Sejak terjadi
pemberontakan Pangeran Raden Ronggo Prawirodirjo III terhadap Belanda,
disekitar Istana Yogyakarta ditempatkan Pasukan Belanda yang kuat, bahkan
setelah Raden Ronggo Prawirodirjo III Gugur, Pasukan Belanda menambah
kekuatannya di sekitar Istana. Walaupun Sultan telah memenuhi keinginan Belanda
untuk membasmi perlawanan Bupati Madiun, namun Belanda masih belum puas,
tanggal 31 Desember 1810 Gubernur Jendral HW Daendels datang ke Istana
Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono II diturunkan dari tahta, dan mengangkat
putra mahkota Pangeran Adipati Anom dengan gelar Sultan Hamengku Buwono III.
Sultan baru ini adalah ayah Pangeran Dipokusumo (Bupati Madiun pengganti Raden
Ronggo Prawirodirjo III), Sultan Hamengku Buwono II kemudian disebut Sultan
sepuh tidak mempunyai kekuasaan lagi, hanya pada acara tertentu seperti Grebeg
Siyam, grebeg Maulud, Grebeg Suro dan Upacara-upacara lainnya, hadir
mendampingi Sultan Hamengku Buwono III.
Pangeran Notokusumo
dan Pangeran Notodiningrat, yang diserahkan ke Semarang oleh Hamengku Buwono II
sebagai jaminan atas janji untuk menangkap hidup atau mati Ronggo Prawirodirjo
III, baru di kembalikan ke Istana Yogyakarta tanggal 16 Desember 1811, hal itu
pun, karena ada perubahan politik dalam pemerintahan negeri Belanda (Perancis)
yaitu, kekalahan Pemerintah Belanda dari Inggris, yang sebenarnya Belanda
menginginkan kedua pangeran tersebut untuk di binasakan.
Tanggal 26 Agustus
1811, tentara Inggris yang di pimpin Lord Minto berpusat di India mengepung
pusat pemerintahan Belanda di Batavia, Pusat pertahanan pasukan Belanda di
Jatinegara jatuh. Gubernur Jendral J.W. Janssens (pengganti Daendels) yang
semula Gubernur Kaap Kolonie (Afrika Selatan) menghadapi nasib tragis. J.W.
Janssens dan pasukan Belanda mundur ke Semarang, dengan harapan mendapat
bantuan Kasultanan dan Kasunanan Mataram, namun tidak mendapat simpati.
Kasultanan Yogyakarta termasuk Kabupaten Madiun, bahkan diam-diam membantu
tentara Inggris, dengan harapan Belanda segera musnah dari wilayah Yogyakarta.
Tanggal 18 September 1811 Belanda akhirnya menyatakan menyerah pada Jendral
Auchmuty di Salatiga dengan syarat menanda tangani perjanjian ”Kapitulasi
Tuntang” secara yurisdis semenjak itu Nusantara di kuasai Inggris.
Pergantian
Pemerintahan Belanda ke tangan Inggris, dimanfaatkan oleh Sultan Sepuh untuk
mengambil tahta Kasultanan Yogyakarta kembali, dari tangan Sultan Hamengku
Buwono III. 23 September 1811 Sultan Sepuh mengembalikan Sultan menjadi Putra
Mahkota kembali. Dalam masa peralihan tersebut dilakukan pembersihan di
lingkungan Istana, Pejabat-pejabat yang pro Belanda dan Danuredjo II di tangkap
dan dipenjara atau di bunuh.
Setelah Kapitulasi
Tuntang, pemerintah Hindia Belanda menyerahkan kekuasaan di Nusantara kepada
Pemerintah Britania Raya (Inggris) dengan Gubernur Jendral Sir Thomas Stamford
Rafless.
Pada masa
Pemerintahan Inggris ini, Sultan Hamengku Buwono II mengajak Kasunanan
Surakarta untuk memulihkan hak-hak raja-raja Mataram, termasuk tata cara
Upacara protokoler Istana serta berusaha mengadakan perlawanan kepada
Pemerintah Inggris. Usaha-usaha perlawanan Sultan Hamengku Buwono II ini
membuat Pemerintah Inggris tidak suka. Dengan di bantu Pangeran Notokusumo,
tanggal 18 - 20 Juni 1812 Pasukan Inggris yang dipimpin Jendral Gillespie
menyerbu Istana Yogyakarta dan terjadi pertempuran hebat, namun Pasukan Inggris
berhasil menguasai Istana dan memaksa Hamengku Buwono II turun tahta,
Kasultanan diserahkan kembali pada Sultan Hamengku Buwono III (putra mahkota),
kemudian Oleh Rafless, Sultan sepuh (Hamengku Buwono II) di tangkap dan
diasingkan ke Pulau Pinang kemudian dipindah ke Ambon.
Pada tanggal 1
Agustus 1812 Pemerintah Inggris memaksa Hamengku Buwono III untuk memenuhi
keinginan Pemerintah Inggris, yaitu antara lain :
- Wilayah Kedu, sebagian Semarang, separuh
Pacitan, Rembang, Japan, Jipang, Grobogan dan Surabaya menjadi milik Pemerintah
Inggris yang diberi ganti kerugian sebesar 100.000 Real per tahun
- Kasultanan Yogyakarta tidak boleh mempunyai
angkatan bersenjata yang kuat, kecuali hanya prajurit-prajurit keamanan Kraton
- Memberikan sebagian wilayah Kasultanan
Yogyakarta kepada Pangeran Notokusumo, atas jasa beliau pada Pemerintah
Inggris.
Tanggal 17 Maret 1813
Pemerintah Inggris mengangkat serta membangunkan Istana Pangeran Notokusumo sebagai
Pangeran Merdiko di bawah Pemerintah Inggris dengan wilayah Kadipaten Paku
Alaman dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam. Tahun 1815
kekuasaan Inggris di Nusantara diserahkan kembali ke Pemerintah Belanda.
Tahun 1820, Bupati
Madiun Pangeran Dipokusumo tidak aktif menjalankan roda pemerintahan
dikarenakan sakit, maka sesuai tradisi jika penguasa berhalangan dibentuklah
perwakilan atau badan perwakilan. Pada waktu itu Patih Raden Tumenggung
Tirtoprodjo yang menjadi Pejabat Bupati Madiun. Penerus Trah Prawirodirjo yaitu
Raden Ronggo Prawirodiningrat waktu itu belum cukup dewasa
Terima kasih Anda telah membaca Babad MADIUN (bagian 11). Mungkin Anda tertarik ingin membaca artikel ©Kejahatan dan Kemuliaan yang lainya?