Kota Ngawi adalah
sangat penting, sebagai pusat perdagangan dan pelayaran. Maka Tanggal 13
Nopember 1825, pasukan Belanda dibawah pimpinan Kapten Theunissen Van lowick
berhasil merebut Kota Ngawi. Sebagai pertahanan Pasukan Madiun, kemudian, 15
Nopember 1825 pasukan Madiun bergeser ke selatan Kota Ngawi, namun akhirnya
dikepung Pasukan Belanda dari utara oleh pasukan Van Lewick dan dari barat
pasukan Letnan Vlikken Sohild yang dibantu ratusan Prajurit Kabupaten Jogorogo
(wilayah Surakarta) akhirnya pasukan Madiun berhasil di kacaukan, sekitar 60
prajurit gugur. Akhir tahun 1825, Belanda mendirikan Benteng stelsel di Kota
Ngawi yang di jaga 250 tentara, 6 meriam api, dan 60 Kavaleri.
Di wilayah selatan
pertahanan pasukan Madiun diletakan di Pacitan. Peperangan dipimpin oleh
Panglima Daerah Bupati Mas Tumenggung Djojokarijo, Mas Tumenggung Jimat dan
Ahmad Taris, akan tetapi akhir Agustus 1825 daerah Pacitan berhasil dikuasai
Belanda. Bupati Djojokarijo di pecat (mendapat pensiun 40), sedang Tumenggung
Jimat dan Ahmad taris ditangkap yang nasibnya tidak diketahui.
Sebagai bupati baru,
diangkatlah oleh Belanda Mas Tumenggung Somodiwiryo, akan tetapi tidak lama
bertahta sebab 9 Oktober 1825 diserbu oleh pasukan Madiun yang dipimpin oleh
Raden Mas Dipoatmojo putra Diponegoro sendiri dan berhasil membunuh bupati baru
tersebut. Namun akhirnya awal Desember 1825 seluruh pasukan Madiun di Pacitan
berhasil dipecah belah oleh Belanda, hingga Pacitan sepenuhnya di kuasai
Belanda. Hingga awal tahun 1826, Kota Kabupaten Madiun belum menjadi medan
peperangan Perang Diponegoro. Namun ditahun kedua perang ini, Panglima Daerah
Mas Kartodirdjo ditangkap di Madiun.
Semenjak pertahanan
di Ngawi jatuh ke tangan tentara Belanda, prajurit Madiun yang mundur ke
wilayah barat (Jogorogo) akhirnya kembali memusatkan pertahanan di Ibukota
Wonorejo, Madiun. Hal ini telah diketahui pihak Belanda maka, 18 Desember 1825,
dibawah Kapten Inf. Rosser yang membawa pasukan Belanda dari Madura, prajurit
Mangkunegaran, di tambah tentara dari Benteng Ngawi, dari selatan Belanda
dibantu prajurit Kasunanan Surakarta di Ponorogo. Terjadilah perang hebat, pada
tanggal 18 Desember 1825, hingga akhirnya pasukan Madiun berhasil dikalahkan,
Pangeran Serang beserta istrinya gugur sebagai kusuma bangsa. Beliau adalah
menantu Pangeran Mangkudiningrat karena anti Inggris, akhirnya dibuang oleh
Raffless ke Bengkulu (1812) sedangkan Pangeran Serang sendiri adalah keturunan
Sunan Kalijogo dari Kadilangu, Demak.
Seorang pangeran dari
Pamekasan, Madura ikut terbunuh, pertempuran meluas sejak tanggal 24 Desember
1825 hingga pada 9 Januari 1826, Panglima Daerah Mas Kartodirjo berhasil di
tangkap dan terbunuh. Walaupun demikian beberapa Bupati masih setia dan tetap bergabung
dengan Pangeran Diponegoro. Secara formal sejak 9 Januari 1826, Bupati wedono
Mancanegara Timur, Ronggo Prawirodiningrat sudah dibawah kekuasaan Belanda,
beliau ditangkap dan dibawa ke benteng Ngawi.
Namun dalam
kenyataanyan baru tahun 1827 daerah Madiun aman dengan didirikannya benteng
Belanda beserta satu detasemen tentara dengan senjata lengkap di dekat Istana
Bupati Wedono Madiun di Wonorejo di Desa Kartoharjo. Benteng tersebut dijaga
oleh 135 tentara Belanda dengan 62 pucuk bedil, 2 meriam kaliber 31/4 inci dan
ratusan prajurit Kasunanan Surakarta dibawah pimpinan Letnan Infanteri
Schnarburch. Bangunan benteng tersebut mempunyai 2 menara penjagaan di utara
dan selatan dapat mengawasi arah Ponorogo, Istana Wonorejo dan Pasar Madiun
(Prajuritan = Kelurahan MadiunLor).
Tanggal 15 Mei 1828
benteng Madiun sudah sempurna, dijaga oleh ribuan tentara siang dan malam yang
merupakan simbol di mulainya Kolonialisme Belanda di wilayah Kabupaten Madiun.
Namun secara yuridis, kekuasaan pemerintahan kabupaten Madiun tetap di bawah
Pangeran Ronggo Prawirodiningrat. Menurut laporan Belanda tanggal 20 Mei 1828
hingga permulaan Juni 1828 masih ada pemberontakan-pemberontakan kecil di
sekitar wilayah Ibukota Madiun dengan
pimpinan Raden Sosrodilogo yang akhirnya tertangkap 3 Nopember 1828. Setelah
Raden Sosrodilogo tertangkap pada tanggal 3 Oktober 1828, maka keadaan sekitar
Kota Madiun kembali aman.
Sekarang Bupati Madiun berkedudukan di Pangongangan yaitu ditengah Kota Madiun, sekarang di Komplek Perumahan Dinas Bupati Madiun. Disinilah seterusnya Bupati Madiun sampai sekarang menjalankan pemerintahan, sedangkan makamnya ada di Kelurahan Taman (dulu Desa Perdikan) selain makam Kuncen. Disini disemayamkan pahlawan-pahlawan pendiri Kabupaten Madiun pada waktu lampau, sehingga kepada orang yang dipercaya menjaga/merawat makam tersebut diberikan hadiah satu wilayah Pedesaan sebagai tanah perdikan serta hak untuk memungut hasilnya, bersifat Orfelijik (turun tumurun).
Nama Para Bupati (Wedono Mancanegara Timur) Madiun
Kyai / Ki Ageng Reksogati 1518 – 1568 (Perwakilan Demak /
Penyebar Agama Islam)
1. Pangeran
Timoer 1568-1586 (disebut juga Panembahan Rama atau Ronggo Jumeno)
2. Raden
Aju Retno Dumilah 1586 – 1590
3. Panembahan
Senopati 1590–1591 nama Purabaya dirubah menjadi Mbediun / Mediun)
4. Raden
Mas Soemekar 1591 – 1595
5. Pangeran
Adipati Pringgolojo 1595 – 1601
6. Raden
Mas Bagoes Petak (Mangkunegoro I) 1601 – 1613
7. Pangeran
Adipati Mertolojo (Mangkunegoro II) 1613 – 1645
8. Pangeran
Adipati Balitar Irodikromo (Mangkunegoro III) 1645 – 1677 (terjadi perang
Trunojoyo)
9. Pangeran
Toemenggoeng Balitar Toemapel 1677–1703
10. Raden
Ajoe Poeger 1703–1704 (terjadi pemberontakan Untung Suropati. RA Puger mengikuti
suaminya ke Kraton Kartasura)
11. Pangeran
Harjo Balater 1704 – 1709 (Sebagai saudara dan Menggantikan RA Puger)
12. Toemenggoeng
Soerowidjojo 1709 – 1725
13. Pangeran
Mangkoedipoero 1725–1755 (terjadi Palihan Nagari Yogyakarta dan Surakarta,
Madiun di bawah Pemerintahan Yogyakarta, kemudian diangkat Raden Ronggo Prawiro
Sentiko oleh Hamengku Buwono I sebagai Bupati Madiun bergelar Ronggo
Prawirodirjo I, berkedudukan di Istana Kranggan )
14. Raden
Ronggo Prawirodirdjo I 1755 – 1784
15. Pangeran
Raden Mangundirdjo (Ronggo Prawirodirdjo II) 1784–1795 (Berkedudukan di
Istana Kranggan dan Wonosari)
16. Pangeran
Raden Ronggo Prawirodirdjo III 1795–1810 (Berkedudukan di Istana Wonosari,
Maospati dan Yogyakarta)
17. Pangeran
Dipokoesoemo 1810 – 1820
18. Raden
Ronggo Prawirodiningrat 1820–1822 (beliau saudara lain ibu dari Bagus
Sentot Prawirodirjo)
19. Raden
Toemenggoeng Tirtoprodjo 1822 – 1861
20. Raden
Mas Toemenggoeng Ronggo Harjo Notodiningrat 1861–1869 (karena kekuasaan
Belanda, Bupati Notodiningrat hanya menjadi Kepala Kantor Pemerintahan Kolonial
/ Rijkbestuur )
21. R.M.
Toemenggoeng Adipati Sosronegoro 1869 – 1879 (sebagai Rijsbestuur)
22. Raden
Mas Toemenggoeng Sosrodiningrat 1879–1885 (Belanda membagi Karesidenan
Madiun menjadi lima regenschappen yang masing-masing punya kedudukan yang sama,
yaitu Madiun, Magetan, Ngawi, Ponorogo dan Pacitan )
23. Raden
Arjo Adipati Brotodiningrat 1885–1900
24. Raden
Arjo Toemenggoeng Koesnodiningrat 1900–1929 (muncul sekolah-sekolah formal
di desa yang dikenal sebagai Volk School selanjutnya disebut Vervolk School
selama 2 tahun, tahun 1912 dibuka di Kertohardjo yaitu Sekolah Kartini. Tahun
1918, Kabupaten Madiun di pisah dengan wilayah perkotaan setelah adanya
Gemeente Ordonatie berdasar Peraturan Pemerintah 20 Juni 1918)
25. R.M.
Toemenggoeng Ronggo Koesmen 1929 – 1937
26. R.M.
Toemenggoeng Ronggo Koesnindar 1937–1953 (Jepang masuk ke Madiun)
27. Raden
Mas Toemengoeng Harsojo Brotodiningrat 1954-1956
28. Raden
Sampoerno 1956 – 1962 (sebagai Pejabat Bupati)
29. Kardiono,
BA 1962 – 1965 (Partai Komunis Indonesia mendapat suara terbanyak dan
Bupatinya R. Kardiono, Hilang dituduh tersangkut G30S/PKI)
30. Mas
Soewandi 1965 – 1967
31. H.
Saleh Hassan 1967 – 1973
32. H.
Slamet Hardjooetomo 1973 – 1978
33. H.
Djajadi 1978 – 1983
34. Drs.
H. Bambang Koesbandono 1983 – 1988
35. Ir.
S. Kadiono 1988 – 1998
36. R.
H. Djunaedi Mahendra, SH. M.Si 1998 – 2008
37. H.
Muhtarom, S.Sos 2008-2013
Sebelum meletus
Perang Diponegoro, Madiun belum pernah di jamah oleh orang-orang belanda atau
eropa lainnya. Namun dengan berakhirnya Perang Diponegoro, belanda menjadi tahu
potensi daerah Madiun. Terhitung mulai tanggal 1 Januari 1832, Madiun secara
resmi dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda dan dibentuklah suatu tatanan
pemerintahan yang berstatus karesidenan dengan ibu kota di Desa Kartoharjo
(tempat istana Patih Kartoharjo) yang berdekatan dengan istana Kabupaten Madiun
di Desa Pangongangan.
Sejak saat itu mulai
berdatangan Bangsa Belanda dan Eropa lainnya, yang berprofesi dalam bidang
perkebunan dan perindustrian, yang mengakibatkan munculnya berbagai perkebunan,
yaitu perkebunan tebu dengan pabrik gulanya di PG. Pagotan, PG. Kanigoro, PG.
Rejoagung, PG. Purwodadie di Glodok, PG.Soedono di Geneng, PG. Redjosarie di Kawedanan,
perkebunan teh di Jamus dan Kare, perkebunan kopi di Kandangan Kare, perkebunan
tembakau di Pilang Kenceng dan lain-lain. Mereka bermukim di dalam kota di
sekitar Istana Residen Madiun.
Semua warga Belanda
dan Eropa yang bermukim di Kota Madiun, karena statusnya yang merasa lebih
superior dari pada penduduk pribumi, mereka tidak mau diperintah oleh
Pemerintah Kabupaten Madiun. Selanjutnya untuk melaksanakan segregasi
(pemisahan) sosial, berdasarkan perundang-undangan inlandsche gementee ordonantie,
oleh Departemen Binenlandsch Bestuur, dibentuk Staads Gementee Madiun atau
Kotapraja Madiun berdasarkan Peraturan Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal
20 Juni 1918, dengan berdasarkan staatsblaad tahun 1918 nomor 326.
Pada awalnya,
walikota (burgemeester) dirangkap oleh asisten residen merangkap sebagai voor
setter, yang pertama yaitu Ir. W. M.
Ingenlijf, yang selanjutnya diganti oleh Demaand hingga tahun 1927. Setelah tahun 1927 sampai dengan
sekarang.
Urut-urutan walikota
yang pernah memimpin Kota Madiun adalah sebagai berikut :
1. Mr. K. A. Schotman
2. Boerstra
3. Mr. Van dijk
4. Mr. Ali Sastro Amidjojo
5. Dr. Mr. R. M. Soebroto
6. Mr. R. Soesanto Tirtoprodjo
7. Soedibjo
8. R. Poerbo Sisworo
9. Soepardi
10. R. Mochamad
11. R. M. Soediono
12. R. Singgih
13. R. Moentoro
14. R. Moestadjab
15. R. Roeslan Wongsokoesoemo
16. R. Soepardi
17. Soemadi (Hilang , dituduh tersangkut
G30S/PKI )
18. Joebagjo (Hilang, dituduh tersangkut
G30S/PKI )
19. Pd. Walikota R. Roekito, BA
20. Drs. Imam Soenardji ( 1968 s.d. 1974 )
21. Achmad Dawaki, BA ( 1974 s.d. 1979 )
22. Drs. Marsoedi ( 1979 s.d. 1989 )
23. Drs. Masdra M. Jasin ( 1989 s.d. 1994 )
24. Drs. Bambang Pamoedjo ( 1994 s.d. 1999 )
25. Drs. H. Achmad Ali ( 1999 s.d. 2004 )
26. H. Kokok Raya, SH, M.Hum ( 2004 s.d. 2009
)
27. H. Bambang Irianto, SH, MM (2009 s.d. 2014
)
Terima kasih Anda telah membaca Babad MADIUN (bagian 13). Mungkin Anda tertarik ingin membaca artikel ©Kejahatan dan Kemuliaan yang lainya?