“SAYA, sebagai perwira muda, saat itu
sadar tidak akan melibatkan diri ke dalam politik,” kata Soeharto dalam
otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya. Ketika
itu, perseteruan antara Perdana Menteri Mohammad Hatta dan kubu Front
Demokrasi Rakyat, koalisi kekuatan “sayap kiri” di Indonesia, semakin
runcing sejak Agustus 1948. Sedangkan Letnan Kolonel Soeharto-menurut
buku tersebut-membaca situasi, mengamati setiap kubu, dan
menganalisisnya dengan cermat.
Aroma perang saudara sudah begitu pekat
di udara setelah pasukan Brigade 29 yang pro dengan tulang punggung
Partai Komunis Indonesia, melucuti senjata pasukan Siliwangi di Madiun,
Jawa Timur, pada 19 September 1948. Presiden Sukarno dan Musso,
Pemimpin Partai Komunis Indonesia saling menyerang melalui pidato
maupun tulisan mereka. “Bagimu adalah pilihan antara dua: ikut Muso
dengan P.K.I.-nja jang akan membawa bangkrutnja tjita-tjita Indonesia
Merdeka-atau ikut Sukarno-Hatta,” kata Sukarno dalam pidatonya hanya
beberapa jam setelah pelucutan senjata.
Panglima Jenderal Sudirman tidak
menginginkan anggota pasukan di Jawa Timur terseret konflik politik
ini. Soeharto, yang dianggap netral, diutus membujuk Letnan Kolonel
Soeadi, Komandan Pasukan Panembahan Senopati, supaya tidak bergabung
dengan PKI. Soeharto dan Soeadi bertemu di Wonogiri, Jawa Tengah.
Soeadi, yang memang condong ke PKI, malah mengajak Soeharto berkeliling
meninjau kondisi Kota Madiun.
“Saya ditelepon Soeharto dari Mantingan
(kecamatan di perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur),” ujar
Soemarsono, Gubernur Militer Madiun ketika itu. Setelah tiba di Madiun,
Soemarsono mengajak Soeharto berkeliling kota untuk menunjukkan tidak
ada pemberontakan di kota itu. “Menurut pidato Sukarno, bendera Merah
Putih di Madiun sudah diganti bendera palu arit. Saya minta Soeharto
melihat mana ada bendera merah, semuanya bendera merah putih.”
Di rumah Residen Madiun yang ditinggali
Soemarsono, Soeharto berjumpa dengan Musso yang sudah satu setengah
bulan tiba di Indonesia. Selama berpuluh tahun, setelah pemberontakan
PKI pada 1926 gagal, Musso tinggal di luar negeri. Baru kali itulah
Soeharto bertemu Musso. Tokoh komunis itu mengenakan kemeja putih,
celana panjang hitam, dan kopiah. Mereka kemudian berbincang-bincang.
Soeharto menanyakan kepada Musso kenapa pemerintah dan Front Demokrasi
royal malah ikut berseteru.
+ Apakah tidak sebaiknya kita tinggalkan permusuhan dan bersatu melawan Belanda?
- Bagi saya pun demikian, Bung Harto.
Saya juga datang, kembali ke Indonesia, untuk mempertahankan
kemerdekaan. Tapi rupanya Sukarno dan Hatta tidak senang kepada saya,
mencurigai saya.
+ Kenapa tidak diadakan pembicaraan?
- Baru saja bertemu, tapi tidak ada kesepakatan.
+ Apakah boleh saya sampaikan kepada Bung Karno dan Bung Hatta bahwa sebenarnya Pak Musso masih menginginkan persatuan?
- Ya, tolong sampaikan. Tapi terus terang, Bung Harto, kalau saya akan dihancurkan, saya akan melawan.
Menurut penuturan Soemarsono, yang kini
tinggal di Sydney, Australia, seusai pertemuan tersebut, dia meminta
Soeharto membuat surat pernyataan bahwa situasi Madiun aman dan tak ada
sinyal-sinyal pemberontakan. “Mas saja yang buat, saya tidak
terbiasa,” kata Soemarsono mengutip jawaban Soeharto saat itu.
Soemarsono meminta Soeharto menyampaikan surat itu ke Presiden Sukarno
dan perdana menteri Hatta.
Mantan Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin
yang sudah bergabung dengan Partai Komunis Indonesia juga menitipkan
sepucuk surat untuk Presiden Sukarno. Amir, kata Soemarsono, mengirim
surat pribadi yang berisi permintaan agar Bung Karno turun tangan
mendamaikan kedua belah pihak.
Dalam otobiografinya, Soeharto mengatakan
menyampaikan semua pernyataan Musso kepada Panglima Sudirman yang
ketika itu sudah sakit keras. “Pak Dirman yang menyampaikan hasil
pertemuan dengan Musso ke Bung Karno dan Bung Hatta,” kata Soeharto.
Memang tak ada data sejarah menyatakan apakah pesan Musso itu sampai ke
Sukarno dan Hatta. Yang pasti, perang saudara itu tak tercegah lagi.
Dan Musso tewas di ujung senapan.
Sapu Bersih Pasca Madiun
KABAR itu tiba di Yogyakarta menjelang
petang pada 18 September 1948. Isinya gawat: Partai Komunis Indonesia,
dipimpin Musso, melancarkan aksi pemberontakan di Madiun, Jawa Timur.
Menjelang magrib, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Ali Sastroamidjojo
dan Residen Surakarta Sudiro menemui Kepala Staf Operatif Markas Besar
Angkatan Perang Republik Indonesia Kolonel Abdul Haris Nasution di
rumahnya. “Presiden memanggil saya,” kata Nasution, seperti dalam
bukunya Memenuhi Panggilan Tugas.
Nasution kemudian menemui Presiden
Sukarno di Gedung Agung-sebutan Istana Kepresidenan Yogyakarta, yang
terletak di pusat kota. Presiden didampingi Menteri Koordinator
Keamanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Ketika itu Panglima Besar
Jenderal Sudirman masih berada di Magelang. Menurut Nasution, Presiden
memintanya membuat konsep tindakan yang akan diberlakukan sebagai
keputusan presiden.
Kolonel Nasution kemudian menyodorkan
rencana aksi militer kepada Sukarno. “Nasution menyatakan Peristiwa
Madiun sebagai pemberontakan dan harus dilawan,” kata Harry A. Poeze,
sejarawan asal Belanda, Rabu dua pekan lalu. Nasution sendiri dalam
bukunya menyatakan, “Sebagai seorang yang telah berbulan-bulan langsung
berhadapan dengan PKI, baik sebagai pejabat maupun pribadi, saya dapat
konsepsikan dengan segera rencana pokok untuk menindak PKI.”
Isi rancangan keputusan presiden itu
adalah perintah kepada Angkatan Perang Republik Indonesia untuk
menyelamatkan pemerintah dalam menindak pemberontakan, dan menangkap
tokoh-tokohnya, serta membubarkan organisasi-organisasi pendukungnya
atau simpatisannya. Nasution cemas, Front Demokrasi Rakyat, sayap
oposisi kelompok kiri yang dipimpin Amir Sjarifoeddin dan Musso,
melancarkan aksi serupa di Yogyakarta. Apalagi, satu hari sebelumnya,
terjadi kontak senjata antara batalion Siliwangi dan pasukan Front
Demokrasi di Solo.
Sukarno menyetujui rencana aksi Nasution.
Presiden kemudian memerintahkan Jaksa Agung Tirtawinata memperbaiki
kalimat dari segi hukum. Tapi Nasution mesti menunggu persetujuan
sidang kabinet, yang baru digelar menjelang tengah malam. Sebelum
sidang dimulai, Panglima Besar Jenderal Sudirman datang. Nasution
menceritakan dalam bukunya, Sekretaris Negara Pringgodigdo membacakan
konsep keputusan presiden tersebut. Hanya Menteri Luar Negeri H Agus
Salim yang berbicara. “Kalau sudah begini, tentulah jadi tugas
tentara,” tulis Nasution, mengutip Agus Salim.
Menurut Poeze, semua yang hadir di sidang
kabinet sepakat menyimpulkan Peristiwa Madiun sebagai pemberontakan.
Tragedi Madiun tercuplik dalam buku Poeze berjudul Verguisd en
Vergeten, Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie,
1945-1949. Dalam bab De PKI in actie, opstand of affaire?, Poeze
melukiskan, sidang kabinet cuma butuh beberapa menit buat merestui
rencana Nasution. Sudirman mendapat wewenang melaksanakan keputusan
tadi.
Atas dukungan itu, Nasution melaporkan
persiapan operasi kepada Sudirman. Panglima Besar menyetujuinya. Ia
meminta Nasution dan Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade X,
melaporkan perkembangan keesokan paginya. Lewat tengah malam, Nasution
bergerak. Kekuatan bersenjata Front Demokrasi Rakyat di Yogyakarta
dilucuti. Tokoh yang menghadiri konferensi Serikat Buruh Kereta Api
ditahan. Hampir 200 simpatisan serta tokoh PKI ditangkap. Di antaranya
Alimin, Djoko Sudjono, Abdoelmadjid, Tan Ling Djie, Sakirman, dan Siauw
Giok Tjan.
Semua pers yang berafiliasi ke Front
Demokrasi Rakyat, seperti Buruh, Revolusioner, Suara Ibu Kota, Patriot,
dan Bintang Merah, dilarang terbit. Percetakannya disegel. Wartawannya
ditangkap. Poster dan spanduk Front Demokrasi dibersihkan. Sebagai
gantinya, ditempel plakat yang berbunyi: “Kita hanya mengakui
pemerintah Sukarno-Hatta.” Menjelang fajar, operasi itu kelar.
Nasution melaporkan hasilnya kepada
Sudirman. Keesokan harinya digelar sidang Dewan Siasat Militer.
Panglima Besar Sudirman lalu mengambil keputusan. Dia mengangkat
Kolonel Sungkono sebagai Panglima Pertahanan Jawa Timur. Ia mengirim
Brigade II Siliwangi, di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sadikin, guna
merebut kembali Madiun. Sedangkan Letnan Kolonel Koesno Oetomo memimpin
Brigade I Siliwangi buat merebut Purwodadi, Blora, Pati, dan Kudus.
Malam harinya, keputusan itu disiarkan Sudirman lewat Radio Republik
Indonesia di Yogyakarta.
Di mata Poeze, penangkapan itu bukti
bahwa gerakan di Madiun tidak dipersiapkan dengan matang. “Tidak ada
petunjuk agar tokoh PKI di Yogyakarta pergi meninggalkan kota itu,”
katanya. Para tokoh yang ditangkap itu juga mengaku tidak tahu-menahu
ihwal aksi di Madiun. “Saya tidak tahu apa yang dituduhkan kepada
kami,” kata Gondopratomo, sekretaris pertama Serikat Buruh Kereta Api,
seperti dikutip dalam makalahnya berjudul “Kejadian-kejadian Penting
Menjelang Peristiwa Madiun dan Jatuhnya Republik Indonesia ke Dalam
Jebakan Neokolim”.
Makalah tadi disampaikan Gondo dalam
sarasehan Peristiwa Madiun 1948 di Amsterdam, Belanda, delapan tahun
lalu. Gondo mengaku ditangkap pada 18 September pagi, sebelum sidang
kabinet digelar. “Pukul dua pagi kami ditangkap, lalu dibawa ke Benteng
Vredenburg,” katanya. Paginya, ia dibawa ke gedung Normaal School. Dua
hari kemudian, ia baru tahu bahwa ia dikenai tuduhan hendak mendirikan
Negara Soviet di Madiun.
Tuduhan itu dinilai Gondo tidak masuk
akal. “Kalau akan diadakan pemberontakan, kenapa pengurus Serikat Buruh
Kereta Api Madiun datang ke Yogyakarta?” katanya. Di kota itu, Serikat
Buruh Kereta Api tengah menyelenggarakan konferensi membahas “Jalan
Baru untuk Republik Indonesia”. Delegasi Serikat Buruh dari berbagai
daerah datang ke sana.
Menurut Gondo, penangkapan itu cuma
akal-akalan pemerintahan Hatta, yang ketika itu menempati posisi wakil
presiden, perdana menteri, sekaligus menteri pertahanan. “Mereka sudah
lama mempersiapkan penangkapan,” katanya. Kelompok kiri menuduh
penangkapan dilakukan buat merebut simpati Amerika Serikat, agar negara
itu menekan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.
Proklamasi Dini di Madiun
“Madiun sudah bangkit
Revolusi sudah dikobarkan
Kaum buruh sudah melucuti polisi dan tentara Republik
Pemerintahan buruh dan tani yang baru sudah dibentuk”
MELALUI Radio Gelora Pemuda dan Radio
Republik Indonesia, pidato Ketua Badan Kongres Pemuda Republik
Indonesia Soemarsono memecah keheningan pagi di Kota Madiun, Jawa
Timur, pada 18 September 1948. Suasana mencekam merasuk hingga ke
sudut-sudut kota. Pasukan Soemarsono menguasai semua gedung vital dan
kantor pemerintahan. Mereka melucuti tentara dan polisi.
Soemarsono menyatakan gerakan itu upaya
membela diri. Maraknya penculikan terhadap tokoh Partai Komunis
Indonesia di Yogyakarta dan Solo telah menjalar ke Madiun. “Apalagi
ketika itu berkeliaran pasukan gelap dengan lencana tengkorak,” katanya
dalam perbincangan dengan Tempo, Oktober lalu.
Dua hari sebelum peristiwa itu,
Soemarsono bertemu dengan Musso dan Amir Sjarifoeddin di Kediri untuk
melaporkan kondisi Madiun yang semakin genting. Mendapat laporan itu,
Musso dan Amir kompak menjawab, “Bertindak! Lucuti saja pasukan yang
menculik itu.”
Menjelang siang, Madiun bergerak pulih.
Seluruh kota telah berada dalam penguasaan pemuda PKI. Keadaan ini,
kata Soemarsono, harus dilaporkan ke pemerintah pusat di Yogyakarta.
Namun tak satu pun pejabat Madiun yang berani melaporkan. Terjadi
perdebatan sengit di antara petinggi militer PKI. “Semua saling
lempar,” kata Soemarsono. Samadikun, penguasa sipil tertinggi di
Madiun, sedang ke luar kota dan wakilnya, Sidarto, terbaring sakit.
Komandan Teritorial Madiun Letnan Kolonel
Sumantri juga menolak. Dia malah meminta Soemarsono yang mengirimkan
laporan ke Yogyakarta. “Saya bukan orang pemerintah,” Soemarsono
menolak. Akhirnya diputuskan meminta Wali Kota Madiun, Purbo,
mengirimkan laporan kepada Perdana Menteri Mohammad Hatta. Namun Purbo
juga sedang terbaring sakit.
Lalu muncullah Supardi, wakil wali kota
yang baru saja diangkat. Dia mengatakan sanggup mengirimkan laporan
itu. “Asalkan dengan persetujuan komandan teritorial,” katanya, seperti
diceritakan Soemarsono. Semua sepakat, termasuk para bupati yang telah
menyatakan mendukung PKI.
Hari itu juga Supardi mengirim telegram
ke Yogyakarta, menjelaskan pelucutan senjata batalion Siliwangi dan
Mobrig oleh Brigade 29. Supardi juga menyampaikan keadaan Madiun aman
terkendali. “Berhubung kepergian kepala daerah, untuk sementara
pimpinan pemerintahan daerah kami pegang. Minta instruksi lebih
lanjut.” Demikian laporan Supardi, yang menyebut dirinya wakil
Pemerintahan Republik Indonesia Daerah Madiun.
Hingga menjelang petang, tak ada balasan
dari Yogya. Esoknya, menjelang malam, “jawaban” itu akhirnya datang
juga. Tidak lewat telegram, tapi melalui gelombang Radio Republik
Indonesia di Yogyakarta. Dengan berapi-api Presiden Sukarno
menyampaikan pidato menanggapi peristiwa di Madiun.
Sukarno mengatakan telah terjadi upaya
kup oleh PKI di Madiun. Dia memberikan dua pilihan kepada rakyat: ikut
Musso dengan PKI atau ikut Sukarno-Hatta. “Negara kita mau dihancurkan.
Mari basmi bersama pengacau-pengacau itu,” Sukarno berseru.
Hanya berselang tiga jam, melalui Radio
Gelora Pemuda, Musso membalas pidato Sukarno. Musso menyatakan
Sukarno-Hatta hendak menjual Indonesia kepada imperialis Amerika. “Oleh
karena itu, rakyat Madiun dan juga daerah-daerah lain akan melepaskan
diri dari budak-budak imperialis itu,” katanya.
Musso bersama petinggi Front Demokrasi
Rakyat mengumumkan terbentuknya Front Nasional Daerah Madiun. Para
pejabat pemerintah, dari bupati sampai lurah yang propemerintah,
digantikan kader PKI.
Musso kemudian melantik Soemarsono
sebagai gubernur militer dan Kolonel Djoko Soedjono menjadi komandan
pasukan PKI. Alasannya, pemerintahan baru ini dibentuk untuk melawan
kekuatan militer. Adapun Supardi, karena dinilai berani melapor ke
pemerintah pusat, diangkat menjadi residen.
l l l
FRONT Nasional Daerah Madiun menguasai
lima kabupaten: Magetan, Madiun, Ponorogo, Ngawi, dan Pacitan. Hari itu
bupati diganti dengan kader PKI. Wilayahnya semakin luas dengan
bergabungnya Wonogiri dan Sukoharjo.
Hatta mengecam tindakan Musso. Dalam
pidatonya di depan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat pada
20 September 1949, dia mengatakan gerakan PKI itu sebagai upaya
merobohkan pemerintahan Republik Indonesia dengan kudeta. “Kemudian
mendirikan pemerintahan Soviet,” katanya. Sejarawan Harry A. Poeze
memberikan penilaian yang sama. “Itu upaya mereka menjadikan Musso
sebagai presiden,” katanya.
Bertahun-tahun kemudian, para tokoh PKI
berkukuh menolak dituding melakukan pemberontakan di Madiun. “Alangkah
mencari-carinya orang yang menuduh PKI merobohkan Republik Indonesia,”
kata D.N. Aidit dalam pembelaannya berjudul Menggugat Peristiwa Madiun,
yang dibacakan di Sidang Dewan Perwakilan Rakyat, 11 Februari 1957.
Bantahan serupa datang dari Soemarsono.
Menurut dia, kalau memberontak, PKI pasti sudah melakukan penyerangan.
“Ini tidak,” katanya.
l l l
SITUASI Madiun-Yogyakarta terus memanas.
Pada akhir September 1948, lewat Radio Gelora Pemuda, PKI membantah
tudingan Hatta. Lewat Supardi, PKI meminta upaya perdamaian dengan
pemerintah Sukarno-Hatta. “Karena pemerintahan lokal di Madiun
merupakan bagian dari Republik Indonesia,” kata Supardi, seperti
dikutip dalam buku Himawan Soetanto yang berjudul Rebut Kembali Madiun.
Abdoel Moetholib, yang belakangan
menggantikan Supardi, melakukan langkah yang sama. Dia mengumumkan
daerah-daerah yang sebelumnya diduduki PKI telah kembali dilepaskan.
Agar lebih meyakinkan, Moetholib melakukan penggantian bupati di
Madiun, Magetan, Ngawi, Ponorogo, dan Pacitan.
Upaya itu sia-sia. Sukarno telanjur
menunjuk Panglima Besar Jenderal Sudirman untuk mengambil langkah tegas
guna merebut kembali Madiun. Sepuluh batalion tentara pemerintah
menyerbu Madiun.
Kota yang dikelilingi pegunungan itu
dikepung dari berbagai penjuru. Petinggi PKI terdesak. Pada 28
September, Musso, Amir Sjarifoeddin, dan Soemarsono hengkang
meninggalkan Madiun. “Kami terjepit,” kata Soemarsono.
Hatta Kambing Hitam Madiun
Asvi Warman Adam
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
DALAM alam sejarah yang diajarkan semasa
Orde Baru, Peristiwa Madiun 19 September 1948 merupakan pemberontakan
PKI yang disertai dengan pembantaian terhadap para kiai. Namun kini
dipertanyakan apakah peristiwa itu merupakan pemberontakan yang
bersifat nasional atau hanya perlawanan lokal (apakah coup d’etat atau
coup de ville). Tentang pembunuhan terhadap pemuka Islam, hal serupa
terjadi pada orang-orang kiri yang dituduh terlibat seperti disaksikan
dengan mata kepala sendiri oleh Roeslan Abdulgani (Casper Schuuring,
Roeslan Abdulgani Tokoh Segala Zaman, 2002).
“Di sebuah gedung sekolah ditawan 43
orang komunis dan diputuskan siapa di antara mereka akan dihukum mati.
Seorang letnan memohon kesediaan saya untuk hadir dalam pelaksanaan
tembak mati tersebut. Dari jumlah 43 itu, lima belas orang dihukum mati
dan lima di antaranya benar-benar ditembak di depan liang kubur yang
sudah tersedia…. Ketika malam harinya kembali ke Madiun, saya menangis.
Saya tidak pernah menangis begitu keras.” Hal yang sama menimpa Amir
Sjarifoeddin dan sepuluh pemimpin teras kelompok komunis pada 19
Desember 1948 tengah malam di Desa Ngaliyan, Solo.
Pada era reformasi telah terbit berbagai
buku tandingan yang memberikan penjelasan dan interpretasi berbeda
mengenai Peristiwa Madiun 1948. Namun, dalam orasi atau buku-buku yang
ditulis oleh kelompok kiri, Hatta selalu dijadikan target serangan.
Aidit menuduh Hatta telah melakukan provokasi. Ini dikaitkan dengan
“red drive proposal” berupa konsep untuk membasmi komunisme yang
dikemukakan dalam pertemuan di Sarangan, Jawa Timur. Namun apakah betul
ada “Pertemuan Sarangan” itu dan sesungguhnya apa isi pertemuan
tersebut? Dalam hal ini satu-satunya yang sering dirujuk adalah buku
Boroboedoer, sebuah kisah perjalanan yang ditulis oleh Roger Vailland.
Ia lebih dikenal sebagai novelis Prancis ketimbang sebagai sejarawan.
Jadi buku itu diragukan kesahihannya.
Dalam Harian Rakjat, 14 September 1953,
dimuat pernyataan Politbiro CC PKI tentang Peristiwa Madiun 1948. D.N.
Aidit kemudian diajukan ke pengadilan dengan tuduhan menghina dan
menyerang kehormatan Wakil Presiden Republik Indonesia M. Hatta. Dalam
pernyataan tersebut terdapat kata-kata “provokasi”, “keganasan”,
“berlumuran darah”, dan seterusnya. Aidit menjelaskan bahwa provokasi
itu berawal dari pembunuhan terhadap Kolonel Sutarto, Komandan Divisi
IV TNI, Juli 1948, yang dianggap sebagai orang yang menolak
rasionalisasi tentara yang digariskan Hatta. Selanjutnya penculikan
terhadap dua orang anggota PKI, 1 September 1948, yang dilakukan aparat
pemerintah. Pada 7 September 1948, terjadi penculikan terhadap lima
perwira TNI yang beraliran kiri. Semua peristiwa inilah yang
menyebabkan terjadi konflik antara tentara Siliwangi dan Panembahan
Senopati di Surakarta. Ketegangan ini menjalar ke Madiun dengan
dilucutinya pasukan Siliwangi oleh Brigade 29 pada 18 September 1948.
Pada 19 September 1948, Hatta dengan
segera meminta Badan Pekerja KNIP mengesahkan Undang-Undang tentang
Pemberian Kekuasaan Penuh kepada Presiden dalam Keadaan Bahaya selama
tiga bulan (saja). Undang-undang yang disahkan pada 20 September 1948
itu-hanya terdiri atas satu pasal-memberikan kekuasaan penuh (plein
pouvoir) kepada presiden. Maka dalam tempo dua minggu dilakukan
penumpasan terhadap gerakan yang dianggap melawan pemerintah tersebut.
Sementara itu, di pihak lain, Belanda, yang memperkirakan tentara
Indonesia sudah sangat lemah, setelah bersusah payah mengatasi krisis
Madiun, memutuskan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948 untuk
menghancurkan Republik Indonesia.
Tuduhan bahwa Hatta menyebabkan provokasi
karena program rasionalisasi yang dijalankannya tentu perlu
diklarifikasi ulang. Pada saat itu terdapat sedikit persenjataan dan
lebih dari 400 ribu tentara yang terdiri atas tentara reguler dan
laskar yang hendak diciutkan menjadi 60 ribu orang. Tentu dengan tujuan
agar lebih efektif, patokan Hatta adalah satu senjata untuk empat
prajurit. Hatta menyadari bahwa kebijakan itu menimbulkan dampak
psikologis karena bisa menimbulkan kesan “habis manis sepah dibuang”,
lalu kedua, siapa yang dikeluarkan dan siapa yang dipertahankan tentu
menjadi isu sentral yang terkait pula dengan kepentingan partai politik
yang menggarap tentara.
Ir Setiadi Reksoprodjo (yang baru
meninggal beberapa bulan lalu pada usia 89 tahun), Menteri Penerangan
dalam kabinet Amir Sjarifoeddin pada 1947, memberikan kesaksian 13
halaman tulisan tangan kepada saya, menjelaskan jasa Amir dalam
mengefektifkan angkatan bersenjata Indonesia. Sejak November 1945
sampai Januari 1948, Amir berturut-turut menjadi Menteri Keamanan
Rakyat/Menteri Pertahanan. Pada awal kemerdekaan, unsur tentara terdiri
atas berbagai kelompok terlatih (eks didikan Belanda/Jepang) dan
laskar. Dalam masa transisi, menurut Amir, diperlukan Tentara
Masyarakat.
Amir juga berpendapat RI hanya bisa
bersandar pada perjuangan kekuatan rakyat, bukan pada tentara
konvensional. Tentara RI haruslah tentara rakyat, tidak boleh bersifat
elitis, karena bila terpisah dari rakyat, mereka tidak berdaya apa-apa.
Kelaskaran memiliki tradisi akrab dengan rakyat, tapi memang
kedisiplinannya dalam berorganisasi harus ditingkatkan. Ini berbeda
dengan tentara didikan Belanda dan Jepang, yang umumnya kurang mengerti
perlunya keterlibatan rakyat.�Untuk itu, Amir mendirikan badan
pendidikan politik tentara untuk menjembatani perbedaan antara
kelaskaran dan tentara reguler. Skema itu sudah mulai dijalankan, tapi
belum berlangsung lama karena agresi Belanda. Bahkan kemudian Amir
digantikan Hatta sebagai perdana menteri.
Perbedaan antara pandangan Hatta dan Amir
Sjarifoeddin mengenai pengelolaan tentara tinggal perdebatan sejarah.
Yang jelas, telah terjadi ketegangan dan konflik sesama kelompok
tentara di samping persaingan keras partai politik. Tapi apakah program
rasionalisasi tentara (yang disebut Re-Ra oleh Nasution) yang
dilakukan Hatta yang menjadi penyebab Peristiwa Madiun masih perlu
dikaji lebih lanjut. Jadi tudingan “provokasi Hatta” itu lebih bersifat
tendensius. Menjadi pertanyaan pula kenapa Hatta yang dituduh, dan
bukan Sukarno. Ketika Aidit berpidato “Menggugat Peristiwa Madiun” di
DPR, 11 Februari 1957, Hatta sudah mengundurkan diri sebagai wakil
presiden. Tentara yang dipimpin Jenderal Nasution sudah merapat kepada
Presiden Sukarno dan hubungan ini kian mesra pada saat dan setelah
meletus PRRI/Permesta. Maka, mulai 1960-an, kekuasaan terpusat pada
aktor segitiga: Sukarno di atas dan PKI-Tentara di sudut kiri-kanan
bawah. Hatta, yang sudah kehilangan kekuasaan, dengan mudah dijadikan
kambing hitam.
Warisan Kebencian
Anthony Reid (Revolusi Nasional Indonesia, 1996) mengatakan bahwa respons pemerintah terhadap Peristiwa Madiun tidak sulit dimengerti. Negosiasi seperti yang diusulkan Sudirman mungkin dapat menyelamatkan banyak nyawa, tapi dengan ongkos keberhasilan propaganda Belanda bahwa Republik Indonesia tidak berdaya terhadap komunis dan kepastian dukungan Amerika Serikat bagi Belanda untuk melakukan intervensi. Sukarno-Hatta memilih bertindak tegas terhadap kelompok oposisi kiri tersebut.
Anthony Reid (Revolusi Nasional Indonesia, 1996) mengatakan bahwa respons pemerintah terhadap Peristiwa Madiun tidak sulit dimengerti. Negosiasi seperti yang diusulkan Sudirman mungkin dapat menyelamatkan banyak nyawa, tapi dengan ongkos keberhasilan propaganda Belanda bahwa Republik Indonesia tidak berdaya terhadap komunis dan kepastian dukungan Amerika Serikat bagi Belanda untuk melakukan intervensi. Sukarno-Hatta memilih bertindak tegas terhadap kelompok oposisi kiri tersebut.
Masih menurut Reid, Peristiwa Madiun
penting tidak hanya karena jumlah korban yang besar (konon, 8.000 orang
PKI dibunuh oleh TNI menurut tuduhan pihak Belanda di Perserikatan
Bangsa-Bangsa, dan sebaliknya banyak pula orang dari kalangan pemuka
Islam yang tewas), tapi juga karena warisan kebencian yang ditinggalkan
antara kelompok kanan (santri) dan kiri (abangan). Bagi Sukarno-Hatta,
Peristiwa Madiun secara gamblang merupakan pemutusan gagasan revolusi
nasional dengan revolusi sosial. Pada 1945, keduanya seakan tak
terpisahkan. Namun, setelah Peristiwa Madiun 1948, revolusi sosial itu
tertunda sementara waktu. Walaupun arah revolusi belum tuntas
ditentukan, ia telah dibanting ke kanan.
Menurut Soe Hok Gie dalam Orang-orang di
Persimpangan Kiri Jalan (1997), perdebatan apakah peristiwa Madiun
merupakan pemberontakan (versi resmi) atau provokasi pemerintah Hatta
(versi kiri) tidak menjawab persoalan mendasar. Yang terjadi sebetulnya
adalah ketegangan di tengah masyarakat (di Jawa) dalam revolusi
nasional karena harapan-harapan yang tidak terpenuhi dan kesulitan
ekonomi yang membawa frustrasi. Ini memunculkan radikalisme yang terus
meningkat ibarat perlombaan mobil di lereng gunung yang makin lama
makin menyempit. Suatu saat roda yang berputar itu bersinggungan,
bergesekan, dan bertubrukan, maka timbul percikan api yang membakar.
Masalah ini akan lebih jelas bila dilacak secara multidisiplin, yaitu
dari aspek sosial-politik (perubahan masyarakat setelah 1942), ekonomi
(kehancuran dan perkembangan ekonomi setelah perang), dan budaya
(pertentangan Islam-nasionalis, Sunda versus Jawa, melalui konflik
Divisi Siliwangi-Panembahan Senopati).
Dendam itu dilanjutkan dengan fatwa
Masyumi, Desember 1954, yang menyatakan bahwa komunisme itu identik
dengan ateisme. Sebelumnya, M. Isa Anshary telah membentuk Front Anti
Komunisme di Jawa Barat. Keluarnya fatwa ini bisa dilihat dalam konteks
persaingan antara Masyumi dan PKI dalam menghadapi Pemilu 1955. Benih
kebencian itu perlu dihilangkan dengan mengkaji sejarah secara jernih.
Buku pelajaran sejarah perlu ditulis secara cerdas dengan perspektif
baru.
Lunglai di Rawa Klambu
RAMBUT gondrong, jenggot berjuntai tak
terurus. Mukanya pucat seperti kehilangan darah. Berhari-hari di rawa
dengan bekal minim membuat Amir Sjarifoeddin lunglai dan terserang
disentri. Bersama rombongannya, dia sulit keluar dari rawa di hutan
Klambu, Grobogan, Jawa Tengah, yang terkenal angker. Mereka dikepung
tentara yang menyeru supaya Amir menyerah. Amir menjawab hanya akan
berpasrah kepada Pasukan Divisi Panembahan Senopati.
Permintaan Amir dipenuhi. Pasukan
Senopati menjemput. Amir berjalan terpincang. Bekas perdana menteri itu
hanya memakai piyama, sarung, dan tak bersepatu. Kacamatanya masih
bagus. Pipa cangklong, yang biasanya tak pernah terpisahkan dengannya,
absen. Siang itu, 29 November 1948, akhir pengembaraan Amir yang diburu
TNI karena peristiwa Madiun.
Amir menyerah bersama tokoh PKI Soeripno,
serta empat pengawal. Kuda Amir sebelumnya sudah tertinggal, dan
anjing kesayangannya, Sora (sering dipanggil Zero), ditemukan tentara
pada 26 November. “Dalam pernyataan pertamanya, Amir mengatakan akan
kembali ke Solo dan Yogya dengan menyamar sebagai pedagang,” kata Harry
A. Poeze, dalam bukunya, PKI Bergerak: Pemberontakan atau Peristiwa?.
Dua hari sebelum Amir ditangkap, tentara
melancarkan operasi pembersihan di rawa Godong, dekat Nawangan,
Purwodadi, Jawa Tengah. Pasukan Kala Hitam, yang dipimpin Kemal Idris,
menurunkan Seksi I Siradz dan Seksi III Sarmada. Ketika berpatroli,
tentara menemukan beberapa orang di semak. Sewaktu dipanggil, mereka
berpura-pura mati. Tentara mengancam akan menembak sehingga semua
mengangkat tangan.
Mereka mengaku dari desa dan menjadi
tawanan PKI. Pasukan Kala Hitam tak percaya pengakuan itu, soalnya
mereka memiliki pistol. Komandan Peleton Suratman, seperti ditulis
Tempo pada 1976, melihat mereka putus asa, kelelahan, dan kelaparan.
Bagaimanapun, mereka seperti orang kota yang tak terbiasa berkeliaran
di hutan dan rawa. “Pertempuran di hutan berawa-rawa itu sulit sekali.
Pandangan terhalang oleh pepohonan,” kata Suratman.
Setelah dibawa ke pos terdekat, baru
diketahui bahwa orang yang mengaku penduduk desa itu pentolan Front
Demokrasi Rakyat/PKI, yakni Djoko Soedjono, Maroeto Daroesman, dan
Sardjono. Dalam pemeriksaan, Djoko Soedjono mengatakan Amir berada
beberapa ratus meter dari tempat dia. Tujuan mereka bukan menyeberang
ke daerah pendudukan Belanda, melainkan bergabung dengan pasukan PKI
yang dikira masih aktif.
Pengembaraan Amir dan pentolan PKI
lainnya di rawa-rawa mulai dilakukan setelah Madiun direbut tentara.
Musso, Amir, dan pucuk pimpinan yang lain buru-buru mengundurkan diri
ke Dungus dan Ngebel, Ponorogo. Mereka dikawal pasukan tentara merah
dan ribuan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) bersenjata lengkap
berikut kaum ibu dan anak-anak.
Mereka membawa berjuta ORI (Oeang
Republik Indonesia), berkarung beras, mesin tulis, mobil, amunisi,
kambing, ayam, bendi, kuda. Sebagian perbekalan itu berceceran di
jalan. Dokumen tertulis saja yang tak pernah tertinggal. Mereka
berjalan kaki, sebagian berkuda. Dalam buku Revolusi Agustus,
Soemarsono bercerita semua perbekalan itu akan dipakai untuk persiapan
setelah masuk wilayah kekuasaan Belanda.
Sampai di Balong, Ponorogo, Musso
berselisih dengan Amir. Surat kabar Sin Po menggambarkan konflik kedua
pemimpin itu karena perebutan kekuasaan di Madiun. Sumber lain
menyebutkan Musso dan Amir berbeda pendapat tentang basis penyerangan
baru sesudah Madiun jatuh. Musso menghendaki ke selatan, sedangkan Amir
ke utara.
Muhammad Dimyati, dalam bukunya, Sedjarah
Perdjuangan Indonesia, melontarkan pertanyaan yang belum terjawab.
Mengapa Musso seorang diri? Mengapa ia tak mendapat pengawalan
bersenjata, padahal ada ribuan prajurit merah aktif? Dimyati menulis:
“Masih mendjadi soal gelap jang tidak mudah diterangkan.”
Musso dikawal beberapa orang yang
bertualang ke selatan dan terdampar di pegunungan sekitar Ponorogo. Dia
tewas dalam penyergapan pada 31 Oktober 1948. Sedangkan induk pasukan
Amir meneruskan perjalanan. Mereka menyusuri jalan menuju Tegalombo ke
Pacitan. Pasukan Amir bertemu dan bergabung dengan pasukan Ahmad Jadau
di Purwantoro.
Atas saran Jadau, mereka bergerak ke
utara. Iring-iringan lebih dari 2.000 orang itu dikawal Pesindo di
depan, belakang, lambung kiri dan kanan. Poeze mengatakan rombongan itu
meliputi pengikut PKI bersenjata, kader, dan keluarga. Ada juga orang
desa yang dipaksa ikut sehingga jumlahnya membengkak terus dalam setiap
perjalanan.
Tentara mengepung PKI di segitiga
Ponorogo-Pacitan-Wonogiri, tapi sama sekali bukan pagar betis kuat.
Pasukan TNI tak bisa menutup semua akses sehingga tentara merah
berhasil lari ke utara. Tapi long march menggerus sebagian kekuatan
PKI. Dalam pertempuran di Purwantoro, PKI kehilangan tim Abdoel
Moetolib yang terpisah dari pasukan induk.
Pasukan Amir sampai di Wirosari dan masih
memiliki 800 personel bersenjata dan seribu anggota keluarga. Bekas
Panglima Siliwangi, Himawan Soetanto, mengatakan pasukan Amir menuju ke
daerah Belanda karena ada kemungkinan selamat dan terus hidup
dibanding berada di daerah Republik.
Dua bulan pasukan PKI melakukan long
march. Rombongan akhirnya sampai di daerah rawa di hutan Klambu,
Grobogan, sekitar 50 kilometer dari Madiun. Kekuatan mereka tinggal
sekitar lima ratus orang karena serangan tentara Indonesia.
Dalam serangan 26-29 November di kawasan
Klambu, sekitar 1.200 tentara PKI menyerahkan diri, termasuk Amir dan
pemimpin lainnya yang menanti eksekusi. Gubernur Militer Madiun PKI
Soemarsono selamat karena berhasil masuk ke daerah pendudukan Belanda
yang digariskan dalam Perjanjian Renville.
l l l
Kabar kedatangan mereka ditunggu ribuan
warga Yogyakarta. Amir, Soeripno, dan Harjono dibawa ke Yogyakarta
dengan kereta api pada 5 Desember 1948. Dalam Orang-orang di
Persimpangan Kiri Jalan, Soe Hoek Gie menulis kereta sengaja
dikosongkan untuk keperluan itu. Wartawan Antara mewawancarai mereka di
kereta. Amir diam sambil membaca Rome and Juliet karya William
Shakespeare. Dua lainnya mengatakan pasrah sejak meninggalkan Madiun.
Amir dan kawan-kawan ditahan berdasarkan
aturan yang menetapkan bahwa gubernur militer berwenang menjebloskan
tahanan politik atau militer ke penjara. Ada 560 tahanan yang diatur
dengan tata cara dan disiplin militer di Yogyakarta. Tahanan dibagi ke
dalam tiga kategori, yakni mereka yang sekadar ikut-ikutan, terlibat
langsung, dan para pemimpin.
Pada 19 Desember 1948, Belanda menyerbu
pedalaman Republik atau dikenal dengan Agresi Militer II. Tentara
Indonesia harus siap perang gerilya karena sulit menandingi kekuatan
Belanda. Sejumlah tahanan dibebaskan dan dipersenjatai. Pembebasan itu
berlanjut sampai Januari 1949. Sekitar 35 ribu tahanan politik
dibebaskan untuk menangkis Belanda.
Pembebasan itu tak berlaku bagi Amir dan
sepuluh orang lainnya yang dibawa ke Desa Ngalihan, sebelah timur Solo.
Mereka adalah Amir, Soeripno, Maroeto, Sardjono, Oei Gee Hwat,
Harjono, Djoko Soedjono, Sukarno, Katamhadi, Ronomarsono, dan D.
Mangkoe.
D.N. Aidit, seperti dikutip Lembaga
Sedjarah PKI, melukiskan peristiwa di Ngalihan pada 1953. Larut malam
di Ngalihan. Sekitar dua puluh orang sibuk menggali kuburan. Kepada
Amir diperlihatkan surat perintah Gubernur Militer Kolonel Gatot
Subroto mengenai eksekusi pemimpin PKI itu.
Amir dan kawannya bercakap dengan
tentara. Soeripno sempat menulis surat untuk istrinya. Mereka lalu
menyanyikan Indonesia Raja dan Internasionale. “Setelah selesai
bernjanji Bung Amir menjerukan: bersatulah kaum buruh seluruh dunia!
Aku mati untukmu!” Amir ditembak lebih dulu.
Isu eksekusi Amir beredar beberapa hari
kemudian di Jakarta. Namun pemerintah menolak memberikan pembenaran.
Penjara Amir kosong, tapi keberadaannya tak terlacak. Wartawan Rosihan
Anwar mengatakan, sejumlah media, termasuk Pedoman, luput memberitakan
peristiwa malam berdarah di Ngalihan.
Pada Januari 1949, Sin Po menulis bahwa
Amir dan Maroeto dihukum mati. Wawancara Sin Po dengan Ketua Mahkamah
Militer Tinggi Koesoemaatmadja menyebutkan pemimpin PKI dibawa ke Solo
dan diserahkan ke Gubernur Militer Gatot Subroto ketika penyerangan
Belanda.
Sesudah penyerahan kedaulatan pada 1950,
peristiwa eksekusi itu mencuat lagi. Istri Harjono dan Djoko Soedjono
menerima kabar bahwa suami mereka dieksekusi pada 19 Desember 1948.
Pada 15-18 November 1950, kuburan digali dan jenazah diidentifikasi.
Pemakaman kembali pada 19 November disaksikan sepuluh ribu pengunjung.
Di Ngalihan, makam tak bernisan itu kini
tak terawat. Penduduk setempat hanya mengenalnya sebagai kuburan PKI.
Ngalihan menjadi semacam penutup episode Madiun yang menelan korban
ribuan orang. Aidit menyebutkan, operasi tentara dalam Peristiwa Madiun
menyebabkan sepuluh ribu buruh dan tani tewas.
Tiga Dilepas Demi Revolusi
RUMAH tingkat dua di Kebayoran Lama,
Jakarta Selatan, itu berbagi tembok dengan dinding parit. Luasnya
sekitar 30 meter persegi, dengan tegel abu-abu yang kusam. Dindingnya
cuma semen yang belum dipelur. Itulah bekas rumah Paulus al-Gadri dan
istrinya, Paulina Sukarti. Keduanya, yang baru bebas dari tahanan
politik era Soeharto pada 1980-an, menikah pada 1985. Kini rumah itu
ditempati para tukang servis jok dan sofa.
Tetangga sekitar mengenalnya sebagai Ibu
Karti yang jago matematika dan Pak Gadri yang pandai bahasa Inggris.
Rusminah, pemilik warung di pojok jalan ke gang rumah tersebut, menilai
tetangganya itu sebagai dermawan. “Suka kasih uang jajan ke anak saya,
yang sudah dianggap cucunya sendiri,” ujar nya.
Kedua tokoh ini bukanlah pribadi
sembarangan. Paulina Sukarti pernah menjadi aktivis Corps Gerakan
Mahasiswa Indonesia, salah satu organisasi massa Partai Komunis
Indonesia. Adapun Paulus al-Gadri, lulusan Akademi Hukum Militer,
adalah oditur berpangkat kapten Angkatan Darat di Hakim Militer
Jakarta. Jabatan penting terakhir yang dipegangnya adalah Kepala Rumah
Penjara Tentara di Cimahi pada 1952.
“Orangnya pintar tapi lurus banget, kayak
si Kabayan,” kata Uchi Kowati, keponakan Sukarti, tentang pamannya.
Karena sifatnya yang lempeng dan dermawan itu, Uchi awalnya tak percaya
Al-Gadri adalah putra Musso. Apalagi tantenya berkata, “Halah, anak
Musso kok kayak begitu.”
Saat membangun rumah, Al-Gadri sering
mempersilakan tukang batunya bekerja setengah hari. Apalagi saat dia
lihat para pekerja sudah letih. Tinggal Sukarti yang geleng-geleng
kepala.
Lain waktu, Al-Gadri yang justru marah
kepada istrinya. Baginya, ilmu harus dibagi. Memberikan les sama dengan
menjual ilmu kepada orang lain. Sukarti memberikan les fisika, kimia,
dan matematika kepada anak sekolah menengah pertama dan sekolah
menengah atas untuk mencari nafkah. Setelah diterangkan, les yang dia
berikan tak sama dengan menjual ilmu, Al-Gadri paham. Ia pun memberikan
les bahasa Inggris bagi beberapa guru. “Dia cuma dibayar Rp 5.000,”
kata Uchi.
Uchi baru percaya pamannya ini bukan
sembarang orang saat Al-Gadri serius mencari kerabat dan keturunan
Musso di Rusia sejak 1990. Sampai tahun 2000, ketika Al-Gadri meninggal
di Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia karena kanker,
rekan-rekannya di Eropa masih membantunya mencari keluarga Musso di
Rusia.
Al-Gadri menganggap Uchi putri sendiri
sehingga mempercayakan surat-surat penting dan barang berharga
miliknya. Termasuk barang mewah pada zamannya: arloji emas kebanggaan
sang paman, yang rusak dan tak terawat, tapi selalu saja dipakai. Aneh,
dia kan enggak kerja, ngapain pakai arloji, pikir Uchi. Ia menyarankan
agar arloji itu dijual, tapi ditolak Al-Gadri. Karena, “Ini sudah
menemani saya sejak saya masih di luar penjara,” katanya kepada Uchi.
l l l
PADA Agustus 1948, sepulang dari
Cekoslovakia, Musso berkekelimhke daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
menyebarkan “Jalan Baru”-nya. Di kantor PKI di Bintaran Wetan,
Yogyakarta, Musso bertemu dengan putranya, Margono, dan istrinya
(sejauh ini Tempo belum mendapatkan namanya), yang ditinggalnya saat ke
Rusia pada 1926.
Saat itu Musso memberikan arloji kepada
Margono. Arloji pada masa itu merupakan barang mewah. Tapi, sebagai
pejabat di Komunis Internasional, Musso bisa mendapatkannya. Jabatan
terakhirnya Ketua Biro Asia dan Timur Tengah. Dan itulah pertemuan
pertama dan terakhir Musso dengan putranya. Dia berpesan, “Setelah kamu
pulang, kamu mesti siap berjuang demi revolusi.”
Soerjono alias Pak Kasur-suami pencipta
lagu anak Ibu Kasur yang menjadi anggota Gerakan Kepanduan Indonesia,
menulis peristiwa itu dalam catatannya yang berjudul “On Musso’s
Return” yang diterjemahkan Benedict Anderson.
Uchi tak tahu cerita tentang Margono
sampai arloji itu muncul. “Bisa jadi arloji yang sama, bagus banget,
tapi tak dirawat.” Yang pasti, selain dari arloji, Uchi melihat ciri
fisik Al-Gadri mirip postur Musso, hitam dan tinggi besar. Ia menduga
Al-Gadri nama samaran, karena merupakan nama marga di Timur Tengah.
Paulus nama baptisnya sebagai Katolik, keyakinan yang dia pilih setelah
sering bertemu dengan pendeta.
Al-Gadri pernah bercerita sejak kecil dia
diasuh Murdoko, petani di Kediri. Nama Musso lebih baik menghilang di
Kediri karena sejak 1924, sudah menjadi buron Belanda. “Dia cuma
tersenyum kalau ditanya nama aslinya,” ujar Uchi.
Menurut Smaun Oetomo dari Lembaga
Perjuangan Rehabilitasi Korban Orde Baru, nama para anggota PKI sudah
diincar. “Karena komunis di dunia ingin menghantam penjajahan, langsung
konfrontasi,” ujar bekas Ketua Buruh Kereta Api itu.
Ada pula kisah Mariana Winarni, putri
Al-Gadri. Menurut Mariana, ibunya, Samsirah, bercerai dengan ayahnya,
karena belakangan tahu ayahnya keturunan Musso. “Setelah itu, Ibu tak
pernah cerita apa pun soal ini, apalagi soal Kakek (Musso),” ujarnya
saat ditemui di kediamannya di Magetan.
Waktu menikah, dia memakai nama Mohamad
al-Gadri, kelahiran Surabaya, 2 April 1926. Tapi, ketika Al-Gadri
ditangkap, lingkungan di Magetan tahu dia keturunan Musso.
Samsirah hanya tahu suaminya tentara
bergelar sarjana hukum militer. Latar belakangnya terbongkar ketika
diciduk Resimen Para Komando Angkatan Darat. Dia dituduh memimpin
pasukan mengambil alih Radio Republik Indonesia dalam peristiwa Gerakan
30 September.
Al-Gadri menilai operasi itu cuma jebakan
untuk menjerat dia. Ketika datang, sudah banyak senjata terkumpul,
tapi dia dituduh yang menaruh. Uchi tak tahu pasti kapan tentara
mengetahui Al-Gadri putra Musso. “Mungkin sebelum 1965, makanya
dijebak.” Dia bebas setelah 16 tahun mendekam di penjara Salemba dan
Cipinang, lebih singkat daripada vonis Mahkamah Militer Luar Biasa
selama 20 tahun.
Sekeluar dari penjara, Al-Gadri tak
pernah bertemu dengan anaknya, Mariana, dan kakak Mariana, Winarno.
Ketika keluar dari penjara, dia ditampung seorang pendeta di rumahnya,
di bilangan Pakubuwono, Kebayoran Baru. Di sana Samsirah menemui
Al-Gadri setelah menerima surat Al-Gadri yang menyatakan dia ingin
bertemu istri dan anaknya. Tapi Samsirah datang tanpa putra-putrinya
itu. Dia datang hanya untuk mengakhiri hubungan.
Meski karier militernya yang cemerlang
jatuh dan dicerai karena keturunan Musso, Al-Gadri mengaku tak kecewa.
“Saya bangga jadi anak Musso,” ujarnya kepada Uchi.
Al-Gadri akhirnya bertemu dengan Mariana
dan Winarno kala dia koma di rumah sakit. “Kami cuma sempat pegangan
tangan dengan Bapak, besoknya Bapak meninggal,” ujar Mariana. Bersama
anak dan cucunya, Mariana kini tinggal di rumah kontrakan seluas 70
meter persegi, tak jauh dari rumah dia dan ibunya, Samsirah. Sebagai
penyambung hidup, Mariana bekerja sebagai penjahit. Kakaknya, Winarno,
meninggal pada 2002.
l l l
SAMBUTAN kepada tetamu dari Indonesia di
rumah Profesor R. Intojo selalu meriah. Maklum, flat sastrawan Pujangga
Baru di Moskow, Rusia, itu jadi rendezvous orang Indonesia. “Karena
kami keluarga nondiplomat, sering banyak yang berkunjung tanpa
sungkan.” Para tamu selalu suka masakan Indonesia buatan ibunya,
seperti ayam goreng dan semur daging.
Intojo dikirim Presiden Sukarno pada
1956, sebagai janjinya kepada Uni Soviet mengirim pakar mengajar
bahasa dan sastra Indonesia ke Negeri Beruang Merah.
Vidji Utami Intojo, putri sulung sang
profesor, masih ingat perawakan Musman Pavlov dan Sunar Musso yang
tinggi dan berkulit cokelat seperti Musso. “Seperti orang bule sepekan
di Asia,” kata eks pengajar bahasa Indonesia di Institut Hubungan
Internasional itu.
Mereka sering ke rumahnya yang cuma empat
kilometer di Jalan Leninsky Prospekt. Bangunan flat di jalan ini untuk
kalangan kelas menengah ke atas. Luas rata-rata flat sekitar 80 meter
persegi. Intojo memperkenalkan Musman dan Sunar kepada Ami-sapaan Vidji
Utami -yang kala itu masih 11 tahun, sebagai anak Musso, orang yang
lama tinggal di Uni Soviet. “Saya tahu Musso dari buku sejarah Uni
Soviet,” kata Ami.
Sunar, anak perempuan Musso dari
pernikahan pertamanya di Rusia, lulusan Jurusan Bahasa Indonesia
Institut Ketimuran Moskow. Musman, anak dari pernikahan Musso yang
kedua dengan Lydia Pavlova-Musman memakai nama belakang keluarga
ibunya-kala itu berumur 18 tahun, dan mahasiswa baru Institut Bahasa
Asing Moskow.
Di Rusia, Sunar menjadi aktivis seperti
ayahnya. Dia anggota Gerakan Buruh Internasional di Moskow. Hingga
akhir 1960, meski sakit-sakitan, dia masih aktif di sana. Pada 1970,
Sunar meninggal tanpa sempat berkeluarga. Adapun Musman bekerja sebagai
penerjemah bahasa Jerman dan Rusia. Ia meninggal tiga tahun lalu dan
meninggalkan seorang putri.
Meski hidup tanpa sorotan publik di
Moskow dan sedikit yang kenal mereka sebagai keturunan Musso, Ami
melihat mereka bangga dengan ayahnya. Mereka tahu ayahnya sedikit dari
orang Indonesia yang menjadi petinggi di Uni Soviet. “Waktu kecil
mereka tahu banyak tokoh politik seluruh dunia bergabung dengan
Komintern,” ujar lulusan Sejarah Kesenian Universitas Lomonosov,
Moskow, itu.
Djalan Baru yang Kandas
SUATU malam, pertengahan 1950. Embun
menyergap tubuh Soemarsono ketika ia bergegas keluar dari sebuah rumah
di Sentiong, Gang Tengah, Matraman, Jakarta. Bekas Gubernur Militer
Pemerintah Front Nasional Daerah Madiun itu rupanya diusir Alimin,
Koordinator Departemen Agitasi Propaganda Politbiro Central Comite
Partai Komunis Indonesia (CC PKI). Pertemuan di rumah anak Alimin itu
ditandai dengan perdebatan keras. “Alimin tak suka kesetiaan saya pada
Djalan Baru kawan Musso,” kisah Soemarsono kepada Tempo, awal September
lalu.
Soemarsono, yang ketika itu berusia 28
tahun, datang sembunyi-sembunyi. Tentara sedang mencarinya karena dia
pelaku peristiwa yang disebut-sebut sebagai pemberontakan PKI Madiun 18
September 1948. “Alimin menguji, strategi apa yang akan saya pakai
jika saya menjadi pimpinan PKI,” kata Soemarsono.
Alimin ternyata tak sepaham dengan Musso.
Untuk membuktikan Musso keliru, Alimin menceritakan sebuah mimpinya.
Suatu malam Jumat Kliwon, dia berjalan kaki menerabas hutan dari Solo
ke Semarang. Di tengah hutan, karena sangat lelah, Pono, salah satu
tokoh PKI pada masa itu, menggendong dia. Langkah mereka terhenti
ketika terdengar bunyi menggelegar dari dalam tanah yang merekah. Lalu
suara Musso keras terdengar, “Min, aku salah.” Alimin menafsirkan
mimpinya sebagai penyesalan Musso karena gagal memimpin PKI.
Soemarsono tertawa mendengar tamsil itu.
Alimin marah dan mengusir tamunya. Soemarsono punya alasan membantah
Alimin. “Orang komunis kok percaya yang gaib. Dulu dia juga mau
ditonjok Musso karena kurang radikal, suka main perempuan.”
Kejadian malam hari di Sentiong itu
merupakan potret krisis kepemimpinan di tubuh PKI setelah Peristiwa
Madiun. Pemimpin partai dan ribuan kader dibunuh tentara Republik dan
rakyat antikomunis. Penjara dipenuhi pengikut paham komunis. Mereka
yang lolos tiarap, seraya mencari hidup dengan menyamar.
Padahal tujuh belas hari sebelum aksi
Madiun, PKI masih kelihatan utuh. Politbiro CC PKI baru terbentuk.
Sekretariat umum dijabat Musso, Maroeto Daroesman, Tan Ling Djie, dan
Ngadiman. Departemen Buruh dikendalikan Harjono, Setiadjid, Djoko
Sudjono, Abdul Madjib, dan Achmad Sumadi. Urusan tani dipegang A.
Tjokronegoro, D.N. Aidit, dan Sutrisno. Kepemudaan diurusi Wikana dan
Soeripno. Amir Sjarifoeddin memimpin Departemen Pertahanan. Agitasi dan
Propaganda diurus Alimin, Lukman, dan Sardjono. Departemen Organisasi
dipegang Sudisman. Departemen Luar Negeri dikendalikan Soeripno.
Perwakilan sekretariat dijabat Njoto dan bendahara diserahkan kepada
Ruskak. Djalan Baru yang ditulis Musso di Yogyakarta pada Agustus 1948
menjadi pedoman partai. Tapi semua berantakan begitu cepat setelah
Peristiwa Madiun. Alimin, Tan Ling Djie, Wikana, Sudisman, Aidit,
Njoto, dan Lukman hanya sebagian kecil dari pentolan partai yang
selamat.
PKI mendapat “napas baru” pada
pertengahan 1949. Debat panjang dalam sidang Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP) akhirnya memutuskan memberikan hak hidup kepada PKI.
Partai palu-arit itu diminta turut mempertahankan Republik yang hendak
diacak-acak Belanda lagi. Argumen yang berkembang di KNIP: di
negara-negara Barat partai komunis dibiarkan hidup, maka di Indonesia
juga tak boleh dibinasakan. “Spiritnya berjuang bersama-sama,” kata
Rosihan Anwar, wartawan koran Siasat, yang meliput sidang-sidang KNIP.
Surat keputusan pemberian maaf kepada PKI
ditandatangani Menteri Kehakiman Soesanto Tirtoprodjo, 7 September
1949. Isinya: pemerintah tidak akan menuntut PKI, tapi mereka tak boleh
terlibat tindakan kriminal. Secarik kertas itu menjadi “tiket” bagi
para kamerad partai komunis untuk keluar dari gua-gua persembunyian.
PKI pun menobatkan Alimin sebagai
pemimpin sementara. Pemimpin baru ini punya konsep perjuangan yang
berbeda dengan Musso. Alimin berpikiran PKI hanya perlu hidup sebagai
partai kecil tapi dengan anggota yang militan dan menyebar ke semua
organisasi massa. Kemudian semua anggota dan organisasi massa itu
diikat dalam sebuah front untuk meneruskan revolusi. Konsep Alimin ini
bertolak belakang dengan Djalan Baru Musso yang radikal dan terbuka.
Kaum muda, seperti Aidit, Lukman, dan Njoto, cenderung mengikuti
“kawan” Musso.
Pengikut garis Musso ini kemudian
mendirikan open office di Jakarta bersama Sudisman. Sisa Politbiro CC
PKI lama, seperti Wikana dan Tan Ling Djie, tak dilibatkan. Hanya
Alimin yang dijadikan formatur. Soemarsono juga ditinggalkan karena
dinilai terlalu yakin pada perjuangan bersenjata. “Tak ada yang berani
melawan Aidit. Semua yes man saja. Saya lebih senior tapi sulit
berdebat dengan Aidit. Saya lebih suka mengalah,” ujar Soemarsono
mengenang suasana ketika itu.
Kongres PKI pada 1951 menunjuk
Aidit-Lukman-Njoto menjadi ketua satu, dua, dan tiga Politbiro CC PKI.
Kaum tua diberi jabatan tak penting. Belakangan, Alimin mundur dan
digantikan Sakirman. Sejak kongres inilah perjuangan lewat parlemen dan
akselerasi merebut hati rakyat digulirkan PKI.
Ketika Presiden Sukarno melantik anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Republik Indonesia Serikat, 15
Februari 1950, PKI mendapatkan jatah kursi. Saat itu PKI membuka dialog
dengan unsur agama dan nasionalis, seperti Partai Sarekat Islam
Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Nasional Indonesia, Partai
Sosialis Indonesia, dan Partai Murba.
Pada 15 Agustus 1950, Negara Kesatuan
Republik Indonesia terbentuk. Eksistensi PKI semakin kuat, kedudukannya
di parlemen kian kukuh. Larissa M. Efimova, dalam bukunya, Dari Moskow
ke Madiun, mencatat pada waktu itu Uni Soviet tidak mengirim ucapan
selamat atas terbentuknya NKRI. Pertukaran nota dan telegram soal
hubungan Soviet-Indonesia juga tak ada. Tapi PKI tak ambil pusing.
Sikap kritis kepada pemerintah terus
dikembangkan. Dalam sidang parlemen pada Oktober 1951, PKI menolak
Konferensi Meja Bundar. PKI ikut serta mendukung mosi Hadikusumo yang
mengkritik lemahnya pemerintah. Gara-gara mosi itu, Perdana Menteri
Natsir akhirnya mundur. Penandatanganan mutual security act pemerintah
Indonesia-Amerika juga tak luput dari serangan PKI. Partai palu-arit
beranggapan pakta itu akan menjadi legitimasi untuk menguras sumber
daya alam Indonesia.
Dalam kongres pada 1954 di Malang-ketika,
konon, disediakan kursi kosong untuk Stalin, pemimpin komunis
Soviet-PKI mengamanatkan partai untuk menguasai desa, kota, dan
tentara. Petani dan buruh diperintahkan menjadi perwakilan untuk
meluaskan pengaruh di desa dan kota. Semua organisasi onderbouw PKI
didorong menjadi alat propaganda partai.
Hasilnya tak sia-sia. PKI menjadi
pemenang keempat Pemilihan Umum 1955 dengan meraup 16,4 persen-di bawah
PNI yang meraih 22,3 persen, Masyumi dengan 20,9 persen, dan Nahdlatul
Ulama yang merebut 18,4 persen. Resep keberhasilan PKI, menurut Harry
Albert Poeze, Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi
Karibia dan Asia Tenggara, adalah kepemimpinan Aidit-Lukman-Njoto yang
berhasil memulihkan kepercayaan rakyat dari trauma terhadap PKI.
Dalam bukunya, Verguisd en Vergeten, Tan
Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949,
Poeze melukiskan peran trio itu sebagai pembersih noda Peristiwa
Madiun. “Pembersihan” itu, misalnya, dilakukan lewat koran Bintang
Merah yang menulis peringatan dua tahun peristiwa Madiun. “Media yang
diasuh trio Aidit-Lukman-Njoto itu menyebut Musso tidak memberontak
atau bercita-cita mendirikan negara Soviet,” kata Poeze. Tahun
berikutnya, Bintang Merah memuat artikel “Tiga Tahun Provokasi Madiun”,
yang ditulis Mirajadi-nama samaran Sudisman. Departemen Agitasi
Propaganda PKI tak ketinggalan dalam proyek ini dengan menerbitkan buku
putih Peristiwa Madiun pada 1953. Kata pengantarnya ditulis Aidit.
Dalam resolusinya, Aidit menuding Sukarno-Hatta-Natsir provokatif dan
kejam menyikapi Peristiwa Madiun. Gara-gara resolusi itu, Aidit
diajukan ke meja hijau 14 Oktober 1954, dengan tuduhan menghina Wakil
Presiden Hatta.
Di persidangan Aidit membuat gempar
dengan menyebut Musso komunis patriotis. Ruang sidang geger. Hakim
sampai memukul-mukulkan palu untuk minta pengunjung kembali tenang.
Dukungan untuk membebaskan Aidit mengalir deras. “Empat ribu surat dan
telegram yang diorganisir PKI dikirim ke pengadilan,” ujar Poeze. Tapi
hakim tetap memvonis Aidit tiga bulan penjara bersyarat dengan enam
bulan masa percobaan.
Menjelang Pemilu 1955, pidato pembelaan
Aidit diterbitkan kembali, tapi dirampas penegak hukum. Pemerintah
melarang peringatan Peristiwa Madiun. Dalam naskah pidatonya di sidang
DPR pada 11 Februari 1957, Aidit kembali membela Musso. Alhasil, “PKI
tak kenal lelah untuk membantah tuduhan coup d’etat Madiun,” kata Harry
Poeze. “Tapi saya percaya rencana itu ada.”
Djalan Baru Musso kandas di Madiun. Dan
kita tak pernah menyaksikan apa yang ditulis sebagai kalimat terakhir
Djalan Baru menjadi kenyataan: “Kaum Bolsjewik Indonesia akan dapat
merebut benteng yang terancam bahaya, yaitu benteng Indonesia Merdeka”.
Toh, konsep itu-seperti juga “induk”-nya, yakni komunisme-niscaya tak
pernah mati.
Jalan Berliku Tuan Mussotte
Bonnie Triyana
Sejarawan dan Pemimpin Redaksi Majalah Historia Online
Sejarawan dan Pemimpin Redaksi Majalah Historia Online
MATU Mona menggambarkan Paul Mussotte,
nama bagi karakter Musso dalam roman Patjar Merah Indonesia, sebagai
orang terkenal, pemberani, dan jago berpidato. Menurut Soemarsono,
tokoh pemuda Angkatan ’45, Musso dikenalnya sebagai tokoh yang teguh
memegang prinsip betapapun nyawa taruhannya. Indonesianis Ruth McVey
menempatkan Musso, selain Alimin, sebagai tokoh penting di balik
kebangkitan PKI pada 1920-an. Soe Hok Gie dalam Orang-orang di
Persimpangan Kiri Jalan (2005) menyamakan Musso dengan Haji Misbach,
yang “senang amuk-amukan” dan sedikit nekat.
Nama Musso diliputi kisah kelam
pemberontakan yang tiada berkesudahan. Dia, bersama sepuluh pemimpin
PKI lainnya, menggagas perlawanan rakyat terhadap otoritas kolonial
pada 1926. Kemudian, pada 1948, ia dipersangkakan sebagai orang yang
hendak mendirikan Republik Soviet-Indonesia di Madiun dan mengkudeta
pemerintahan Sukarno-Hatta. Apakah Musso tak punya kisah lain dalam
sejarah Indonesia?
Sebagaimana aktivis politik di zaman itu,
Musso membagi kesetiaannya kepada Insulinde, Sarekat Islam, dan
Indische Sociaal-Democratische Vereeniging. Bersama Alimin, Musso
ditangkap oleh pemerintah kolonial atas tuduhan terlibat insiden
Afdeling-B pada 1919. Insiden itu dipicu oleh resistensi Haji Hasan
dari Cimareme, Garut, yang menolak membayar pajak padi kepada
pemerintah.
Sarekat Islam mengalami radikalisasi
sebagai konsekuensi masuknya unsur-unsur kiri ke organisasi itu dan
mendadak jadi incaran pemerintah. Sederet tokoh Sarekat Islam, yang
sudah terpecah dua, SI Merah dan SI Putih, ditangkapi pemerintah
kolonial. Musso pun ditekan untuk mengakui peran H.O.S. Tjokroaminoto
dalam insiden Afdeling-B. Namun, berbeda dengan Alimin yang mengakui
bahwa dia berbohong demi menyelamatkan Tjokroaminoto, Musso berkeras
menyatakan di depan pengadilan bahwa pemimpin karismatis rakyat Jawa
itu sama sekali tak terlibat, kendati pada akhirnya Tjokroaminoto tetap
ditangkap.
Sikap Musso terhadap Belanda di kemudian
hari terpengaruh oleh perlakuan yang kurang menyenangkan yang
didapatnya dalam penjara kolonial. Pengalaman traumatis itu menumbuhkan
kesumat di dalam hatinya kepada Belanda. Pada 1923, dia dan Alimin
dibebaskan dari penjara. Mereka lantas memegang kendali partai dan
mulai memainkan peran penting dalam memperbesar jaringan partai dan
pengaruhnya terhadap rakyat. Alimin aktif mengorganisasi pelaut dan
buruh pelabuhan di Tanjung Priok, sementara Musso mereorganisasi PKI
Batavia (Michael C. Williams, 2003). Peran Musso sangat strategis,
terlebih apabila melihat kenyataan bahwa daerah garapannya berada di
wilayah yang bukan basis komunis.
Di beberapa daerah, PKI mendapat
resistensi karena dianggap kontradiktif dengan ajaran Islam, tak
terkecuali di Banten, yang terkenal dengan ortodoksinya. Namun, di
bawah kendali Alimin-Musso, daerah yang dikenal puritan itu justru
menjadi sentra pendukung partai yang dominan. Bahkan PKI Banten
mengubah pandangannya terhadap Islam yang semula netral menjadi
hiper-religius. Hal tersebut ditunjukkan dengan tindakan tegas terhadap
Puradisastra, ketua PKI setempat yang menunjukkan sikap kurang
simpatik dengan meminum secangkir kopi sebelum azan magrib tiba saat
bulan puasa.
Dalam jangka waktu setahun setelah
pembebasannya, duet Musso-Alimin berhasil meluaskan jangkauan pengaruh
PKI di Jawa Barat. Pertemuan demi pertemuan diselenggarakan secara
rahasia demi menghindari tindakan otoritas kolonial yang semakin
represif. Setelah kongres istimewa di Kotagede, Yogyakarta, pada 1924,
partai telah mantap memilih aksi bersenjata dalam rangka revolusi.
Kongres juga sepakat membangun organisasi ilegal dan keputusan itu
disetujui dalam rapat pimpinan PKI pada Maret 1925. Salah satu
pertemuan terpenting adalah Konferensi Prambanan 25 Desember 1925 yang
menghasilkan keputusan berontak melawan Belanda. Musso hadir dalam
pertemuan itu.
Sejarah mencatat pemberontakan
berlangsung pada November 1926 di Banten dan Januari 1927 di
Silungkang, Sumatera Barat. Musso tak berada di Indonesia saat kejadian
itu meletus. Ia telah pergi ke Singapura dan lantas ke Moskow guna
mencari dukungan Soviet. Tapi api revolusi yang berkobar padam sebelum
waktunya. Dugaan Tan Malaka benar, kondisi obyektif sebagai prasyarat
sebuah revolusi belum terlalu matang untuk dipetik. Otoritas kolonial
pun menghabisi PKI sekali pukul. Namun dari sini bisa dilihat bagaimana
kerja Musso cum suis membesarkan partai: ratusan ribu orang
menyerahkan kartu anggotanya saat pemerintah Belanda meminta mereka
menyerahkan diri.
Musso baru datang kembali ke Indonesia
pada 1935 dan langsung menuju Surabaya. Di sana ia memulai upaya
menyatukan serpihan kekuatan PKI yang tercerai-berai dengan mendirikan
CC PKI dan menunjuk sendiri orang-orang yang menjalankan partai secara
ilegal, yakni Pamudji, Azis, Sukajat, dan Djoko Soedjono. Kelompok ini
kemudian dikenal sebagai PKI 1935, merujuk ke tahun kedatangan Musso.
Tokoh muda Amir Sjarifoeddin, yang kelak memegang peran penting di
Republik yang masih belia, termasuk kader binaan Musso. Ketatnya
pengawasan dinas rahasia pemerintah kolonial dan “karena faktor
kecerobohan… konsolidasi PKI itu terbongkar oleh Belanda,” tulis Sok
Hok Gie (2005: 25).
Pekerjaan Musso menyatukan gerakan PKI
bawah tanah ini harus dinilai sebagai suatu jasa yang cukup besar dalam
sejarah perlawanan rakyat Indonesia terhadap fasisme Jepang. Seperti
diketahui, selang tujuh tahun setelah kedatangannya, Jepang menduduki
Indonesia. Kelompok yang paling aktif dalam menentang fasisme itu
adalah PKI ilegal bentukan Musso. Sejumlah sabotase dan perlawanan
seperti yang terjadi di Singaparna dan Indramayu erat kaitannya dengan
kelompok ini. Beberapa orang dari mereka tertangkap, bahkan dieksekusi
oleh Jepang. Sebagian, seperti Widarta cs, meneruskan perlawanan di
bawah tanah terhadap Jepang.
Musso baru datang lagi ke Indonesia pada
11 Agustus 1948 dengan menyamar sebagai sekretaris Soeripno, utusan
pemuda dalam International Union of Student di Praha yang berhasil
menjalin hubungan diplomatik dengan Uni Soviet. Kepulangannya ke
Indonesia kembali membawa misi menyatukan gerakan kiri yang terserak
karena konflik internal dan tindakan represi Jepang. Menurut Gie,
kedatangan Musso disambut dengan tangan terbuka bagaikan “juru selamat”
di tengah suasana frustrasi dan kebingungan PKI yang membutuhkan
pemimpin baru.
Partai Komunis Indonesia memang masih
tetap dalam identitasnya yang samar. Partai ini masih ilegal dan tak
sempat menghadirkan diri sebagai partai legal segera setelah Indonesia
merdeka. Padahal, melalui Maklumat Wakil Presiden Nomor X/1945,
berbagai kelompok politik di Indonesia diperbolehkan mendirikan partai
politik. Aktivis PKI yang masih terus di bawah itu terlalu sibuk dengan
saling klaim siapa yang paling sah. Alih-alih bersatu di bawah panji
palu-arit, mereka saling cakar. Widarta merasa dirinya paling sah,
demikian pula Sardjono, Mr Yusuf, dan Amir Sjarifoeddin.
Keadaan itu mendapat reaksi keras dari
Musso. Ia mengatakan bahwa tidak dimengertinya keadaan politik setelah
proklamasi Indonesia membuat PKI tetap dalam jubah penyamarannya di
bawah tanah. Padahal, menurut Musso, itulah saat yang tepat bagi PKI
untuk memunculkan diri ke hadapan rakyat dalam wajah yang legal. Musso
menganjurkan PKI kembali sebagai partai pelopor kelas buruh; PKI
kembali ke tradisi sebelum dan selama Perang Dunia II dan meraih
hegemoni sebagai pemimpin revolusi nasional Indonesia.
Setiba di Yogyakarta, Musso melontarkan
gagasan supaya partai-partai politik yang berbeda menyatukan diri dalam
Front Nasional untuk menghadapi Belanda. Ia mengadakan koreksi total
terhadap gerakan PKI dan koreksinya itu dikenal sebagai Djalan Baru
untuk Republik Indonesia. Musso agaknya mafhum bahwa persatuan mutlak
dibutuhkan agar revolusi Indonesia tidak salah jalan. Dia mengutip
Friedrich Engels bahwa revolusi akan gagal jika tidak diadakan
perubahan yang radikal, sementara revolusi Indonesia tidak melakukan
itu. Kesalahan kedua menurut Musso terjadi karena pemimpin revolusi
tidak berasal dari golongan buruh sebagai kelompok yang paling
revolusioner (Gie, 2005: 226).
Tapi, menurut Soeryana dalam catatannya
tentang kedatangan Musso, upaya Musso menyatukan kekuatan kiri tak
berlangsung mulus karena ulah Musso sendiri yang membawa isu
Trotskyisme ke dalam negeri. Kesalahan itu menyebabkan Musso kehilangan
kesempatan untuk merekrut kader-kader terbaik dari Partai Murba dan
Angkatan Komunis Muda (Akoma). Perseteruan dengan golongan Tan Malaka
yang sering distigmatisasi sebagai Trotskyis itu sudah bermula pada
1926. Padahal ada beberapa kesamaan cara pandang yang mereka miliki
dalam soal menghadapi Belanda: mereka berdua tak setuju jalan
perundingan dan memilih merebut perjuangan dengan cara bersenjata;
mereka berdua sama-sama khawatir bahwa Republik yang masih muda akan
jatuh ke pangkuan penjajahan dalam bentuknya yang baru.
Konflik itulah yang agaknya dimanfaatkan
secara baik oleh pemerintah Hatta untuk bisa mengontrol gerakan Musso.
Kelompok Tan Malaka yang dipenjara karena insiden 3 Juli 1946 pun
dilepaskan untuk mengimbangi aksi Musso. Pergesekan itu semakin panas
dan berujung pada Peristiwa Madiun, September 1948. Sukarno pun
menyampaikan pidato “Pilih Musso atau Sukarno-Hatta?”. Musso jadi
buruan. Pada 31 Oktober 1948, dia tewas dalam sebuah baku tembak dengan
TNI di daerah Ponorogo.
Setelah itu, nama Musso tenggelam dalam
tuduhan sebagai pemberontak nista yang meletupkan perlawanan terhadap
pemerintah Indonesia pada 1948. Sejarah hanya merekam kisah hitam
hidupnya tanpa pernah melihat sisi lain dari perannya sebagai aktivis
politik yang menentang fasisme, imperialisme, dan kolonialisme. Sama
seperti tokoh lain yang terselip hitam di antara putihnya, Musso punya
jasa untuk bangsa ini.
(http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/11/08/LK/)
TIM LIPUTAN KHUSUS MUSSO
Penanggungjawab: Budi Setyarso Kepala Proyek: Wahyu Dhyatmik Penyunting: Toriq Hadad, Wahyu Muryadi, Arif Zulkifli, Budi Setyarso, Muhammad Taufiqurohman, Idrus F. Shahab, Purwanto Setiadi, L.R. Baskoro, Amarzan Loebis, Bina Bektiati, Nugroho Dewanto, Seno Joko Suyono, Wahyu Dhyatmika, Setri Yasra Penulis: Wahyu Dhyatmika, Setri Yasra, Sunudyantoro, Dwidjo U. Maksum, Oktamandjaya Wiguna, Purwani Diyah Prabandari, Widiarsih Agustina, Yandhrie Arvian, Yandi M. Rofiyandi, Ramidi, Sapto Pradityo, Budi Riza, Ignatius Yophiandi Kurniawan, Muchamad Nafi, Anton Aprianto, Yuliawati, Erwin Dariyanto, Stefanus Teguh Edi Pramono, Cheta Nilawaty, Nieke Indrieta Penyumbang Bahan: Philipus Parera, Bernarda Rurit (Yogjakarta), Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Hari Tri Wasono (Kediri), Ishomuddin (Madiun, Magetan, Ponorogo), Ahmad Rafiq (Solo), Ging Ginanjar (Belgia, Belanda) Bahasa: Uu Suhardi, Dewi Kartika Teguh W., Sapto Nugroho Foto: Bismo Agung, Hari Tri Wasono, Ishomuddin. Desain: Eko Punto Pambudi, Ehwan Kurniawan, Kendra Paramita, Aji Yuliarto, Hendy Prakasa, Kiagus Aulianshah, Agus Darmawan S.
Terima kasih Anda telah membaca Musso, anak Kediri yang ... (2). Mungkin Anda tertarik ingin membaca artikel ©Kejahatan dan Kemuliaan yang lainya?
Penanggungjawab: Budi Setyarso Kepala Proyek: Wahyu Dhyatmik Penyunting: Toriq Hadad, Wahyu Muryadi, Arif Zulkifli, Budi Setyarso, Muhammad Taufiqurohman, Idrus F. Shahab, Purwanto Setiadi, L.R. Baskoro, Amarzan Loebis, Bina Bektiati, Nugroho Dewanto, Seno Joko Suyono, Wahyu Dhyatmika, Setri Yasra Penulis: Wahyu Dhyatmika, Setri Yasra, Sunudyantoro, Dwidjo U. Maksum, Oktamandjaya Wiguna, Purwani Diyah Prabandari, Widiarsih Agustina, Yandhrie Arvian, Yandi M. Rofiyandi, Ramidi, Sapto Pradityo, Budi Riza, Ignatius Yophiandi Kurniawan, Muchamad Nafi, Anton Aprianto, Yuliawati, Erwin Dariyanto, Stefanus Teguh Edi Pramono, Cheta Nilawaty, Nieke Indrieta Penyumbang Bahan: Philipus Parera, Bernarda Rurit (Yogjakarta), Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Hari Tri Wasono (Kediri), Ishomuddin (Madiun, Magetan, Ponorogo), Ahmad Rafiq (Solo), Ging Ginanjar (Belgia, Belanda) Bahasa: Uu Suhardi, Dewi Kartika Teguh W., Sapto Nugroho Foto: Bismo Agung, Hari Tri Wasono, Ishomuddin. Desain: Eko Punto Pambudi, Ehwan Kurniawan, Kendra Paramita, Aji Yuliarto, Hendy Prakasa, Kiagus Aulianshah, Agus Darmawan S.