Pangeran Ronggo
Prawirodirjo III termashur keperwiraanya, taat beribadah dan sangat anti
terhadap Kolonial Belanda. Beliau memperistri Putri Sultan Hamengku Buwono II,
yaitu Gusti Kanjeng Ratu Maduretno. Kabupaten Mediun pada waktu Pemerintahan
Ronggo Prawirodirjo III berpusat di Maospati, namun karena kesibukannya sebagai
penasehat Sultan, maka beliau sering menetap di Kraton Yogyakarta. Didalam
Kraton Kasultanan sendiri terjadi perseteruan antara Ronggo Prawirodirjo III di
bantu Tumenggung Sumodiningrat melawan Adipati Danurejo II yang mengantek pada
Belanda.
Sejak 31 Desember
1799, Kekuasaan VOC dibubarkan, dan 1 Januari 1800 digantikan dengan
”Pemerintah Hindia Belanda” yang dipimpin oleh Mr.Willem Daendels yang
berpangkat Gubernur Jenderal, hal ini akibat perubahan politik di negeri
Belanda, Napoleon Bonaparte dari Perancis berhasil menaklukan Belanda, maka
Jawa dikuasai oleh orang Belanda Perancis.
Pada masa ini
terjadilah perselisihan antara Willem Daendels dengan Ronggo Prawirodirjo III,
yang diawali dari permintaan tata tertib upacara protokoler yang di tetapkan
Daendels, yaitu dalam upacara pisowanan di Istana Yogyakarta, Residen Belanda
dalam menghadap Sultan saat masuk melalui alun-alun utara dengan naik kereta
dan di kawal pasukan dengan payung kebesaran dan duduk sejajar dengan Sultan,
serta Sultan harus mempersembahkan minuman, karena dianggap sebagai perwakilan
Negeri Belanda. Dengan tata tertib tersebut, Ronggo Prawirodirjo III sebagai
penasehat Sultan merasa terhina, dan menyatakan tidak senang terhadap Belanda,
terutama kepada Patih Danurejo II yang dipandang sebagai otak kekacauan yang
dilakukan Belanda didalam Istana Yogyakarta.
Perselisihan yang
paling hebat terjadi saat, Daendels menetapkan hutan-hutan di Jawa termasuk
wilayah Madiun menjadi milik Pemerintah Belanda, Hutan di wilayah Madiun di
tebang dan di angkut ke Surabaya untuk membuat 20 kapal perang Belanda. Bersamaan
dengan itu, di luar istana banyak terjadi kerusuhan-kerusuhan yang menurut
Belanda, semuanya terjadi atas perintah Bupati Madiun.
1.
Berdasarkan
“memorie” Residen Yogyakarta Johanness Gerardus Van Den Berg. Pembunuhan yang
dilakukan Bupati Madiun di Desa Delanggu, ketika perjalanan ke Yogyakarta.
Putra Raden Ronggo Prawirodirjo minta seekor kambing yang bagus yang digembala,
karena pemilik kambing tersebut tidak mau menjual dengan harga berapapun, maka
si penggembala terbunuh oleh Raden Ronggo Prawirodirjo, hal ini menjadi sebuah
pemberitaan yang hangat di Negeri Agung Yogyakarta.
2.
Pebruari
1810, Gubernur Jendral H.W. Daendels mengambil tindakan keras dengan adanya
kerusuhan yang terjadi di wilayah Ponorogo, yaitu di Desa Ngebel dan Sekedok
yang merupakan wilayah Kasunanan Surakarta. Yaitu terjadi pembunuhan dan perampokan
yang akhirnya terjadi saling serang di wilayah perbatasan Madiun dan Ponorogo.
Menurut Babad, Ponorogo selalu menderita kekalahan, karena pertahanan dan
perlawanan di daerah tersebut tidak sebaik dan sekuat pertahanan Kasultanan
Yogyakarta yang ada di Madiun. Maka Daendels minta agar Sultan Yogyakarta
memberi ganti rugi atas kejadian tersebut. Akan tetapi Sultan menolak, beliau
minta agar hal tersebut diselidiki bersama lebih dahulu. Hasil keputusan dari
penelitian, Bupati Madiun di anggap bersalah, maka Bupati Ronggo Prawirodirjo
III mengajukan pembelaan dengan pengajuan pengaduan sejenis pada Kasunanan
Surakarta, namun tak dihiraukan oleh Daendels.
3.
Kemudian
Perampokan dan pembunuhan serupa terjadi di wilayah Karesidenan Pekalongan,
Semarang, Rembang dan Demak. Kerusuhan tersebut dipimpin seorang Demang dari
Tirsana ”Tirtowijoyo” juga dituduh sebagai kaki tangan yang sengaja
diselundupkan oleh Ronggo Prawirodirjo III. Untuk kesekian kalinya Ronggo
Prawirodirjo III di anggap bersalah.
4.
Hal
yang sangat menyakitkan Ronggo Prawirodirjo III, yaitu penetapan Gubernur
Jendral H.W Daendels yang menetapkan bahwa seluruh hutan di Jawa adalah menjadi
milik Pemerintah Belanda, dengan penetapan tersebut hutan di wilayah Madiun di
babad oleh Residen Yogyakarta Minister Morreess, yang akan digunakan untuk
membuat 20 kapal perang di Surabaya. Ronggo Prawirodirjo III menolak keras
penebangan hutan tersebut. Berdasarkan kesalahan-kesalahan yang telah
dituduhkan pada Ronggo Prawirodirjo III tersebut diatas, Gubernur Jendral W.H.
Daendels minta kepada Sultan, agar Bupati Madiun Ronggo Prawirodirjo III
beserta kaki tangannya agar diserahkan kepada Belanda untuk mendapat hukuman.
Menurut Undang-Undang negeri Belanda, melalui
Van Broom Belanda menyampaikan 4 tuntutan, yaitu :
1. Sultan agar
menerima upacara protokoler baru yang sudah ditetapkan Daendels.
2. Mengembalikan
Raden Danurejo II sebagai Patih Kerajaan. (semula dipecat karena berpihak pada
Belanda)
3. Memberhentikan
jabatan Patih Raden Tumenggung Notodiningrat. (karena beliau dianggap
membahayakan Belanda)
4. Memanggil
Bupati Ronggo Prawirodirjo III, untuk menghadap ke Bogor supaya minta ampun
kepada Gubernur Jendral.
Apabila empat
tuntutan tersebut tidak dijalankan, Gubernur Jendral beserta tentara akan
datang sendiri ke Yogyakarta untuk menghukum Sultan. Suasana tersebut diatas
memang sengaja dibuat oleh Pemerintah Belanda, agar tulang punggung kasultanan
Yogyakarta tersebut lumpuh, serta mengambil alih kekuasaan Mancanegara Timur
dari tangan Kasultanan Yogyakarta.
Terima kasih Anda telah membaca Babad MADIUN (bagian 9). Mungkin Anda tertarik ingin membaca artikel ©Kejahatan dan Kemuliaan yang lainya?