SEMUA BERAWAL DARI... (kata itu diberi nama CINTA)

DIsarankan ...

aaaku. Powered by Blogger.

PROLOG

Tri Sulistyo Sebelumnya aku sampekan maap se-gede2-nya, kalo mungkin aja tulisan ato postingan banyak dari copas punya senior2 dan aku lupa ambilnya. Hingga gak aku cantumin sumbernya. Cuman satu yang aku yakinin bila bila senior semua ikhlas...

Kisah LELAKI AHLI SURGA

Ketika sedang bersama beberapa sahabat, tiba-tiba Nabi SAW berkata, "Sebentar lagi akan lewat di depan kalian, seorang lelaki Ahli Surga"
     Tak lama kemudian lewat seorang lelaki Anshar yang jenggotnya masih basah oleh air wudlu sambil menenteng sandalnya. Esok harinya Rasullullah SAW mengatakan hal yang sama dan kemudian lewatlah lelaki tersebut.
    Begitupun pada hari ketiganya, kejadian yang sama berulang, Nabi menyabdakan, dan lelaki itu yang lewat.
     Setelah Nabi SAW beranjak pergi, Abdullah bin Umar RA mengikuti lelaki tsb. dan bersiasat untuk bisa mengetahui amalannya sehingga Nabi SAW menyebutnya Ahli Surga hingga tiga hari berturut-turut. Abdullah bin Umar  bertamu pada lelaki tsb dan berkata, "Aku telah membuat ayahku marah, dan aku bersumpah untuk tidak menemuinya selama tiga hari. Jika engkau membolehkan, aku ingin tinggal bersamamu dalam tiga hari ini kemanapun engkau pergi, aku akan mengikutimu."
     Lelaki Anshar tersebut tidak keberatan dengan permintaannya, maka tinggallah Ibnu Umar di rumah lelaki tsb. selama tiga hari. Anehnya ia tidak melihat lelaki itu melakukan shalat malam, kecuali jika ia berpindah dari suatu tempat atau dari tempat tidurnya, ia selalu menyebut asma Allah, hingga bangun menjelang waktu shalat subuh. Memang tidak ada yang keluar dari mulutnya kecuali ucapan yang baik.
     Sampai berakhirnya tiga hari, Abdullah bin Umar tidak melihat sesuatu yang istimewa yang diamalkannya, bahkan hampir saja ia meremehkannya. Kemudian Ibnu Umar berkata kepadanya, "Wahai Hamba Allah, sesungguhnya aku tidak punya masalah dengan ayahku, Umar, dan tidak pula ia mengusirku. Tetapi aku mendengar Rasullullah SAW bersabda dalam tiga hari 'Akan lewat di depan kalian seorang ahli surga' dan engkau yang muncul dalam tiga hari itu. Karenanya aku ingin melihat amalan apa yang engkau lakukan sehingga engkau mencapai derajat yang disabdakan Nabi SAW tsb. Hanya saja dalam tiga hari ini aku belum melihat amalanmu tersebut."
     Lelaki Anshar itu berkata, "Tidak ada yang istimewa, hanya saja aku tidak pernah memendam perasaan jelek pada saudara sesama Islam, dan tidak juga aku mendengki atas kurnia Allah yang diberikan kepadanya."
     "Rupanya, itulah kebaikan yang mengantarkanmu menjadi ahli surga." Kata Abdullah bin Umar.

MUSSO (Pemimpin Pemberontakan PKI Madiun)

“Madiun sudah bangkit
Revolusi sudah dikobarkan
Kaum buruh sudah melucuti polisi dan tentara Republik
Pemerintahan buruh dan tani yang baru sudah dibentuk”

Pemberontak. Inilah kesan yang pertama kali ditangkap oleh sebagian besar bangsa Indonesia terhadap Musso. Label ini melekat setelah ia dituduh sebagai pemimpin pemberontakan PKI di Madiun pada September 1948.
Namanya pun tenggelam di tengah arus sejarah Indonesia kontemporer. Perjuangannya selama pendudukan Belanda seolah-olah sia-sia akibat label pemberontak itu. Apalagi ditambah dengan komunisto-phobi yang masih melekat kuat pada bangsa Indonesia. Label PKI lah yang sesungguhnya mengubur semua sejarahnya di Indonesia.
Musso merupakan tokoh pergerakan legendaris yang sezaman dengan Tan Malaka. Keduanya sama-sama tokoh PKI, tapi berbeda pandangan dalam melihat peristiwa 1926. Tan Malaka menolak pemberontakan tersebut karena basis ide dan massa sebagai prasyarat memberontak belum terpenuhi. Namun, Musso berpendapat beda sehingga mereka pecah kongsi. Meski demikian, pergerakan mereka tak berhenti. Keduanya bergerak dengan cara beda, tapi nafas sama, komunisme.
Sejarah mencatat, Musso merupakan salah satu guru politik Sukarno ketika indekos di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya. Sukarno pun mengaku banyak belajar darinya, terutama soal marxisme. Musso tetaplah gurunya meskipun perbedaan politik nan tajam pernah terjadi di antara keduanya. Sukarno pun tak pernah mengelak soal keberadaanya. Ia tetap menaruh hormat kepada Musso seperti yang ditulis Cindy Adams dalam “Sukarno: Penyambung Lidah Rakyat”. “Ajaran Jawa mengatakan, seseorang yang menjadi guru kita harus dihormati lebih dari orang tua.”
Musso tetaplah Musso. Sejarah kelam yang ditulis rezim Suharto tentang orang-orang kiri membuat namanya hilang dalam ingatan sejarah. Hanya ditulis sebagai “pemberontak”, perongrong Pancasila dan UUD 1945. Sama halnya dengan Tan Malaka yang juga bernasib sama. Namanya pun dihapus dari sejarah pergerakan kemerdekaan dan diganti dengan doktrin-doktrin penuh kebohongan oleh rezim Suharto. Sejarah orang-orang kiri pun dihapus sedemikian rupa, seolah-olah mereka hanyalah pengotor saja.
Majalah Tempo edisi Senin, 8 November 2010 mengupas tuntas soal sang legenda ini, Musso. Dengan apik, Tempo membahas banyak hal soal diri mantan anggota Komintern asal Indonesia ini. mulai sejak masa kecil, pergerakan kemerdekaan, hingga anak-cucunya sekarang.
SI MERAH DI SIMPANG REPUBLIK
Banyak orang mengenalnya sebagai tokoh Partai Komunis Indonesia dalam pemberontakan 1926 dan 1948. Yang pertama aksi PKI menentang pemerintah kolonial Belanda. Yang terakhir gerakan PKI di Madiun, Jawa Timur, melawan pemerintah pusat.
Dialah Musso, anak Kediri yang ketika kecil dikenal rajin mengaji. Mendapat pendidikan politik ketika indekos di rumah H.O.S. Tjokroaminoto, di masa-masa awal kemerdekaan sepak terjangnya tak bisa diremehkan. Peran politik Musso bisa disejajarkan dengan peran Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka.
Dia belajar politik di Moskow, Rusia, dan mengamati dari dekat strategi gerakan komunis Eropa. Ia bermimpi tentang negeri yang adil, setara, dan merdeka seratus persen. Ia memilih jalan radikal, bersimpang jalan dengan kalangan nonkomunis, bahkan juga kalangan kiri yang tak segaris. Tapi radikalisme itu tak membuatnya bertahan. Ia lumat dalam gerakan yang masih berupa benih. Akhir Oktober, 62 tahun lampau, Musso tersungkur.

Babad MADIUN (bagian 1)

SEJARAH MADIUN DAN SEKITARNYA
Sejak jaman prasejarah, Madiun dan sekitarnya telah di diami kelompok-kelompok masyarakat yang telah mempunyai peradaban yang tinggi, karena Madiun dan sekitarnya merupakan suatu wilayah yang subur, banyak sungai besar dan kecil mengalir di wilayah Madiun, diantaranya : sungai Madiun, Bengawan Solo, kali catur, kali nggandong, dan masih banyak lagi sungai-sungai yang penyebutannya tiap desa berbeda.
Banyak fosil dan artefak prasejarah ditemukan di sekitar Madiun, misal di gua-gua daerah perbukitan pantai selatan Pacitan, diantaranya penemuan di Gua Tabuhan dan Dusun Ngrijang, Donorojo. Bahkan para ahli sejarah menyebut Pacitan sebagai Ibukota Prasejarah. Penemuan fosil di Sampung, Ponorogo, penemuan fosil di Sungai Nggandong dan penemuan yang sangat penting, yatu fosil Phitecantropus Erectus di Trinil Ngawi oleh Eugene Dubois (1891). Baru-baru ini ditemukan juga fosil binatang Purba di Kedungbrubus (2011), Penemuan fosil Manusia Purba di Alas Ketonggo Ngawi (2011) selain itu juga banyak penemuan benda peninggalan sejarah yang berasal dari peradaban zaman Mataram kuno sampai Mataram Islam.

Penemuan-penemuan itu diantaranya :
1.    Prasasti Sendang Kamal Maospati (yang 2 di museum Batavia)
2.    Prasasti Mruwak , ditemukan oleh Mahasiswa IKIP PGRI Madiun waktu Kuliah Kerja Lokal, 1975 dibawah bimbingan Drs. Koesdim Heroekoentjoro dan Drs. Arief Soekowinoto
3.    Prasasti Bibrik dan Prasasti Klagen Serut, kedua prasasti disebut kembar karena berasal dari pemerintahan yang sama, yaitu Majapahit. Berisi tentang penegasan atas kekuasaannya diwilayah tersebut.

Benda purbakala yang ditemukan sebelum Kemerdekaan, yaitu :
1.    Batu lumbung banyak ditemukan di wilayah Uteran
2.    Dua buah Genta Kuningan, bak air perunggu, kapak besi, sebuah lumbung dan yoni ditemukan di Kelurahan Nambangan Kidul
3.    Arca Trimurti ditemukan di Kelurahan Oro-oro ombo
4.    Periuk Perunggu ditemukan di Caruban (tersimpan di Museum Batavia)
5.    Arca Durga berangka tahun 1338 saka dan sebuah lumbung berangka 249 di temukan di Uteran (lumbung disimpan di Museum Batavia)
6.    Bekas-bekas istana ditemukan di Desa Gelang, Daha (sekarang sudah lenyap)
7.    Cincin emas ditemukan di Desa Sareng dan Glonggong (disimpan di Museum Leiden)
8.    Sumur Bundar dengan batu bata Zaman Majapahit dan sebuah yoni serta tempat air dari batu berangka tahun 1320 saka ditemukan di Desa Warujayeng
9.    Lumbung dan kuburan yang terbuat dari batu bata Majapahit, disini juga ditemukan benda-benda dari kuningan, emas dan besi di Desa Nglambangan
10.  Arca Ganesha ditemuka di Desa Tawang rejo
11.  Arca pria Polynesia, sebuah arca wanita, du arca Ganesa, sesosok raksasa dan suatu karya menggambarkan seorang pria dan wanita serta arca laki-laki dengan tempat air dari batu ditemukan di Desa Dungus
12.  Arca Dwarapala, sebuah yoni dan dua arca Ganesa ditemukan di Dusun Watu Lesung, Kedondong
13.  Arca Siwa Trimurti dan dua arca Ganesha ditemukan di Dusun Botan, Krandegan
14.  Watu Gilang ditemukan di Kelurahan kuncen
15.  Dua buah arca dari logam ditemukan di Desa Munggut
16.  Beberapa benda dari emas, diantaranya anting ditemukan di Desa Gemarang (disimpan di Museum Batavia)
17.  Dua buah gelang logam, bukan berasal dari zaman hindu, ditemukan di Desa Kresek (disimpan di museum Batavia)

Benda purbakala yang ditemukan sesudah Kemerdekaan yaitu :
1.    Perabot Upacara, dalam sebuah belanga perunggu, terdapat benda-benda berjumlah 13 buah terdiri dari pinggan keramik, talam sirkel besar kecil dari perunggu, sebuah blencong perunggu, Pinggan gondok perunggu, sepasang kaki sandaran perunggu ditemukan di wilayah Dagangan (disimpan di Museum Mpu Tantular Surabaya)
2.    Dua buah batu yoni ditemukan di Desa Nglandung dan dua buah lagi di Desa Mawatsari
3.    Arca Dewi Sri ditemukan di Desa Klagen Serut
4.    Batu Umpak di Kelurahan Sogaten

Penemuan akhir-akhir ini :
1.    Dua buah Arca ditemukan di Desa Sumberejo, Saradan
2.    Relief batu ditemukan di Desa Nglembah, Dolopo
3.    Situs kolam ditemukan di Desa Karangpatihan Mbalong Ponorogo

Babad MADIUN (bagian 2)

JEJAK KERAJAAN MEDANG KAHURIPAN DI MADIUN 
Pada abad ke-8 M wilayah Madiun berada di bawah pemerintahan Mataram Kuno dengan penguasa Dinasti Sanjaya yang berpusat di sekitar Yogyakarta sekarang, karena konflik politik yang berkepanjangan maka pusat pemerintahan kerajaan Mataram Kuno berpindah beberapa kali dan sampai akhirnya pusat pemerintahan Mataram pada abad ke-10 pindah ke Jawa Timur yang kemudian disebut sebagai Kerajaan Medang.
Kerajaan Medang di perintah oleh Dinasti Isyana sebagai penerus Dinasti Sanjaya dan Syailendra. Raja Medang terakhir adalah Sri Maharaja Teguh Darmawangsa Anantawikrama Tunggadewa. Wilayah kerajaan Medang bagian barat berbatasan langsung dengan Kerajaan Wurawuri/Worawari yang pusat kerajaannya di Lwaram yaitu kemungkinan di daerah Cepu Jawa Tengah (Mungkin sekarang Desa Ngloram, Cepu, Kab. Blora).

Hubungan Medang dan Wurawari memanas sejak Kerajaan Wurawari berhubungan erat dengan Kerajaan Sriwijaya untuk merebut selat Malaka sebagai jalur perdagangan.  Perseteruan memuncak ketika Prabu Darmawangsa mengirim pasukan untuk menduduki Malaka tahun 990-992 M. Dalam perseteruan tersebut. Madiun punya arti penting, sungai Madiun dijadikan sebagai lalu-lintas perdagangan dan militer. Winangga (Kelurahan Winongo) dijadikan sebagai pelabuhan biduk.

Dalam bidang pertanian Prabu Darmawangsa menuliskan Undang-Undang tentang Tata air pertanian pada salah satu batu di Prasasti Sendang Kamal dengan Bahasa Kawi yang berisi kutipan Kitab Shiwasana yaitu Kitab UU Hukum yang mengatur kehidupan bernegara dan masyarakat menurut ajaran Hindhu Syiwaise yaitu kita harus taat Tri Darma bhakti : Kita wajib berbakti pada Siwa, Negara dan masyarakat termasuk keluarga. Pusat pemerintahan Prabu Darmawangsa berada di Wwatan, kemungkinan Wwatan berada di wilayah Maospati Madiun atau daerah Ponorogo (desa Wotan), belum ada bukti kepastian keberadaan dari Kerajaan ini.

Pada saat pesta pernikahan putri Prabu Darmawangsa dengan Airlangga, tiba-tiba Kota Wwatan diserang oleh pasukan Wurawari. Peristiwa ini tercatat dalam Prasasti Pucangan. Prabu Darmawangsa Teguh tewas dan Airlangga berhasil melarikan diri ke Wonogiri ditemani Mpu Narotama, setelah tiga tahun dalam pelarian Airlangga membangun kembali Kerajaan Medang di Watan Mas (dekat Gunung Penanggungan). Airlangga naik tahta untuk melanjutkan Wangsa Isyana di Jawa Timur tahun 1009 M.

Setelah melakukan penaklukan-penaklukan semua daerah diantaranya Raja Hasin dari (?), Raja Wisnuprabawa dari Wuratan, Raja Wijayawarma dari Wengker (Ponorogo), Raja Panuda dari Lewa, Raja Putri dari Wilayah Tulungagung dan pada tahun 1032 Prabu Airlangga menaklukan Raja Wurawari serta menumpas pemberontakan Wijayawarma Raja Wengker. Wilayah kekuasaan Prabu Airlangga membentang dari Pasuruan Timur sampai wilayah Madiun dan membangun istana baru di daerah Sidoarjo bernama Kahuripan.

Babad MADIUN (bagian 3)

ASAL MULA NAMA ”MADIUN”
Pada masa pemerintahan Ki Ageng Reksogati dan Pangeran Timur nama Madiun belum ada, daerah ini dulu disebut Kabupaten Purabaya. Asal kata Madiun mempunyai banyak versi, yang ditinjau dari berbagai sudut pandang, diantaranya yaitu : gabungan dari : kata “medi” (hantu) dan “ayun-ayun” (berayunan), yaitu dikisahkan ketika Ki Mpu Umyang / Ki Sura bersemedi untuk membuat sebilah keris di sendang panguripan (sendang amerta) di Wonosari (Kuncen) diganggu gendruwo/hantu yang berayun-ayun di pinggir sendang, maka keris tersebut diberi nama ”Tundung Mediun”.
Kemudian cerita lain berasal dari “Mbedi” (sendang) “ayun-ayunan” (perang tanding) yaitu perang antara Prajurit Mediun yang dipimpin oleh Retno Djumilah di sekitar sendang. Kata ”Mbediun” sendiri sampai sekarang masih lazim diucapkan oleh masyarakat, terutama di daerah Kecamatan Kare, Madiun. Mereka mengucapkan Mbediun untuk menyebutkan Madiun.

Versi berikutnya adalah Madya-ayun yaitu Madya (tengah) ayun (depan), Pangeran Timur adalah adik ipar atau putra bungsu Sultan Trenggono yang sangat di hormati oleh Sultan Hadiwijoyo di Kasultanan Pajang, maka pada waktu acara pisowanan beliau selalu duduk sejajar dengan Sultan Hadiwijoyo di Madya ayun (tengah depan).

Babad MADIUN (bagian 5)

MADIUN MASA PERANG TRUNOJOYO
Pada tahun 1676 M terjadi pemberontakan Trunojoyo terhadap Amangkurat I di Mataram. Pemberontakan ini berawal dari konflik internal antara Mas Rahmat (putra Mahkota) dengan Amangkurat I. Trunojoyo, pangeran dari Madura ini, akhirnya banyak mendapat dukungan dari berbagai kalangan, diantaranya para pelarian prajurit Sultan Hassanudin dari kerajaan Gowa (Makassar) yang dipimpin oleh Karaeng Galesong.
Setelah berhasil menguasai hampir separoh wilayah Mataram, pasukan Trunojoyo menyerbu istana Mataram di Pleret dan berhasil menguasai Mataram, pada tanggal 2 Juli 1677 M, hingga Sri Susuhunan Amangkurat I harus menyingkir ke barat, sampai di Tegalwangi dan meninggal di sana (terkenal dengan Sunan Tegalarum). Menggantikan ayahnya Mas Rahmat sebagai Pangeran Adipati Anom bergelar Susuhunan Amangkurat II, segera bersekutu dengan VOC untuk melawan Pasukan Trunojoyo.
Tanggal 27 Desember 1679 M, Benteng pertahanan terakhir Trunojoyo dikepung 3000 prajurit VOC, yang dibantu oleh pasukan Kapten Yonker (Ambon) dan Aru Palaka (Bugis) serta prajurit Mataram sendiri, pasukan besar ini di komandani oleh Anthonie Hurdt. Trunojoyo menyerah di lereng Gunung Kelud.

Pada waktu perang Trunojoyo ini, Madiun di bawah Bupati Kyai Irodikromo atau Pangeran Adipati Balitar (1645-1677) kemudian digantikan putranya Pangeran Tumenggung Balitar Tumapel (1677-1703). Menurut catatan VOC, dalam perang ini rakyat Madiun bersikap statis walaupun dalam hatinya mereka lebih memihak perjuangan Trunojoyo melawan Susuhunan Amangkurat II yang bersekutu dengan VOC.

Tanggal 5 Nopember 1678 M, pasukan Amangkurat II dengan jumlah besar yang terdiri dari Prajurit Makassar, Malaya, Ambon dan juga Jawa singgah di Desa Klagen Gambiran kemudian berkemah di pinggir Kali Madiun di Desa Kajang. Disini pasukan Belanda dibawah Kapten Tack bergabung. Hari berikutnya mereka meneruskan pengejaran terhadap Trunojoyo ke timur, di Desa Tungkur (saradan) Pasukan Trunojoyo mengadakan perlawanan sengit hingga pasukan Mataram terpaksa bermalam di Caruban. Tanggal 17 Nopember 1678 M, pasukan gabungan ini menyeberangi sungai Brantas untuk masuk ke wilayah pertahanan Trunojoyo di Kediri.

Babad MADIUN (bagian 6)

MADIUN MASA PERANG SUROPATI

Untung Suropati adalah pelarian dari Banten, karena telah menghancurkan Pasukan Kuffeler yang akan menjemput Pangeran Purbaya untuk dibawa ke Benteng Tanjungpura. Untung Suropati menjadi buronan utama Kompeni Belanda. Untung Suropati berlari ke Mataram, sambil mengantar istri Pangeran Purbaya ”Gusik Kusuma” pulang ke Kartasura. Di Kartasura Suropati di terima baik oleh Sri Susuhunan Amangkurat II.
Pebruari 1686 Kapten Francois Tack terbunuh oleh Suropati di halaman istana Kartasura, ketika tentara VOC akan menangkap Suropati. Karena takut pada VOC, Amangkurat II merestui Suropati yang di bantu Patih Nerangkusuma (ayah Gusik Kusuma) pergi ke timur untuk merebut Kabupaten Pasuruan (Bupati Anggajaya).

Dalam hal ini rakyat Madiun mendukung Untung Surapati baik berupa harta-benda maupun bantuan prajurit Madiun. Maka VOC mendapat hambatan yang serius ketika melakukan pengejaran Pasukan Surapati ke timur melewati wilayah Madiun, dengan demikian secara langsung Madiun ikut berperang melawan Kompeni Belanda. Banyak pemimpin Madiun yang menjadi senopati perang melawan tentara VOC, diantaranya Sindurejo (kemudian menetap di Ponorogo), Singoyudo kemudian menetap dan menjadi cikal bakal Desa Candi, Bagi Kecamatan Sawahan. Pertempuran di Madiun banyak memakan korban pihak tentara VOC yang pimpin Kapten Zaz.

Tahun 1703 sepeninggal Sri Susuhunan Amangkurat II, terjadi perang suksesi Jawa II (1704-1708), yaitu perang perebutan kekuasaan Kartasura antara Amangkurat III (Sunan Mas) dengan pamannya yaitu, Pangeran Puger. Pangeran Puger kemudian pergi ke Semarang, beliau disana diangkat sebagai Susuhunan oleh para bangsawan dan Pemerintah Belanda.

Bupati Madiun Pangeran Tumenggung Balitar Tumapel wafat karena usia tua, putri sulungnya Raden Ayu Puger menggantikan kedudukan Bupati Madiun, beliau juga membantu mengirim prajurit-prajurit Madiun untuk membantu perjuangan Suropati. Tahun 11 September 1705 suami Bupati Madiun, Pangeran Puger memasuki istana Kartasura, dinobatkan menjadi raja Mataram Kartasura dengan gelar Sri Susuhunan Paku Buwono I, tentunya Raden Ayu Puger mengikuti suaminya bertahta di Kartasura, sebagai penggantinya ditunjuklah saudaranya bernama Pangeran Harya Balitar menjadi Bupati Madiun.

Pada saat itu perang Surapati beralih ke timur, yaitu Pasuruan. Untung Surapati berhasil menduduki tahta Bupati Pasuruan dengan gelar Tumenggung Wiranegara. Untuk mengurangi jatuhnya korban, Susuhunan Paku Buwono I memerintahkan Kabupaten Madiun untuk menghentikan perlawanan. Namun sudah terlanjur banyak korban dari Madiun, diantaranya Kyai Ronggo Pamagetan, Tumenggung Surobroto, dan Pangeran Mangkunegara dari Caruban.

Tahun 1705 Pangeran Sunan Mas (Amangkurat III) diusir dari istana Kartasura dan bergabung dengan Untung Surapati di Pasuruan. Tahun 1706 terjadi pertempuran hebat di Bangil, Benteng Untung Surapati dapat dihancurkan oleh prajurit gabungan, Untung Surapati tewas tanggal 17 Oktober 1706. Peperangan masih dilanjutkan oleh putra Suropati yaitu Raden Pengantin, Surapati dan Suradilaga yang di bantu prajurit dari Bali sampai tahun 1708, akhirnya banyak melarikan diri dan bergabung dengan Bupati Jayapuspita di Surabaya, sedangkan Amangkurat III tertangkap dan di buang ke Srilangka.

Setelah perang Suropati selesai, iring-iringan prajurit gabungan Kartasura dan VOC kembali melalui Kertosono, Caruban, Madiun, Ponorogo, Kedawung dan sampai di Kartasura. Setelah perang Trunojoyo dan Suropati, selama hampir 40 tahun keadaan Madiun aman dan tentram, VOC tidak mau ikut campur urusan pemerintahan di Kabupaten Madiun. Bupati yang berkuasa pada waktu itu adalah Pangeran Harya Balitar, dilanjutkan Tumenggung Surowijoyo dan Pangeran Mangkudipuro hingga sampai masa Palihan Nagari.

Babad MADIUN (bagian 4)

MADIUN PADA MASA KERAJAAN DEMAK-MATARAM ISLAM

Kerajaan Majapahit yang telah dikudeta oleh Girindrawardana tahun 1478 M dengan pusat pemerintahan di Daha, Kediri, dapat di taklukan oleh Pasukan Demak yang dipimpin oleh Sunan Kudus tahun 1527 M, kemudian penaklukan melebar ke wilayah timur diantaranya Tuban, Wirasaba (Mojoagung) tahun 1528 M, Gegelang (selatan Madiun) tahun 1929 M dan wilayah kerajaan-kerajaan kecil bekas Majapahit lainnya.
Pada akhir Pemerintahan Majapahit atau Masa kejayaan Kasultanan Demak Bintoro di wilayah Madiun selatan terdapat Kadipaten Gegelang atau Ngurawan yang didirikan oleh Pangeran Adipati Gugur salah satu putra Prabu Brawijaya V, yang tentunya masih setia pada Majapahit. Dengan perkawinan putra mahkota Demak Pangeran Surya Pati Unus dengan Raden Ayu Retno Lembah putri dari Pangeran Adipati Gugur yang berkuasa di Ngurawan (mungkin Dolopo sekarang) maka pusat pemerintahan dipindahkan dari Ngurawan ke Desa Sogaten dengan nama baru yaitu Purabaya.

Pangeran Surya Pati Unus menduduki Tahta Kabupaten Purabaya menggantikan Kyai Ageng Reksogati yang sebelumnya diangkat oleh Kasultanan Demak sebagai pemimpin sekaligus penyebar agama Islam di wilayah Sogaten mulai tahun 1518 (Sogaten = tempat Kyai Reksogati) berdasarkan penduduk setempat istana Purabaya di Sogaten disebut Bale kambang dan terdapat pula dusun Santren (mungkin dulu tempat Pesantren Kyai Reksogati). Kyai Reksogati inilah yang dianggap sebagai cikal bakal berdirinya Kabupaten Madiun.

Sultan Trenggono adalah Sultan Demak ketiga, sekaligus juga yang terakhir. Beliau mangkat pada tahun 1546 di medan perang dalam usahanya menaklukkan daerah Pasuruan di Jawa Timur. Peristiwa tersebut membawa akibat timbulnya perang saudara antar keturunan daerah Demak untuk memperebutkan tahta kerajaan.
Sultan Prawata, putra sulung Sultan Trenggono gugur dalam perebutan tahta itu. Tinggallah Pangeran Hadiri dan Pangeran Adiwijaya. Keduanya sama-sama menantu dari Sultan Trenggono. Yang keluar sebagai pemenangnya adalah Pangeran Adiwijaya.
Atas restu Sunan Kudus, Pangeran Adiwijaya ditetapkan sebagai Sultan dan menetapkan Pajang sebagai pusat kerajaan.

Alasan pemindahan tempat pusat pemerintahan itu karena Demak te­lah dirasa “tercemar darah perang saudara”. Pe­ngawasan Kasultanan Demak di Purabaya di bawah Kyai Reksa Gati, kemudian membuka dan mewarnai Sejarah Awal Kabupaten Madiun, se­bagai Bupati yang Pertama (ke I) di Madiun dengan masa jabatan antara tahun 1568 sampai 1586.

Bersamaan dengan penobatan Sultan Adiwijaya sebagai Sultan Pajang, dilantik pula adik ipar sultan, yaitu putra bungsu Sultan Trenggono yang bernama Pangeran Timur sebagai Bupati di Purabaya yang sekarang disebut Kabupaten Madiun pada tanggal 18 Juli 1568 M. Pemerintahan berpusat di Desa Sogaten, Sidomulyo dan sekitarnya. Sejak saat itu secara yuridis formal Kabupaten Purabaya menjadi suatu wilayah pemerintahan Kabupaten di bawah Kasultanan Pajang (sebagai penerus Demak).

Pada tahun 1575 M pusat pemerintahan dipindahkan dari Sogaten ke Desa Wonosari/Wonorejo di sebut juga Kutho Miring (Kuncen/Demangan) yang letaknya lebih strategis karena diapit 2 sungai yaitu Kali Catur dan Nggandong, sampai tahun 1590 M.

Setelah Pangeran Adiwijaya mangkat karena usianya yang sudah tua, pusat pemerintahan berpindah ke Kerajaan Mataram yang didirikan oleh Danang Sutowijoyo atau yang lebih populer disebut Panembahan Senopati. Ia adalah putra sulung Pangeran Adiwijaya. Konon, Panembahan Senopati berwajah tampan, kemauannya keras dan pandai berperang. Sebagai seorang raja besar, Panembahan Senopati bercita-cita hendak menaklukkan para bupati di seluruh Tanah Jawa di bawah panji-panji Mataram.

Pada tahun 1586 M Kesultanan Pajang Runtuh akibat adanya konflik internal dan serangan dari Mataram, maka Panembahan Rama (sebutan lain pangeran Timur) menyatakan bahwa Purabaya adalah kabupaten bebas yang tidak terikat dengan hierarki Mataram, dengan tidak tunduknya Purabaya pada Panembahan Senopati, maka Mataram segera mengirim expedisi militer untuk menaklukan Purabaya sebagai pimpinan Kabupaten Mancanegara Timur (Brang wetan), tahun 1586 dan 1587 M.

Dalam ekspedisi tersebut prajurit Mataram selalu menderita kekalahan yang cukup berat. Prajurit Purabaya dan sekutu dipimpin oleh salah seorang prajurit wanita, yaitu putri Panembahan Rama, Raden Ayu Retno Dumilah. Panembahan Rama dan Retno Dumilah memimpin seluruh prajurit gabungan Kabupaten Mancanegara Timur diantaranya, Kabupaten Surabaya, Pasuruan, Kediri, Panaraga, Kedu, Brebek, Pakis, Kertosono, Ngrowo, Blitar, Trenggalek, Tulung, Jogorogo dan Caruban.

Pada tahun 1590 M, dengan berpura-pura menyatakan takluk dalam versi lain atas saran Ki Mandaraka (Ki Juru Mertani) Panembahan Senopati mengutus seorang dayang cantik jelita bernama Nyai Adisara untuk menyatakan kekalahan dengan membawa surat takluk dan sebagai tanda, Nyai Adisara membasuh kaki Panembahan Rama yang airnya nanti digunakan untuk siram jamas Panembahan Senopati, hal ini membuat Pasukan Purabaya dan sekutunya terlena, maka pasukan sekutu berangsur-angsur pulang ke daerahnya masing-masing.

Dengan ahli strategi Ki Juru Mertani yang didukung 4000 prajurit Mataram telah siap di barat Kali Madiun untuk menyerang pusat istana Kabupaten Purabaya, terjadilah perang hebat, hingga pada sore hari prajurit Madiun kalah dan banyak yang melarikan diri ke timur, tinggalah Raden Ayu Retno Dumilah yang ditugaskan untuk mempertahankan Purabaya, dengan di bekali pusaka Keris Kala Gumarang dan sejumlah kecil prajurit yang tersisa, Retno Dumilah Madeg Senopati Perang.
Perang tanding terjadi antara Sutawijaya dengan Raden Ayu Retno Dumilah terjadi disekitar sendang di dekat istana Wonosari/Wonorejo (Kuncen/Demangan). Pusaka Keris Kala Gumarang berhasil direbut oleh Sutawijaya dan melalui bujuk rayunya, Raden Ayu Retno Dumilah dipersunting oleh Sutawijaya kemudian diboyong ke istana Mataram sedangkan Panembahan Rama melarikan diri ke Surabaya.

Sebagai peringatan penguasaan Mataram atas Purabaya tersebut maka pada hari Jum’at Legi tanggal 16 Nopember 1590 Masehi nama “Purabaya” diganti menjadi “Mbediyun ” atau Mediun.

Babad MADIUN (bagian 7)

MADIUN MASA PALIHAN NAGARI SURAKARTA DAN YOGYAKARTA

Palihan Negari atau sering disebut Perang Suksesi Jawa III, yaitu ketika terjadi peperangan antara Susuhunan Paku Buwono III di bantu pasukan VOC melawan Pangeran Mangkubumi, di bantu Raden Mas Said (terkenal dengan Pangeran Samber nyawa), Perang ini berawal dari ikut campurnya VOC pada Pemerintahan Surakarta dan di cabutnya hak Pangeran Mangkubumi atas tanah Sukowati (wilayah Sragen) oleh Paku Buwono II, hal ini memang sudah diatur dan merupakan bagian dari politik ”devide et impera” Kompeni Belanda.
Peperangan dimulai 11 Desember 1749 sampai dengan 13 Pebruari 1755, oleh para ahli sejarah perang ini sering disebut Perang Suksesi Jawa III. Dalam perang ini rakyat Jawa Timur termasuk Madiun medukung penuh perjuangan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. pada waktu itu yang menjadi Bupati Madiun adalah Pangeran Mangkudipuro merupakan Bangsawan dari Surakarta.

Pangeran Mangkudipuro (1725 – 1755) berkedudukan di Istana Kranggan, selaku Bupati Wedono, membawahi 14 bupati Mancanegara Timur yang memperkuat pertahanan di wilayah Brangwetan, sedangkan yang memegang pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada seorang Patih sebagai pejabat Bupati Madiun, yaitu Raden Tumenggung Mertoloyo ( 1726-1749).

Karena Kompeni Belanda sudah kewalahan oleh serangan Pasukan Mangkubumi, terbukti sebagian besar pesisir utara (pekalongan, tegal dan semarang) sudah bisa di rebut. Kemudian Gubernur Jendral Jacob Mossel yang berkuasa di Bumi Nusantara (1750-1761) menugaskan Jendral Van Hogendorf untuk mengadakan perundingan (politik Perdamaian) dengan para pemimpin peperangan tersebut.

Raden Mas Said alias Pangeran Surjokusumo Prang Wadono, Pangeran Mangkudipuro (Wedono Mancanegara Timur) dan Tumenggung Mertoloyo (Pejabat Bupati Madiun) terus menyusun kekuatan dan bertempur melawan Kompeni Belanda, Raden Mas Said merasa dendam karena ayahnya, Pangeran Mangkunegara (saudara Susuhunan Paku Buwono II) di asingkan oleh Belanda ke Sri langka.

Karena tekanan Belanda, maka tanggal 4 Nopember 1754, Susuhunan Paku Buwono III mengirim surat kepada neneknya yang tembusannya di sampaikan kepada Gubernur Jendral Jacob Mossel, isinya sebagai berikut : Saya permaklumkan kepada nenek saya, kepada Tuan Gubernur Jendral, sesuai surat Gubernur serta Direktur Nicolaos Hartings yang ditujukan kepada saya, tentang penyerahan setengah wilayah Pulau Jawa yang mencakup Desa dan cacah jiwa penghuninya kepada Pangeran Mangkubumi, saya amat senang dan gembira, mudah mudahan penyerahan itu membawa kebahagiaan kepada pulau Jawa. Yang perlu diperhatikan mohon dengan hormat jangan kiranya saya dilupakan. Segala yang ada dalam hati cucunda dan tuan, telah tertulis dalam surat ini.

Berdasarkan isi surat tersebut, dibuatlah suatu perjanjian ”Perjanjian Gianti” Pada Hari Kamis, 13 Pebruari 1755, ini awal pecahnya Kerajaan Mataram dengan Politik Perdamaian antara Pangeran Mangkubumi, Paku Buwono III dan Kompeni Belanda, yang isinya antara lain :
1.    Pengangkatan Mangkubumi sebagai sultan yang sah atas wilayah separoh pedalaman Mataram dan memerintah propinsi atau distrik di wilayah masing-masing
2.    VOC yang di wakili oleh Gubernur Nicolaos Hartings sejak itu ikut mengangkat, menetapkan dan mengakuinya sebagai sultan yang sah atas tanah yang diserahkan kepada sultan sebagai tanah pinjaman dengan hak turun menurun. (istilah tanah pinjaman, hal itu dihubungkan dengan yang terjadi tahun 1749, sebuah perjanjian antara Paku Buwono II yang sedang sakit keras dengan VOC bahwa Pemerintahan Mataram islam termasuk wilayahnya diserahkan ke kompeni).
3.    Sultan, patih, bupati wedana, bupati yang di angkat sultan, sebelum melaksanakan tugas diwajibkan menghadap sendiri ke semarang untuk menyatakan kesetiaan pada Belanda
4.    Sultan tidak diperkenankan mengangkat dan memecat patih, bupati, wedana sebelum memberi alasan-alasan mengenai pemecatan kepada Gubernur Jendral.
5.    Sultan tidak berhak atas daerah pulau Mataram, pesisir Jawa bagian utara, daerah tersebut adalah daerah yang sudah di peroleh VOC dari almarhun Susuhunan Paku Buwono II pada perjanjian tanggal 18 Mei 1748. Sultan akan membantu menjga daerah tersebut, sebaliknya VOC akan membayar jika Sultan menyerahkan hasil daerahnya dalam setahun dengan harga yang sudah ditetapkan yaitu separoh dari jumlah harga 2000 real spanyol.
6.    Sultan berjanji mengadakan ikatan, memberikan, memerintahkan menyerahkan hasil bumi yang ada dan dari daerah pedalaman ke VOC atau pihak lain yang mendapat ijin dari VOC untuk berhubungan langsung ke pedalaman dengan harga yang sudah ditentukan.
7.    Sultan mengakui segala bentuk perjanjian yang pernah di buat oleh sultan-sultan sebelumnya yang mendapat persetujuan pula dari VOC antara lain perjanjian tahun : 1705, 1733, 1743, 1746 dan 1749.
8.    Jika sultan dan pengganti-penggantinya tak disangka terlebih dulu menyimpang dari apa yang ditentukan atau secara sadar merubah persetujuan yang bertantangan dengan perjanjian yang telah ada, hak atas seluruh tanah di wilayah kasultanan tersebut hilang, artinya tanah pinjaman tersebut tadi kembali ke VOC.

Dalam menanggapi isi perjanjian tersebut Prof. DR. Purbotjaraka : dilihat dari segi adat suku Jawa, perbuatan Paku Buwono II tersebut sudah selaras dengan adat Jawa, yaitu apabila seseorang akan meninggalkan rumah, ladang dan pekarangannya, selalu menitipkannya kepada tetangga terdekat. Jadi VOC tetap tidak berhak menetapkan diri sebagai pemilik wilayah kerajaan Mataram. Maka Bupati Madiun, Pangeran Mangkudipuro tetap hanya tunduk pada perintah Sultan.

Berdasarkan Perjanjian Gianti, Mataram di pecah menjadi dua, pembagian ditentukan bersama oleh Gubernur Hartings dan Hamengku Buwono didampingi Patih Danurejo I, dan Susuhunan Paku Buwono III yang di dampingi oleh Patih Raden Adipati Mangkupradja I.

Pembagian wilayah Mataram menjadi :
1.    Kasunanan Surakarta Hadiningrat :
·         Negara Agung (sekitar negara/kota) dan
·         Mancanegara, yaitu :
Ø  Kabupaten Jagaraga (Ngawi),
Ø  Ponorogo,
Ø  separuh Pacitan,
Ø  Kediri,
Ø  Blitar,
Ø  Srengat,
Ø  Lodaya,
Ø  Pace (Nganjuk),
Ø  Wirasaba (Mojoagung),
Ø  Blora,
Ø  Banyumas, dan
Ø  Kaduwang.
2.    Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat :
·         Negari Agung (sekitar negara/kota) dan
·         Mancanegara, yaitu :
Ø  Kabupaten Madiun,
Ø  Magetan, Caruban,
Ø  separuh Pacitan, Kertosono,
Ø  Kalangbret (Tulungagung), Ngrawa (Tulungagung),
Ø  Japan (Mojokerto),
Ø  Jipang (Bojonegoro),
Ø  Keras (Ngawi),
Ø  Selowarung (Wonogiri), dan
Ø  grobogan (Jawa Tengah)

Dalam pemerintahan sehari-hari Kabupaten Madiun mendapat otonomi terbatas sebagai kerajaan, hanya saja dalam hal-hal tertentu harus tunduk pada Kompeni Belanda. Ikatan VOC tersebut yang dirasakan cukup berat adalah sistem penyerahan wajib (verplichteleverantien), sesuai perjanjian diserahkan hasil-hasil bumi tertentu yang harganya ditentukan sangat rendah.

Pada waktu itu penduduk Kabupaten Madiun 12.000 Kepala Somah (kepala keluarga) disebut ”karya” atau mempunyai tugas didesa dan sebagai pemilik tanah garapan. Kabupaten Caruban 500 karya. Ketentuan penyerahan wajib adalah dua perlima bagian dari hasil tanah garapan setahun sekali, yang harus diserahkan pada hari perayaan Maulud kepada Bupati, kemudian Bupati Wedono dan diserahkan kepada Kompeni Belanda atau perwakilannya.

Hasil tanah garapan wilayah Madiun, Caruban dan sekitarnya meliputi : beras, kopi, gula, nila, tembakau dan kapas. Sampai tahun 1800, hasil beras yang wajib diserahkan wilayah Madiun sejumlah 2.000 koyang (60.000 pikul setahun)

Dalam pemerintahan pangeran Mangkudipuro, Kabupaten Madiun sengaja memboikot kewajiban-kewajiban pada VOC. Tindakan bupati Madiun ini tidak berarti karena tidak taat pada Sultan Hamengkubowono tetapi membela rakyat Madiun.
Kebijaksanaan dari Sultan Hamengkubuwono I, yang secara kebetulan Kabupaten Sawo (Ponorogo) yang merupakan bagian dari kekuasaan Yogyakarta (oleh Jogja dikenal sebagai kukuban ing sak wetane Gunung Lawu) ada usaha untuk memisahkan diri (mbalelo) dari Kasultanan Yogyakarta, maka Sri Sultan Hamengku Buwono mengutus Bupati Madiun, Pangeran Mangkudipuro untuk menangkap hidup atau mati Bupati Sawo dan kawan-kawannya, yang harus diserahkan sendiri di hadapan sultan.
Menurut catatan Gubernur Pesisir Jawa Bagian Utara, W.H. Van Ossenberch tanggal 13 Mei 1765, dikatakan bahwa ”wilayah Yogyakarta di daerah Jawa Timur (yang dimaksud Kabupaten Madiun dan Sawo) penguasanya bertingkah, membangkang VOC dan tinggal tunggu saat yang baik untuk mengangkat senjata melawan VOC dan Kasultanan. Penguasa-penguasa tersebut telah membuat perjanjian rahasia dengan para pejabat pusat Kasultanan Yogyakarta, antara lain dengan Prabujoko, Malya Kusuma dan para pemberontak lainnya”. Demikian isi catatan itu.

Pangeran Mangkudipuro yang sebenarnya sudah mempunyai perjanjian rahasia dengan Bupati Sawo, namun belum siap untuk meletuskan pemberontakan pada VOC, setengah hati dalam melakukan perintah Sultan Hamengkubuwono. Dengan pasukan prajurit seadanya Pangeran Mangkudipuro berangkat ke Kabupaten Sawo, oleh karena belum ada kontak terlebih dahulu dengan Bupati Sawo, pasukan Kabupaten Madiun segera disergap prajurit Kabupaten Sawo. Pangeran Mangkudipuro punggungnya terluka dan untuk menghindari pertumpahan darah yang sia-sia, Pangeran Mangkudipuro memilih mundur, kembali ke Madiun. hal ini membuat Sri Sultan marah, maka kedudukan Wedono Bupati Mancanegara Timur pun dilepas dan Pangeran Mangkudipuro disingkirkan dengan diberi kedudukan sebagai Bupati di Caruban.
Pengganti Mangkudipuro, diangkat seorang kepercayaan Sultan dan merupakan salah satu panglima perang tangguh Kasultanan Yogyakarta ”Raden Prawirosentiko” sebagai Bupati Madiun yang sekaligus merangkap sebagai Wedono Bupati Mancanegara Timur, dengan gelar Pangeran Ronggo Prawirodirjo I.

Raden Prawirosentiko (Ronggo Prawirodirjo I) Bupati Wedono Madiun tahun 1755 – 1784 (29 tahun) adalah bangsawan keturunan Surakarta, namun beliau memilih membantu pemberontakan Raden Mas Said yang juga bangsawan Surakarta dan berhasil menduduki tanah Sukowati (sragen).
Pada waktu itu, untuk merebut tanah Sukowati, Paku Buwono II menjanjikan, barang siapa yang dapat mengembalikan tanah Sukowati, maka daerah tersebut akan diberikan dan diangkat sebagai penguasanya. Pangeran Mangkubumi berhasil merebut tanah Sukowati dari tangan Raden Mas Said, namun Kompeni Belanda tidak mau menerima kebijaksanaan dari Susuhunan Paku Buwono II, menyerahkan Tanah Sukowati pada Pangeran Mangkubumi.

Pangeran Mangkubumi bersatu dengan Raden Mas Said dan Raden Ronggo Prawirosentiko, mengangkat senjata melawan Kompeni Belanda yang sudah keterlaluan ikut campur urusan Pemerintah Kerajaan. Raden Mas Said kemudian diambil menantu oleh Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Mangkubumi kawin dengan adik Ronggo Prawirosentiko yang bernama Raden Adjeng Manik. Perlawanan dari ketiga tokoh ini mendapat dukungan yang sangat luas dari rakyat Mataram.

Babad MADIUN (bagian 8)

MADIUN DIBAWAH TRAH BUPATI PRAWIRODIRJO

Setelah Perjanjian Gianti Pangeran Ronggo Prawirosentiko di angkat sebagai Bupati Wedana di Madiun, dengan nama baru Ronggo Prawirodirjo dan berkedudukan di istana lama di Kranggan.



Masa pemerintahan Ronggo Prawirodirjo I, dibangun istana baru di Desa Wonosari, sebelah utara kali catur, tidak jauh dari istana Kranggan. Istana ini digunakan sebagai kantor Dinas Bupati Wedono. Menurut buku ”De Stand der Voedingsmidellen” oleh De Vorstenlanden.
Struktur pemerintahan pada waktu itu terdiri dari :
1.    Bupati : dibantu kerabat (kaum sentana) sebagai pemegang policy daerah serta
penerus perintah dari Pusat.
2.    Patih : petugas pokok mengemudikan jalannya pemerintahan sehari-hari
3.    Mantri Besar : petugas pembagi pekerjaan negara dan sekaligus mengawasi
4.    Mantri : terdiri beberapa orang Mantri yang menguasai di bidang masing-masing yaitu, Mantri Praja, Mantri Tani, Mantri Keuangan, Mantri Hukum
5.    Beberapa Pegawai Istana
Kelima jajaran itu disebut Kaum Priyayi

Pada tingkat Desa susunannya adalah :
1.            Bekel (Kepala Desa) : Pejabat pemerintahan di Desa
2.            Carik : pelaksana jalannya pemerintahan
3.            Kebayan : memberi perintah dan menarik pajak
4.            Kepetengan : Mengatur keamanan desa
5.            Modin : urusan keagamaan (islam) perkawinan, kelahiran dan kematian

Beberapa desa yang berdekatan, dibentuk seorang DEMANG dengan tugas sebagai koordinator dari para Bekel dan beberapa Kademangan di bentuklah seorang Koordinator yaitu, PALANG atau disebut juga Lurah Palang.

Dalam Buku ”Kebudayaan Islam” oleh Mohammad Natsir mengutarakan bahwa, pertemuan pejabat-pejabat tertentu biasanya dilaksanakan pada hari Senin, Rabu dan Sabtu. Bertempat di Pendopo istana atau disebut Mandapan (mandapa, Pendapa)

Tahun 1784 Ronggo Prawirodirjo I wafat dan dimakamkan di Pemakaman Taman yang kemudian oleh Sultan Hamengku Buwono ditetapkan sebagai Tanah Perdikan. Raden Mangundirjo putra dari Ronggo Prawirodirjo I, naik tahta menggantikan ayahnya sebagai Bupati Wedono Mancanegara Timur bergelar Ronggo Prawirodirjo II (1784-1797) selama 13 tahun sebagai bupati ke 15. Selain berkedudukan di Istana lama, Kranggan beliau juga membangun kembali Istana Wonosari (Kuncen) sebagai Istana Bupati Wedono Madiun. Raden Mangundirjo, adalah seorang yang pemberani, cakap dan lincah. Beliau memperistri Putri Sultan Hamengkubuwono I.

Ronggo Prawirodirjo III (1797-1810) Bupati ke 16 adalah putra dari Ronggo Prawirodirjo II, beliau juga menantu Sultan Hamengku Buwono II atau suami dari Gusti Kanjeng Ratu Maduretno, di samping menjadi bupati beliau juga sebagai penasehat Hamengkubowono II bersama Adipati Danurejo II dan Tumenggung Sumodiningrat. Ada 14 Bupati Brang wetan yang berada di bawah pengawasannya, pusat pemerintahannya di Istana Maospati namun beliau sering menetap di Yogyakarta. Beliau mempunyai 3 istana yaitu Yogyakarta, Maospati dan Wonosari.

Ronggo Prawirodirjo III gugur saat perang melawan Pasukan Yogyakarta, atas kehendak Belanda di Kertosono (17-12-1810), kemudian dimakamkan di pemakaman Banyu Sumurup. Tahun 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono IX, Ronggo Prawirodirjo III dimakamkan kembali di Pemakaman Giripurno, Gunung Bancak disamping makam Permaisurinya yaitu GKR Maduretno dan dinyatakan sebagai pejuang perintis melawan penjajahan Belanda.

DAFTAR ISI
Widget by Putra Q-Ae