Letak Desa Banjarsari bersebelahan dengan
Desa Sewulan, secara etimologi kata Banjarsari berasal dari Ganjaran dan sri,
artinya : Hadiah dari Raja.
Belum diketahui secara pasti terjadinya Desa
Banjarsari menjadi perdikan, dengan adanya Palihan Nagari Jogjakarta dan
Surakarta pada tanggal 13 Pebruari 1755, Sultan Hamengku Buwono I naik tahta,
pada saat itu salah satu kabupaten Mancanegara timur, yang merupakan wilayah
Kasultanan Jogjakarta yaitu, Kabupaten Singosari, seolah-olah membangkang
perintah sultan, Bupati Singosari tidak mau mendatangi pisowanan rutin yang
diadakan Kesultanan Jogjakarta. Sebagai bawahan dari Wedono Mancanegara Timur,
maka Pangeran Ronggo Prawirodirjo I berangkat ke Singosari dengan dikawal 40
prajurit pilihan dan seorang pendamping santri dari Pesantren Tegalsari
Ponorogo yang bernama Muhammad Bin Umar atas perintah Sultan.
Dipingir kali porong, atas permintaan Bin Umar rombongan berhenti sejenak untuk
menanak nasi, nasi bukan untuk dimakan tetapi sebagai sarana agar rombongan
prajurit tatkala memasuki keraton Singosari tidak diketahui musuh. Nasi liwet
ini disimbolkan “lewat selamat” ternyata hal ini berhasil, selanjutnya Bupati
Singosari di bawa menghadap ke Kasultanan Jogjakarta.
Sultan Hamengku Bowono I, kagum mendengar
cerita tersebut, seketika itu beliau menghadiahkan bumi Banjarsari kepada
Muhammad Bin Umar, sebagai tanah perdikan pada tahun 1763. Sekitar tahun 1793
Desa perdikan Banjarsari dipecah menjadi dua sebagai pembagian ahli waris,
menjadi Banjarsari Wetan dan Banjarsari Kulon.
Penguasa Desa Banjarsari sebelum pecah, yaitu
:
1.
Kyai Ageng I Muhammad
Bin Umar,
2.
Kyai Ageng II Muhammad
Imron,
3.
Kyai Ageng III
Muhammad Maolani.
Kyai Ageng III ini sebagai wali, karena putra Kyai Ageng II “Tofsiranom”
masih berusia 3 tahun. Setelah Kyai Tofsiranom dewasa sebagian wilayah Desa
Perdikan diberikan kepada Muhammad Maolani yang berjasa menjadi wali saat
Tofsiranom masih kecil.
Pemimpin kedua Banjarsari selanjutnya sebagai
berikut :
Banjarsari Wetan :
1. Kyai Tofsiranom I,
2. Kyai Tofsiranom II,
3. Kyai Sosro Ngulomo,
4. Kyai Abdul hamid,
5. Kyai Notodirodo,
6. Kyai Ismangil,
7. Kyai Istiadji
Banjarsari Kulon :
1. Kyai Mohammad Maolani,
2. Kyai Ngali Murtolo,
3. Kyai Djajadi II,
4. Kyai Mukibat ,
5. Kyai Djojodipuro.
6.
Kyai Raden Abdul
Hamid
dari Banjarsari Wetan merupakan tokoh pendiri Perguruan Ilmu Sumarah (aliran
kepercayaan) yang memiliki pengikut ribuan bahkan ada yang dari luar negeri.
Aliran Kepercayaan Sumarah di plokamirkan di
Jogjakarta tahun 1935 oleh Raden Ngabehi Sukino dan Kyai Raden Abdul Hamid. Latar
belakang pendirian perkumpulan tersebut adalah segera tercapainnya Indonesia
Merdeka dan perdamaian dunia.
kerajinan yang sudah dikembangkan oleh Kyai
Banjarsari adalah pembuatan sapu ijuk.
Walaupun desa Perdikan diberi otonomi yang
luas oleh Kasultanan, akan tetapi setiap Kyai Perdikan punya kewajiban sebagai
tanda kesetiaan pada kasultanan, yaitu setiap bulan Maulud Kyai dan beberapa
pejabat desa harus menghadap Sultan Jogjakarta. Kesetiaan Desa Perdikan
Banjarsari ini terbukti, ketika tahun 1940, Pendopo Kabupaten Madiun terbakar
habis maka pendopo Desa Perdikan Banjarsari dibongkar dan di Berikan untuk
mengganti pendopo Kabupaten yang terbakar.
Kyai Muhammad Bin Umar memimpin Perdikan
Banjasari selama 44 tahun. Ia meninggal pada 1807 atau 1227 hijriah. Ia
mewariskan sebuah masjid, Al-Muttaqin, yang didirikannya pada 29 September 1763.
Sejak tahun 1963 pemerintah menghapuskan daerah perdikan (otonom). Kyai
terakhir dari Banjarsasi Wetan adalah Kyai R. Istiadji bin Kyai Ismangil,
sedang Banjarsari Kulon Kyai R.Djojodipoero. Di perdikan tersebut terdapat
rumah penyimpanan pusaka yang dinamakan “njero kidul” yaitu rumah pusaka
peninggalan kyai yang memerintah Banjarsari Kulon, sedang “njero kulon” rumah
pusaka yang ditempati keluarga besar kyai yang memerintah Banjarsari Wetan yang
sekarang ditempati oleh keluarga Abdul Khamid.
Terima kasih Anda telah membaca Babad MADIUN (bagian 18). Mungkin Anda tertarik ingin membaca artikel ©Kejahatan dan Kemuliaan yang lainya?