sendiri. Itu tidak masuk akal.” kata Abu Nawas mulai merasa jengkel.
Namun begitu Pendeta dan Ahli Yoga tetap bersikeras tidak mengizinkan Abu Nawas mengambil bagian yang menjadi haknya. Abu Nawas penasaran. Ia mencoba sekali lagi meyakinkan kawan-kawannya agar mengijinkan ia memakan bagianya. Tetapi mereka tetap saja menolak. Abu Nawas benar- benar merasa jengkel dan marah. Namun Abu Nawas tidak memperlihatkan sedikit pun kejengkelan dan kemarahannya.
“Bagaimana kalau kita mengadakan perjanjian.” kata Pendeta kepada Abu Nawas.
“Perjanjian apa?” tanya Abu Nawas.
“Kita adakan lomba. Barangsiapa di antara kita bermimpi paling indah maka ia akan mendapat bagian yang terbanyak yang kedua lebih sedikit dan yang terburuk akan mendapat paling sedikit.” Pendeta itu menjelaskan.
Abu Nawas setuju. Ia tidak memberi komentar apa-apa. Malam semakin larut. Embun mulai turun ke bumi. Pendeta dan Ahli Yoga mengantuk dan tidur. Abu Nawas tidak bisa tidur. Ia hanya berpura-pura tidur. Setelah merasa yakin kawan-kawannya sudah terlelap Abu Nawas menghampiri makanan itu. Tanpa berpikir dua kali Abu Nawas memakan habis makanan itu hingga tidak tersisa sedikit pun. Setelah merasa kekenyangan Abu Nawas baru bisa tidur.
Keesokan hari mereka bangun hampir bersamaan. Ahli Yoga dengan wajah berseri-seri bercerita, “Tadi malam aku bermimpi memasuki sebuah taman yang mirip sekali dengan Nirwana. Aku merasakan kenikmatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya dalam hidup ini.”Pendeta mengatakan bahwa mimpi Ahli Yoga benar-benar menakjubkan. Betul-betul luar biasa. Kemudian giliran Pendeta menceritakan mimpinya. “Aku seolah-olah menembus ruang dan waktu. Dan ternyata memang benar. Aku secara tidak sengaja berhasil menyusup ke masa silam dimana pendiri agamaku hidup. Aku bertemu dengan beliau dan yang lebih membahagiakan adalah aku diberkatinya.”Ahli Yoga juga memuji-muji kehebatan mimpi Pendeta Abu Nawas hanya diam. Ia bahkan tidak merasa tertarik sedikitpun. Karena Abu Nawas belum juga buka mulut, Pendeta dan Ahli Yoga mulai tidak sabar untuk tidak menanyakan mimpi Abu Nawas.
“Kalian tentu tahu Nabi Khidir. Beliau adalah seorang mahaguru para sufi. Tadi malam aku bermimpi berbincang-bincang dengan beliau. Beliau menanyakan apakah aku berpuasa atau tidak. Aku katakan aku berpuasa karena aku memang tidak makan sejak dini hari Kemudian beliau menyuruhku segera berbuka karena hari sudah malam. Tentu saja aku tidak berani mengabaikan perintah beliau. Aku segera bangun dari tidur dan langsung menghabiskan makanan itu.” kata Abu Nawas tanpa perasaan bersalah secuil pun.
Sambil menahan rasa lapar yang menyayat-nyayat Pendeta dan Ahli Yoga saling berpandangan satu sama lain. Kejengkelan Abu Nawas terobati. Kini mereka sadar bahwa tidak ada gunanya coba-coba mempermainkan Abu Nawas, pasti hanya akan mendapatkan celaka sendiri.
“Kami sebenarnya ingin mengajak engkau melakukan pengembaraan suci. Kalau engkau tidak keberatan bergabunglah bersama kami.” kata Ahli Yoga.
“Dengan senang hati lalu kapan rencananya?” tanya Abu Nawas polos.
“Besok pagi.” kata Pendeta.
“Baiklah kalau begitu kita bertemu di warung teh besok.” kata Abu Nawas menyanggupi. Hari berikutnya mereka berangkat bersama. Abu Nawas mengenakan jubah seorang Sufi. Ahli Yoga dan Pendeta memakai seragam keagamaan mereka masing-masing.
Di tengah jalan mereka mulai diserang rasa lapar karena mereka memang sengaja tidak membawa bekal,
“Hai Abu Nawas, bagaimana kalau engkau saja yang mengumpulkan derma guna membeli makanan untuk kita bertiga. Karena kami akan mengadakan kebaktian.” kata Pendeta.
Tanpa banyak bicara Abu Nawas berangkat mencari dan mengurnpulkan derma dari dusun satu ke dusun lain. Setelah derma terkumpul, Abu Nawas membeli makanan yang cukup untuk tiga orang. Abu Nawas kembali ke Pendeta dan Ahli Yoga dengan membawa makanan.
Karena sudah tak sanggup menahan rasa lapar Abu Nawas berkata, “Mari segera kita bagi makanan ini sekarang juga.”
“Jangan sekarang. Kami sedang berpuasa.” kata Ahli Yoga.
“Tetapi aku hanya menginginkan bagianku saja sedangkan bagian kalian terserah pada kalian.” kata Abu Nawas menawarkan jalan keluar.”Akan tidak setuju. Kita harus seiring seirama dalam berbuat apa pun.” kata Pendeta.
“Betul aku pun tidak setuju karena waktu makanku besok pagi. Besok pagi aku baru akan berbuka.” kata Ahli Yoga.Bukankah aku yang engkau jadikan niat pencari derma Dan derma itu telah ku tukar dengan makanan ini. Sekarang kalian tidak mengizinkan aku mengambil bagian sendiri. Itu tidak masuk akal.” kata Abu Nawas mulai merasa jengkel.
Namun begitu Pendeta dan Ahli Yoga tetap bersikeras tidak mengizinkan Abu Nawas mengambil bagian yang menjadi haknya. Abu Nawas penasaran. Ia mencoba sekali lagi meyakinkan kawan-kawannya agar mengijinkan ia memakan bagianya. Tetapi mereka tetap saja menolak. Abu Nawas benar- benar merasa jengkel dan marah. Namun Abu Nawas tidak memperlihatkan sedikit pun kejengkelan dan kemarahannya.
“Bagaimana kalau kita mengadakan perjanjian.” kata Pendeta kepada Abu Nawas.
“Perjanjian apa?” tanya Abu Nawas.
“Kita adakan lomba. Barangsiapa di antara kita bermimpi paling indah maka ia akan mendapat bagian yang terbanyak yang kedua lebih sedikit dan yang terburuk akan mendapat paling sedikit.” Pendeta itu menjelaskan.
Abu Nawas setuju. Ia tidak memberi komentar apa-apa. Malam semakin larut. Embun mulai turun ke bumi. Pendeta dan Ahli Yoga mengantuk dan tidur. Abu Nawas tidak bisa tidur. Ia hanya berpura-pura tidur. Setelah merasa yakin kawan-kawannya sudah terlelap Abu Nawas menghampiri makanan itu. Tanpa berpikir dua kali Abu Nawas memakan habis makanan itu hingga tidak tersisa sedikit pun. Setelah merasa kekenyangan Abu Nawas baru bisa tidur.
Keesokan hari mereka bangun hampir bersamaan. Ahli Yoga dengan wajah berseri-seri bercerita, “Tadi malam aku bermimpi memasuki sebuah taman yang mirip sekali dengan Nirwana. Aku merasakan kenikmatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya dalam hidup ini.”Pendeta mengatakan bahwa mimpi Ahli Yoga benar-benar menakjubkan. Betul-betul luar biasa. Kemudian giliran Pendeta menceritakan mimpinya. “Aku seolah-olah menembus ruang dan waktu. Dan ternyata memang benar. Aku secara tidak sengaja berhasil menyusup ke masa silam dimana pendiri agamaku hidup. Aku bertemu dengan beliau dan yang lebih membahagiakan adalah aku diberkatinya.”Ahli Yoga juga memuji-muji kehebatan mimpi Pendeta Abu Nawas hanya diam. Ia bahkan tidak merasa tertarik sedikitpun. Karena Abu Nawas belum juga buka mulut, Pendeta dan Ahli Yoga mulai tidak sabar untuk tidak menanyakan mimpi Abu Nawas.
“Kalian tentu tahu Nabi Khidir. Beliau adalah seorang mahaguru para sufi. Tadi malam aku bermimpi berbincang-bincang dengan beliau. Beliau menanyakan apakah aku berpuasa atau tidak. Aku katakan aku berpuasa karena aku memang tidak makan sejak dini hari Kemudian beliau menyuruhku segera berbuka karena hari sudah malam. Tentu saja aku tidak berani mengabaikan perintah beliau. Aku segera bangun dari tidur dan langsung menghabiskan makanan itu.” kata Abu Nawas tanpa perasaan bersalah secuil pun.
Sambil menahan rasa lapar yang menyayat-nyayat Pendeta dan Ahli Yoga saling berpandangan satu sama lain. Kejengkelan Abu Nawas terobati. Kini mereka sadar bahwa tidak ada gunanya coba-coba mempermainkan Abu Nawas, pasti hanya akan mendapatkan celaka sendiri.
Cara Menjebak Pencuri
Pada zaman dahulu orang
berpikir dengan cara yang amat sederhana. Dan karena kesederhanaan
berpikir ini seorang pencuri yang telah berhasil menggondol seratus
keping lebih uang emas milik seorang saudagar kaya tidak sudi menyerah.
Hakim telah berusaha keras dengan berbagai cara tetapi tidak berhasil
menemukan pencurinya. Karena merasa putus asa pemilik harta itu
mengumumkan kepada siapa saja yang telah mencuri harta miliknya
merelakan separo dari jumlah uang emas itu menjadi milik sang pencuri
bila sang pencuri bersedia mangembalikan.
Tetapi pencuri itu malah tidak berani menampakkan
bayangannya. Kini kasus itu semakin ruwet tanpa penyelesaian yang jelas. Maksud baik saudagar kaya itu tidak mendapat-tanggapan yang sepantasnya dari sang pencuri. Maka tidak bisa disalahkan bila saudagar itu mengadakan sayembara yang berisi barang siapa berhasil menemukan pencuri uang emasnya, ia berhak sepenuhnya memiliki harta yang dicuri. Tidak sedikit orang yang mencoba tetapi semuanya kandas.
Sehingga pencuri itu bertambah merasa aman tentram karena ia yakin jati dirinya tak akan terjangkau. Yang lebih menjengkelkan adalah ia juga berpura-pura mengikuti sayembara. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa menghadapi orang seperti ini bagaikan menghadapi jin. Mereka tahu kita sedangkan kita tidak. Seorang penduduk berkata kepada hakim setempat.
“Mengapa tuan hakim tidak minta bantuan Abu Nawas saja?”
“Bukankah Abu Nawas sedang tidak ada di tempat?” kata hakim itu balik bertanya.
“Kemana dia?” tanya orang itu.
“Ke Damakus.” jawab hakim
“Untuk keperluan apa?” orang itu ingin tahu.
“Memenuhi undangan pangeran negeri itu.” kata hakim.
“Kapan ia datang?” tanya orang itu lagi.
“Mungkin dua hari lagi.” jawab hakim. Kini harapan tertumpu sepenuhnya di atas pundak Abu Nawas. Pencuri yang selama ini merasa aman sekarang menjadi resah dan tertekan. Ia merencanakan meninggalkan kampung halaman dengan membawa serta uang emas yang berhasil dicuri. Tetapi ia membatalkan niat karena dengan menyingkir ke luar daerah berarti sama halnya dengan membuka topeng dirinya sendiri. Ia lalu bertekad tetap tinggal apapun yang akan terjadi.Abu Nawas telah kembali ke Baghdad karena tugasnya telah selesai. Abu Nawas menerima tawaran mengikuti sayembara menemukan pencuri uang emas. Hati pencuri uang emas itu tambah berdebar tak karuan mendengar Abu Nawas menyiapkan siasat. Keesokan harinya semua penduduk dusun diharuskan berkumpul di depan gedung pengadilan. Abu Nawas hadir dengan membawa tongkat dalam jumlah besar. Tongkat-tongkat itu mempunyai ukuran yang sama panjang.
Tanpa berkata-kata Abu Nawas membagi-bagikan tongkat-tongkat yang dibawanya dari rumah. Setelah masing-masing mendapat satu tongkat, Abu Nawas berpidato, “Tongkat-tongkat itu telah aku mantrai. Besok pagi kalian harus menyerahkan kembaii tongkat yang telah aku bagikan. Jangan khawatir, tongkat yang dipegang oleh pencuri selama ini menyembunyikan diri akan bertambah panjang satu jari telunjuk. Sekarang pulanglah kalian.”
Orang-orang yang merasa tidak mencuri tentu tidak mempunyai pikiran apa-apa. Tetapi sebaliknya, si pencuri uang emas itu merasa ketakutan. Ia tidak bisa memejamkan mata walaupun malam semakin larut. Ia terus berpikir keras. Kemudian ia memutuskan memotong tongkatnya sepanjang satu jari telunjuk dengan begitu tongkatnya akan tetap kelihatan seperti ukuran semula. Pagi hari orang mulai berkumpul di depan gedung pengadilan. Pencuri itu merasa tenang karena ia yakin tongkatnya tidak akan bisa diketahui karena ia telah memotongnya sepanjang satu jari telunjuk. Bukankah tongkat si pencuri akan bertambah panjang satu jari telunjuk? Ia memuji kecerdikan diri sendiri karena ia ternyata akan bisa mengelabui Abu Nawas.
Antrian panjang mulai terbentuk. Abu Nawas memeriksa tongkat-tongkat yang dibagikan kemarin. Pada giliran si pencuri tiba Abu Nawas segera mengetahui karena tongkat yang dibawanya bertambah pendek satu jari telunjuk. Abu Nawas tahu pencuri itu pasti melakukan pemotongan pada tongkatnya karena ia takut tongkatnya bertambah panjang.
Pencuri itu diadili dan dihukum sesuai dengan kesalahannya. Seratus keping lebih uang emas kini berpindah ke tangan Abu Nawas. Tetapi Abu Nawas tetap bijaksana, sebagian dari hadiah itu diserahkan kembali kepada keluarga si pencuri, sebagian lagi untuk orang-orang miskin dan sisanya untuk keluarga Abu Nawas sendiri.
bayangannya. Kini kasus itu semakin ruwet tanpa penyelesaian yang jelas. Maksud baik saudagar kaya itu tidak mendapat-tanggapan yang sepantasnya dari sang pencuri. Maka tidak bisa disalahkan bila saudagar itu mengadakan sayembara yang berisi barang siapa berhasil menemukan pencuri uang emasnya, ia berhak sepenuhnya memiliki harta yang dicuri. Tidak sedikit orang yang mencoba tetapi semuanya kandas.
Sehingga pencuri itu bertambah merasa aman tentram karena ia yakin jati dirinya tak akan terjangkau. Yang lebih menjengkelkan adalah ia juga berpura-pura mengikuti sayembara. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa menghadapi orang seperti ini bagaikan menghadapi jin. Mereka tahu kita sedangkan kita tidak. Seorang penduduk berkata kepada hakim setempat.
“Mengapa tuan hakim tidak minta bantuan Abu Nawas saja?”
“Bukankah Abu Nawas sedang tidak ada di tempat?” kata hakim itu balik bertanya.
“Kemana dia?” tanya orang itu.
“Ke Damakus.” jawab hakim
“Untuk keperluan apa?” orang itu ingin tahu.
“Memenuhi undangan pangeran negeri itu.” kata hakim.
“Kapan ia datang?” tanya orang itu lagi.
“Mungkin dua hari lagi.” jawab hakim. Kini harapan tertumpu sepenuhnya di atas pundak Abu Nawas. Pencuri yang selama ini merasa aman sekarang menjadi resah dan tertekan. Ia merencanakan meninggalkan kampung halaman dengan membawa serta uang emas yang berhasil dicuri. Tetapi ia membatalkan niat karena dengan menyingkir ke luar daerah berarti sama halnya dengan membuka topeng dirinya sendiri. Ia lalu bertekad tetap tinggal apapun yang akan terjadi.Abu Nawas telah kembali ke Baghdad karena tugasnya telah selesai. Abu Nawas menerima tawaran mengikuti sayembara menemukan pencuri uang emas. Hati pencuri uang emas itu tambah berdebar tak karuan mendengar Abu Nawas menyiapkan siasat. Keesokan harinya semua penduduk dusun diharuskan berkumpul di depan gedung pengadilan. Abu Nawas hadir dengan membawa tongkat dalam jumlah besar. Tongkat-tongkat itu mempunyai ukuran yang sama panjang.
Tanpa berkata-kata Abu Nawas membagi-bagikan tongkat-tongkat yang dibawanya dari rumah. Setelah masing-masing mendapat satu tongkat, Abu Nawas berpidato, “Tongkat-tongkat itu telah aku mantrai. Besok pagi kalian harus menyerahkan kembaii tongkat yang telah aku bagikan. Jangan khawatir, tongkat yang dipegang oleh pencuri selama ini menyembunyikan diri akan bertambah panjang satu jari telunjuk. Sekarang pulanglah kalian.”
Orang-orang yang merasa tidak mencuri tentu tidak mempunyai pikiran apa-apa. Tetapi sebaliknya, si pencuri uang emas itu merasa ketakutan. Ia tidak bisa memejamkan mata walaupun malam semakin larut. Ia terus berpikir keras. Kemudian ia memutuskan memotong tongkatnya sepanjang satu jari telunjuk dengan begitu tongkatnya akan tetap kelihatan seperti ukuran semula. Pagi hari orang mulai berkumpul di depan gedung pengadilan. Pencuri itu merasa tenang karena ia yakin tongkatnya tidak akan bisa diketahui karena ia telah memotongnya sepanjang satu jari telunjuk. Bukankah tongkat si pencuri akan bertambah panjang satu jari telunjuk? Ia memuji kecerdikan diri sendiri karena ia ternyata akan bisa mengelabui Abu Nawas.
Antrian panjang mulai terbentuk. Abu Nawas memeriksa tongkat-tongkat yang dibagikan kemarin. Pada giliran si pencuri tiba Abu Nawas segera mengetahui karena tongkat yang dibawanya bertambah pendek satu jari telunjuk. Abu Nawas tahu pencuri itu pasti melakukan pemotongan pada tongkatnya karena ia takut tongkatnya bertambah panjang.
Pencuri itu diadili dan dihukum sesuai dengan kesalahannya. Seratus keping lebih uang emas kini berpindah ke tangan Abu Nawas. Tetapi Abu Nawas tetap bijaksana, sebagian dari hadiah itu diserahkan kembali kepada keluarga si pencuri, sebagian lagi untuk orang-orang miskin dan sisanya untuk keluarga Abu Nawas sendiri.
Abu Nawas Bisa Kena Tipu
Karena kesulitan uang, Abu
Nawas memutuskan untuk menjual keledai kesayangannya. Keledai itu
merupakan kendaraan Abu Nawas satu-satunya. Sebenarnya ia tidak tega
untuk menjualnya. Tetapi keluarga Abu Nawas amat membutuhkan uang. Dan
istrinya setuju.
Keesokan harinya Abu Nawas membawa keledai ke pasar. Abu Nawas tidak
tahu kalau ada sekelompok pencuri yang terdiri dari empat orang telah
mengetahui keadaan dan rencana Abu Nawas. Mereka sepakat akan memperdaya
Abu Nawas. Rencana pun mulai mereka susun. Ketika Abu Nawas
beristirahat di bawah pohon, salah seorang mendekat dan berkata,
“Apakah engkau akan menjual kambingmu?” Tentu saja Abu Nawas terperanjat mendengar pertanyaan yang begitu tiba-tiba.
“Ini bukan kambing.” kata Abu Nawas.
“Kalau bukan kambing, lalu apa?” tanya pencuri itu selanjutnya.
“Keledai.” kata Abu Nawas.
“Kalau engkau yakin itu keledai, jual saja ke
pasar dan dan tanyakan pada mereka.” kata komplotan pencuri itu sambil berlalu. Abu Nawas tidak terpengaruh. Kemudian ia meneruskan perjalanannya. Ketika Abu Nawas sedang menunggang keledai, pencuri kedua menghampirinya dan berkata.
“Mengapa kau menunggang kambing?”
“Ini bukan kambing tapi keledai.”"Kalau itu keledai aku tidak bertanya seperti itu, dasar orang aneh. Kambing kok dikatakan keledai.”
“Kalau ini kambing aku tidak akan menungganginya.” jawab Abu Nawas tanpa ragu. “Kalau engkau tidak percaya, pergilah ke pasar dan tanyakan pada orang-orang di sana.” kata pencuri kedua sambil berlalu.
Abu Nawas belum terpengaruh dan ia tetap berjalan menuju pasar. Pencuri ketiga datang menghampiri Abu Nawas,”Hai Abu Nawas akan kau bawa ke mana kambing itu?” Kali ini Abu Nawas tidak segera menjawab. Ia mulai ragu, sudah tiga orang mengatakan kalau hewan yang dibawanya adalah kambing. Pencuri ketiga tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia makin merecoki otak Abu Nawas,”Sudahlah, biarpun kau bersikeras hewan itu adalah keledai nyatanya itu adalah kambing, kambing… kambiiiiiing…!”
Abu Nawas berhenti sejenak untuk beristirahat di bawah pohon. Pencuri keempat melaksanakan strategi busuknya. Ia duduk di samping Abu Nawas dan mengajak tokoh cerdik ini untuk berbincang-bincang.
“Ahaa, bagus sekali kambingmu ini…!” pencuri keempat membuka percakapan.
“Kau juga yakin ini kambing?” tanya Abu Nawas.
“Lho? ya jelas sekali kalau hewan ini adalah kambing. Kalau boleh aku ingin membelinya.”
“Berapa kau mau membayarnya?”
“Tiga dirham!” Abu Nawas setuju.
Setelah menerima uang dari pencuri keempat kemudian Abu Nawas langsung pulang. Setiba di rumah Abu Nawas dimarahi istrinya. “Jadi keledai itu hanya engkau jual tiga dirham lantaran mereka mengatakan bahwa keledai itu kambing?”
Abu Nawas tidak bisa menjawab. Ia hanya mendengarkan ocehan istrinya dengan setia sambil menahan rasa dongkol. Kini ia baru menyadari kalau sudah diperdayai oleh komplotan pencuri yang menggoyahkan akal sehatnya. Abu Nawas merencanakan sesuatu. Ia pergi ke hutan mencari sebatang kayu untuk dijadikan sebuah tongkat yang nantinya bisa menghasilkan uang. Rencana Abu Nawas ternyata berjalan lancar. Hampir semua orang membicarakan keajaiban tongkat Abu Nawas. Berita ini juga terdengar oleh para pencuri yang telah menipu Abu Nawas. Mereka langsung tertarik. Bahkan mereka melihat sendiri ketika Abu Nawas membeli barang atau makan tanpa membayar tetapi hanya dengan mengacungkan tongkatnya. Mereka berpikir kalau tongkat itu bisa dibeli maka tentu mereka akan kaya karena hanya dengan mengacungkan tongkat itu mereka akan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Akhirnya mereka mendekati Abu Nawas dan berkata,”Apakah tongkatmu akan dijual?”
“Tidak.” jawab Abu Nawas dengan cuek.
“Tetapi kami bersedia membeli dengan harga yang amat tinggi.” kata mereka.
“Berapa?” kata Abu Nawas pura-pura merasa tertarik.
“Seratus dinar uang emas.” kata mereka tanpa ragu-ragu.”Tetapi tongkat ini adalah tongkat wasiat satu-satunya yang aku miliki.” kata Abu Nawas sambil tetap berpura-pura tidak ingin menjual tongkatnya.
“Dengan uang seratus dinar engkau sudah bisa hidup enak.” kata mereka makin penasaran. Abu Nawas diam beberapa saat sepertinya merasa keberatan sekali.
“Baiklah kalau begitu.” kata Abu Nawas kemudian sambil menyerahkan tongkatnya. Setelah menerima seratus dinar uang emas Abu Nawas segera melesat pulang. Para pencuri itu segera mencari warung terdekat untuk membuktikan keajaiban tongkat yang baru mereka beli. Seusai makan mereka mengacungkan tongkat itu kepada pemilik kedai. Tentu saja pemilik kedai marah.
“Apa maksudmu mengacungkan tongkat itu padaku?”
“Bukankah Abu Nawas juga mengacungkan tongkat ini dan engkau membebaskannya?” tanya para pencuri itu.
“Benar. Tetapi engkau harus tahu bahwa Abu Nawas menitipkan sejumlah uang kepadaku sebelum makan di sini!”
“Gila! Ternyata kita tidak mendapat keuntungan sama sekali menipu Abu Nawas. Kita malah rugi besar!” umpat para pencuri dengan rasa dongkol.
“Apakah engkau akan menjual kambingmu?” Tentu saja Abu Nawas terperanjat mendengar pertanyaan yang begitu tiba-tiba.
“Ini bukan kambing.” kata Abu Nawas.
“Kalau bukan kambing, lalu apa?” tanya pencuri itu selanjutnya.
“Keledai.” kata Abu Nawas.
“Kalau engkau yakin itu keledai, jual saja ke
pasar dan dan tanyakan pada mereka.” kata komplotan pencuri itu sambil berlalu. Abu Nawas tidak terpengaruh. Kemudian ia meneruskan perjalanannya. Ketika Abu Nawas sedang menunggang keledai, pencuri kedua menghampirinya dan berkata.
“Mengapa kau menunggang kambing?”
“Ini bukan kambing tapi keledai.”"Kalau itu keledai aku tidak bertanya seperti itu, dasar orang aneh. Kambing kok dikatakan keledai.”
“Kalau ini kambing aku tidak akan menungganginya.” jawab Abu Nawas tanpa ragu. “Kalau engkau tidak percaya, pergilah ke pasar dan tanyakan pada orang-orang di sana.” kata pencuri kedua sambil berlalu.
Abu Nawas belum terpengaruh dan ia tetap berjalan menuju pasar. Pencuri ketiga datang menghampiri Abu Nawas,”Hai Abu Nawas akan kau bawa ke mana kambing itu?” Kali ini Abu Nawas tidak segera menjawab. Ia mulai ragu, sudah tiga orang mengatakan kalau hewan yang dibawanya adalah kambing. Pencuri ketiga tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia makin merecoki otak Abu Nawas,”Sudahlah, biarpun kau bersikeras hewan itu adalah keledai nyatanya itu adalah kambing, kambing… kambiiiiiing…!”
Abu Nawas berhenti sejenak untuk beristirahat di bawah pohon. Pencuri keempat melaksanakan strategi busuknya. Ia duduk di samping Abu Nawas dan mengajak tokoh cerdik ini untuk berbincang-bincang.
“Ahaa, bagus sekali kambingmu ini…!” pencuri keempat membuka percakapan.
“Kau juga yakin ini kambing?” tanya Abu Nawas.
“Lho? ya jelas sekali kalau hewan ini adalah kambing. Kalau boleh aku ingin membelinya.”
“Berapa kau mau membayarnya?”
“Tiga dirham!” Abu Nawas setuju.
Setelah menerima uang dari pencuri keempat kemudian Abu Nawas langsung pulang. Setiba di rumah Abu Nawas dimarahi istrinya. “Jadi keledai itu hanya engkau jual tiga dirham lantaran mereka mengatakan bahwa keledai itu kambing?”
Abu Nawas tidak bisa menjawab. Ia hanya mendengarkan ocehan istrinya dengan setia sambil menahan rasa dongkol. Kini ia baru menyadari kalau sudah diperdayai oleh komplotan pencuri yang menggoyahkan akal sehatnya. Abu Nawas merencanakan sesuatu. Ia pergi ke hutan mencari sebatang kayu untuk dijadikan sebuah tongkat yang nantinya bisa menghasilkan uang. Rencana Abu Nawas ternyata berjalan lancar. Hampir semua orang membicarakan keajaiban tongkat Abu Nawas. Berita ini juga terdengar oleh para pencuri yang telah menipu Abu Nawas. Mereka langsung tertarik. Bahkan mereka melihat sendiri ketika Abu Nawas membeli barang atau makan tanpa membayar tetapi hanya dengan mengacungkan tongkatnya. Mereka berpikir kalau tongkat itu bisa dibeli maka tentu mereka akan kaya karena hanya dengan mengacungkan tongkat itu mereka akan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Akhirnya mereka mendekati Abu Nawas dan berkata,”Apakah tongkatmu akan dijual?”
“Tidak.” jawab Abu Nawas dengan cuek.
“Tetapi kami bersedia membeli dengan harga yang amat tinggi.” kata mereka.
“Berapa?” kata Abu Nawas pura-pura merasa tertarik.
“Seratus dinar uang emas.” kata mereka tanpa ragu-ragu.”Tetapi tongkat ini adalah tongkat wasiat satu-satunya yang aku miliki.” kata Abu Nawas sambil tetap berpura-pura tidak ingin menjual tongkatnya.
“Dengan uang seratus dinar engkau sudah bisa hidup enak.” kata mereka makin penasaran. Abu Nawas diam beberapa saat sepertinya merasa keberatan sekali.
“Baiklah kalau begitu.” kata Abu Nawas kemudian sambil menyerahkan tongkatnya. Setelah menerima seratus dinar uang emas Abu Nawas segera melesat pulang. Para pencuri itu segera mencari warung terdekat untuk membuktikan keajaiban tongkat yang baru mereka beli. Seusai makan mereka mengacungkan tongkat itu kepada pemilik kedai. Tentu saja pemilik kedai marah.
“Apa maksudmu mengacungkan tongkat itu padaku?”
“Bukankah Abu Nawas juga mengacungkan tongkat ini dan engkau membebaskannya?” tanya para pencuri itu.
“Benar. Tetapi engkau harus tahu bahwa Abu Nawas menitipkan sejumlah uang kepadaku sebelum makan di sini!”
“Gila! Ternyata kita tidak mendapat keuntungan sama sekali menipu Abu Nawas. Kita malah rugi besar!” umpat para pencuri dengan rasa dongkol.
Menyiasati Tukang Bohong
Kawan-kawan Abu Nawas
merencanakan akan mengadakan perjalanan wisata ke hutan. Tetapi tanpa
keikutsertaan Abu Nawas perjalanan akan terasa memenatkan dan
membosankan. Sehingga mereka beramai-ramai pergi ke rumah Abu Nawas
untuk mengajaknya ikut serta.
Abu Nawas tidak keberatan. Mereka berangkat dengan mengendarai
keledai masing-masing sambil bercengkrama. Tak terasa mereka telah
menempuh hampir separo perjalanan. Kini mereka tiba di pertigaan jalan
yang jauh dari perumahan penduduk. Mereka berhenti karena mereka
ragu-ragu. Setahu mereka kedua jalan itu memang menuju ke hutan tetapi
hutan yang mereka tuju adalah hutan wisata. Bukan hutan yang dihuni
binatang-binatang buas yang justru akan membahayakan jiwa mereka. Abu
Nawas hanya bisa menyarankan untuk tidak meneruskan perjalanan karena
bila salah pilih maka mereka semua tak akan pernah bisa kembali.
Bukankah lebih bijaksana bila kita meninggalkan sesuatu yang meragukan?
Tetapi salah seorang dari mereka tiba-tiba berkata,
“Aku mempunyai dua orang sahabat yang tinggal dekat semak-semak sebelah sana. Mereka adalah saudara kembar. Tak ada seorang pun yang bisa membedakan keduanya karena rupa mereka begitu mirip. Yang satu selalu berkata jujur sedangkan yang lainnya selalu berkata bohong. Dan mereka adalah orang-orang aneh karena mereka hanya mau menjawab satu pertanyaan saja.”
“Apakah engkau mengenali salah satu dari mereka yang selalu berkata benar?” tanya Abu Nawas.
“Tidak.” jawab kawan Abu Nawas singkat.
“Baiklah kalau begitu kita beristirahat sejenak.” usul Abu Nawas. Abu Nawas makan daging dengan madu bersama kawan-kawannya. Seusai makan mereka berangkat menuju ke rumah yang dihuni dua orang kembar bersaudara. Setelah pintu dibuka, maka keluarlah salah seorang dari dua orang kembar bersaudara itu. “Maaf, aku sangat sibuk hari ini. Engkau hanya boleh mengajukan satu pertanyaan saja. Tidak boleh lebih.” katanya.
Kemudian Abu Nawas menghampiri orang itu dan berbisik. Orang itu pun juga menjawab dengan cara berbisik pula kepada Abu Nawas. Abu Nawas mengucapkan terima kasih dan segera mohon diri.
“Hutan yang kita tuju melewati jalan sebelah kanan.” kata Abu Nawas mantap kepada kawankawannya.
“Bagaimana kau bisa memutuskan harus menempuh jalan sebelah kanan? Sedangkan kita tidak tahu apakah orang yang kita tanya itu orang yang selalu berkata benar atau yang selalu berkata bohong?” tanya salah seorang dari mereka.”Karena orang yang kutanya menunjukkan jalan yang sebelah kiri,” kata Abu Nawas. Karena masih belum mengerti juga, maka Abu Nawas menjelaskan.
“Tadi aku bertanya: Apa yang akan dikatakan saudaramu bila aku bertanya jalan yang mana yang menuju hutan yang indah?”
Bila jalan yang benar itu sebelah kanan dan bila orang itu kebetulan yang selalu berkata benar maka ia akan menjawab: Jalan sebelah kiri, karena ia tahu saudara Kembarnya akan mengatakan jalan sebelah kiri sebab saudara kembarnya selalu berbohong. Bila orang itu kebetulan yang selalu berkata bohong, maka ia akan menjawab: jalan sebelah kiri, karena Ia tahu saudara kembarnya akan mengatakan jalan sebelah kanan sebab saudara kembarnya selalu berkata benar.
Tetapi salah seorang dari mereka tiba-tiba berkata,
“Aku mempunyai dua orang sahabat yang tinggal dekat semak-semak sebelah sana. Mereka adalah saudara kembar. Tak ada seorang pun yang bisa membedakan keduanya karena rupa mereka begitu mirip. Yang satu selalu berkata jujur sedangkan yang lainnya selalu berkata bohong. Dan mereka adalah orang-orang aneh karena mereka hanya mau menjawab satu pertanyaan saja.”
“Apakah engkau mengenali salah satu dari mereka yang selalu berkata benar?” tanya Abu Nawas.
“Tidak.” jawab kawan Abu Nawas singkat.
“Baiklah kalau begitu kita beristirahat sejenak.” usul Abu Nawas. Abu Nawas makan daging dengan madu bersama kawan-kawannya. Seusai makan mereka berangkat menuju ke rumah yang dihuni dua orang kembar bersaudara. Setelah pintu dibuka, maka keluarlah salah seorang dari dua orang kembar bersaudara itu. “Maaf, aku sangat sibuk hari ini. Engkau hanya boleh mengajukan satu pertanyaan saja. Tidak boleh lebih.” katanya.
Kemudian Abu Nawas menghampiri orang itu dan berbisik. Orang itu pun juga menjawab dengan cara berbisik pula kepada Abu Nawas. Abu Nawas mengucapkan terima kasih dan segera mohon diri.
“Hutan yang kita tuju melewati jalan sebelah kanan.” kata Abu Nawas mantap kepada kawankawannya.
“Bagaimana kau bisa memutuskan harus menempuh jalan sebelah kanan? Sedangkan kita tidak tahu apakah orang yang kita tanya itu orang yang selalu berkata benar atau yang selalu berkata bohong?” tanya salah seorang dari mereka.”Karena orang yang kutanya menunjukkan jalan yang sebelah kiri,” kata Abu Nawas. Karena masih belum mengerti juga, maka Abu Nawas menjelaskan.
“Tadi aku bertanya: Apa yang akan dikatakan saudaramu bila aku bertanya jalan yang mana yang menuju hutan yang indah?”
Bila jalan yang benar itu sebelah kanan dan bila orang itu kebetulan yang selalu berkata benar maka ia akan menjawab: Jalan sebelah kiri, karena ia tahu saudara Kembarnya akan mengatakan jalan sebelah kiri sebab saudara kembarnya selalu berbohong. Bila orang itu kebetulan yang selalu berkata bohong, maka ia akan menjawab: jalan sebelah kiri, karena Ia tahu saudara kembarnya akan mengatakan jalan sebelah kanan sebab saudara kembarnya selalu berkata benar.
Obat Untuk Pangeran Yang Sakit
Secara tak terduga Pangeran yang menjadi putra mahkota jatuh sakit.
Sudah banyak tabib yang didatangkan untuk memeriksa dan mengobati tapi
tak seorang pun mampu menyembuhkannya.
Akhirnya Raja mengadakan sayembara. Sayembara boleh diikuti oleh
rakyat dari semua lapisan. Tidak terkecuali oleh para penduduk negeri
tetangga. Sayembara yang menyediakan hadiah menggiurkan itu dalam waktu
beberapa hari berhasil menyerap ratusan peserta.
Namun tak satu pun dari mereka berhasil mengobati penyakit sang
pangeran. Akhirnya sebagai sahabat dekat Abu Nawas, menawarkan jasa baik
untuk menolong sang putra mahkota. Baginda Harun Al Rasyid menerima
usul itu dengan penuh harap. Abu Nawas sadar bahwa dirinya bukan tabib.
Dari itu ia tidak membawa peralatan apa-apa. Para tabib yang ada di
istana tercengang melihat Abu Nawas yang datang tanpa
peralatan yang mungkin diperlukan. Mereka berpikir mungkinkah orang
macam Abu Nawas ini bisa mengobati penyakit sang pangeran? Sedangkan
para tabib terkenal dengan peralatan yang lengkap saja tidak sanggup.
Bahkan penyakitnya tidak terlacak.
Abu Nawas merasa bahwa seluruh perhatian tertuju padanya. Namun Abu
Nawas tidak begitu memperdulikannya. Abu Nawas dipersilahkan memasuki
kamar pangeran yang sedang terbaring. Ia menghampiri sang pangeran dan
duduk di sisinya. Setelah Abu Nawas dan sang pangeran saling pandang
beberapa saat, Abu Nawas berkata,
“Saya membutuhkan seorang tua yang di masa mudanya sering
mengembara ke pelosok negeri.” Orang tua yang diinginkan Abu Nawas
didatangkan.
“Sebutkan satu persatu nama-nama desa di daerah selatan.” perintah
Abu Nawas kepada orang tua itu. Ketika orang tua itu menyebutkan
nama-nama desa bagian selatan, Abu Nawas menempelkan telinganya ke dada
sang pangeran. Kemudian Abu Nawas memerintahkan agar menyebutkan bagian
utara, barat dan timur. Setelah semua bagian negeri disebutkan, Abu
Nawas mohon agar diizinkan mengunjungi sebuah desa di sebelah utara.
Raja merasa heran.
“Engkau kuundang ke sini bukan untuk bertamasya.”
“Hamba tidak bermaksud berlibur Yang Mulia.” kata Abu Nawas.
“Tetapi aku belum paham.” kata Raja.
“Maafkan hamba, Paduka Yang Mulia. Kurang bijaksana rasanya bila hamba jelaskan sekarang.” kata Abu Nawas.
Abu Nawas pergi selama dua hari. Sekembali dari desa itu Abu Nawas
menemui sang pangeran dan membisikkan sesuatu kemudian menempelkan
telinganya ke dada sang pangeran. Lalu Abu Nawas menghadap Raja.
“Apakah Yang Mulia masih menginginkan sang pangeran tetap hidup?” tanya Abu Nawas.
“Apa maksudmu?” Raja balas bertanya.”Sang pangeran sedang jatuh
cinta pada seorang gadis desa disebelah utara negeri ini.” kata Abu
Nawas menjelaskan.
“Bagaimana kau tahu?”
“Ketika nama-nama desa di seluruh negeri disebutkan tiba-tiba degup
jantungnya bertambah keras ketika mendengarkan nama sebuah desa di
bagian utara negeri ini. Dan sang pangeran tidak berani mengutarakannya
kepada Baginda.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanya Raja.
“Mengawinkan pangeran dengan gadis desa itu.”
“Kalau tidak?” tawar Raja ragu-ragu.
“Cinta itu buta. Bila kita tidak berusaha mengobati kebutaannya,
maka ia akan mati.” Rupanya saran Abu Nawas tidak bisa ditolak. Sang
pangeran adalah putra satu-satunya yang merupakan pewaris tunggal
kerajaan. Abu Nawas benar. Begitu mendengar persetujuan sang Raja, sang
pangeran berangsur-angsur pulih. Sebagai tanda terima kasih Raja memberi
Abu Nawas sebuah cincin permata yang amat indah.