Isi tuntutan
Pemerintah Hindia Belanda yang akan merobah tatanan Upacara Protokoler Istana
yang sangat merendahkan Raja dan menyerahkan Ronggo Prawirodirjo III kepada
Gubernur Jendral H.W. Daendels dirasa sangat berat oleh Sri Sultan Hamengku
Buwono II, maka tanggal 12-11-1810 Istana Yogyakarta dikepung 1500 pasukan
Belanda dengan persenjataan lengkap, hingga akhirnya tuntutan tersebut
berangsur-angsur terpaksa dilaksanakan oleh Sultan
Hamengku Buwono II, Patih
Danurejo II diangkat kembali menjadi Patih Kerajaan, sedangkan Patih
Notodiningrat diturunkan jabatannya menjadi Bupati Dalam. Tanggal 13-11-1810
mulai dilaksanakan tuntutan untuk merubah upacara istana dan memerintah Ronggo
Prawirodirjo III untuk datang ke Istana Gubernur Jendral di Bogor. Dalam hati Ronggo Prawirodirjo III, jika memenuhi perintah Sultan (ayahnya) untuk menghadap ke Belanda di Bogor, berarti menyerah dan mau dijajah, apalagi Ronggo Prawirodirjo III telah menyadari bahwa Belanda memang menginginkan kematiannya, namun jika tidak memenuhi , Sultan akan menderita karena harus memenuhi keinginan Gubernur Jendral Belanda.
Ronggo Prawirodirjo
III memilih meninggalkan istana Yogyakarta kembali ke Maospati dan menetapkan
keputusannya untuk “Melawan Pemerintah Belanda” untuk mengelabuhi Belanda, beliau
menulis surat kepada Van Broom dan Sultan. Surat kepada Van Broom menyebutkan
bahwa beliau akan memenuhi permintaan Belanda untuk menghadap Gubernur Jendral
di Bogor. Adapun surat khusus kepada ayahandanya (Sultan) disampaikan melalui
Tumenggung Notodiningrat dan Tumenggung Sumodiningrat, beliau suatu malam
menjelang kepergiannya datang ke rumah Raden Tumenggung Notokusumo, pada malam
itu Raden Tumenggung Notodiningrat dan Sumodiningrat (Putra Tumenggung
Notokusumo) berada di tempat tersebut. Ronggo Prawirodirjo III menyatakan bahwa
beliau sudah tidak tahan dengan tipu muslihat Patih Danuredjo II, beliau pasti
ditangkap dan di buang oleh Belanda. Oleh karena itu kehendaknya hanyalah
mengikuti istrinya yang telah meninggal dunia, beliau bersedia mati
bersama-sama Belanda.
Ronggo Prawirodirjo
III akan mengadakan perang gerilya terhadap Belanda di wilayah Mancanegara
Timur. Selanjutnya beliau minta agar istananya dijaga dan jembatan-jembatan
yang menuju Kabupaten Madiun agar dirusak. Beliau juga minta agar rencananya
itu di beritahukan kepada Sultan agar mendukung perlawanannya terhadap Belanda.
Tanggal 20-11-1810, Bupati Madiun Memproklamasikan “Perang Melawan Pemerintah Belanda” mendengar pernyataan tersebut H.W Daendels sangat terkejut. Tanggal 21-11-1810, Ronggo Prawirodirjo III tiba di Maospati diikuti oleh 300 prajurit Yogyakarta, dalam perjalanan beliau telah mengadakan pengrusakan dan pembakaran di Surakarta, yang dianggap kaki tangan Belanda. Beliau menyerukan ajakan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda kepada semua rakyat Mancanegara Timur dan masyarakat Tionghoa. Beliau menggunakan gelar baru ”Susuhunan Prabhu ing Alogo” dan Patih Madiun Tumenggung Sumonegoro mendapat gelar ”Panembahan Senopatining Perang” 14 Bupati bawahannya mendapat gelar “Pangeran”
Tindakan pertama,
untuk memperluas medan perang, Ronggo Prawirodirjo III mengirim surat kepada
Bupati Mancanegara Barat, Bupati Mancanegara Pesisir Utara, dan Para Bupati
diwilayah tersebut, Isi surat itu adalah:
1. Agar seluruh Bupati di wilayah Kasultanan
Yogyakarta dan Surakarta mengakui Ronggo Prawirodirjo III sebagai Sultan Madiun
dengan gelar ”Susuhunan Prabhu ing Alogo”
2. Agar seluruh Bupati di wilayah Kasultanan
Yogyakarta dan Surakarta menyokong perjuangannya melawan penjajah Belanda di
Nusantara
3. Agar
orang laki-laki baik Jawa maupun Tionghoa yang militan, bersedia masuk menjadi
tenaga sukarela, mengusir penjajah Belanda
4. Agar penduduk seluruh Nusantara mengetahui,
bahwa Belanda berusaha mengamankan posisi mereka di Nusantara atas raja-raja
daerah, guna terjaminnya kelangsungan hak monopoli Belanda yang menyusahkan
kehidupan rakyat, maka dari itu untuk mengurangi perluasan kekuasaannya segera
dilawan sampai titik darah penghabisan
5. Agar membinasakan pegawai-pegawai Belanda
yang ada terlebih dahulu, perlakuan semena-mena telah dilakukan oleh para
pegawai Belanda, mereka mendapat gaji kecil dari Belanda, maka mereka selalu
bertindak curang untuk memperkaya diri, akibatnya rakyat sangat menderita.
6. Agar
semua memohon berkah Sultan Yogyakarta dan Tuhan Yang Maha Esa, agar mendapat
perlindungan agar menghindarkan Pulau Jawa ini dari kesulitan untuk melawan
penjajah Belanda
Pagi harinya tanggal
21-11-1810, Sultan memanggil semua Pangeran, sentana, para kerabat dan para
Bupati untuk berkumpul, membicarakan perlawanan Bupati Madiun kepada Belanda,
untuk membuktikan bahwa Sultan tidak bersalah maka Sultan melaporkan hal ini
kepada Pemerintah Belanda di Semarang, sebagai bukti Sultan menyerahkan
Notokusumo dan Pangeran Raden Notodiningrat kepada Pemerintah Belanda dengan
syarat apabila Ronggo Prawirodirjo III berhasil ditangkap atau dibunuh, agar
kedua pangeran tersebut di kembalikan ke Istana Yogyakarta.
Menurut buku Babad
Amangku Buwono, penyerahan kedua pangeran tersebut mendatangkan suasana duka
yang mendalam di istana Yogyakarta, mereka ke Semarang diantar oleh Tumenggung
Danukusumo, Patih Danuredjo II, dan Residen Yogyakarta, minister Engelhard dan
nyonya.
Di Semarang pada waktu itu pula, (21-11-1810) sedang berlangsung rapat rahasia antara Gubernur Jendral H.W Daendels dan Panglima Perang Van Broom, yang disusul oleh Patih Danuredjo II, dan Residen Yogyakarta, minister Engelhard dengan keputusan bahwa dalam waktu dekat Sultan Hamengku Buwono II akan di copot dan diganti Putra Mahkota, karena Sultan dianggap telah membantu dan melindungi perlawanan Bupati Madiun, kecuali jika ada keputusan sungguh-sungguh dari Sultan Hamengku Buwono II untuk segera membasmi pemberontakan Bupati Madiun.
Berdasar keputusan
Semarang tersebut, terpaksa Sri Sultan Hamengku Buwono II segera mengirim
pasukan kerajaan yang terdiri dari 1.000 prajurit infanteri dan 12 prajurit
kavaleri di bawah pimpinan Panglima Perang Raden Tumenggung Purwodipuro, di
bantu 2 ahli tempur Belanda yaitu, Letnan Paulus dan Sersan Leberfeld untuk
menangkap hidup atau mati Ronggo Prawirodirjo III. Sedang di pihak Bupati
Madiun hanya terdiri dari 300 prajurit setia di bawah panglima perang
Tumenggung Sumonegoro dan pasukan sukarela yang tak terhitung banyaknya.
Menurut Babad Tanah
Jawa, Kabupaten Jipang dan Panolan yang menjadi pusat pertahanan prajurit
Kasultanan Yogyakarta, berhasil di hancurkan oleh pasukan Madiun. Dalam ekspedisi
ini pasukan Madiun selalu unggul. Tumenggung Purwodipuro adalah seorang yang
penakut, beliau enggan melawan Ronggo Prawirodirjo III, akhirnya pasukan
Kasultanan kembali ke Istana Yogyakarta.
Kegagalan ekspedisi
pertama ini membuat Sultan marah, Tumenggung Purwodipuro di pecat dari jabatan
Bupati Dalam, diangkat panglima baru yaitu, Pangeran Adinegara di bantu Raden
Wirjokusumo, Raden Wirjotaruno, Raden Sosrowidjaya dan Raden Tirtodiwirdjo
untuk memimpin ekspedisi yang kedua, ekspedisi kedua pun gagal, wilayah daerah
Kabupaten Madiun belum terjamah oleh pasukan kasultanan, medan pertempuran
berpusat di perbatasan Ngawi dan perbatasan Magetan.
Ekspedisi ketiga
dibawah pimpinan Pangeran Purwokusumo, ini juga menemui kegagalan, barulah pada
tanggal 7 Desember 1810 diangkat panglima perang Pangeran Dipokusumo (saudara
Pangeran Diponegoro) dengan dibantu Letnan Paulus dan Sersan Leberfeld dengan
12 pasukan kavaleri. Pertempuran dahsyat terjadi di pusat-pusat pertahanan
Kabupaten Madiun dan mampu dikuasai oleh pasukan Pangeran Dipokusumo, pusat
perlawanan tinggal di Kabupaten Madiun. Menurut buku “Overzigt jilid III” bahwa
tanggal 7 Desember 1810, pada malam hari, Istana Maospati, Madiun berhasil
diduduki oleh pasukan Yogyakarta tanpa ada perlawanan. Pangeran Dipokusumo
menduduki Istana Maospati hingga 3 hari tanpa mendapat gangguan dari musuh, hal
ini disebabkan pusat pertahanan telah dipindahkan ke Istanan Raden Ronggo
Prawirodirjo III yang di Wonosari, Madiun.
Tanggal 11 Desember
1810, Istana Wonosari dan sekitarnya berhasil diduduki pasukan Yogyakarta, saat
itu keluarga Bupati Madiun terpisah dengan pasukan induk, pasukan Raden Ronggo
Prawirodirjo III mundur ke arah timur, yaitu ke Kabupaten Kertosono. Oleh
karena sebagian keluarga Raden Ronggo Prawirodirjo III terpisah dengan pasukan
induk maka, 2 adik, beberapa anak dan ibu Raden Ronggo Prawirodirjo III di
tangkap dan di serahkan pada Sultan sebagai tawanan di Yogyakarta.
Tanggal 12 Desember
1810 situasi di Madiun sudah aman, hingga Letnan Paulus leluasa mengadakan
pengamatan terhadap situasi daerah Madiun, yang kemudian hari dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan Belanda. Maka Letnan Paulus adalah orang Belanda
pertama yang mengetahui seluk beluk Kabupaten Madiun.
Sejak 10 Desember
1810, pusat pertahanan Raden Ronggo Prawirodirjo III dipindahkan ke Kertosono,
dengan sisa prajurit 100 orang. Tanggal 13 Desember 1810 Pangeran Dipokusumo
memerintahkan pasukan Yogyakarta mengejar ke Kertosono di bawah perintah Bupati
Wirianagara, Bupati Martolojo, Bupati Judokusumo dan Bupati Sumodiwirjo yang di
dampingi sersan Leberfeld.
Pada tanggal 17 Desember 1810 terjadi pertempuran dahsyat di Desa Sekaran Kertosono, jatuh korban tak terhingga di kedua pihak. Akhirnya Raden Ronggo Prawirodirjo III dan Bupati Sumonegoro dapat berhadapan langsung dengan Pasukan Yogyakarta, seluruh prajurit dan para Bupati tidak ada yang berani dengan Raden Ronggo Prawirodirjo.
Demi nama keluarga
perlawanan dihentikan, yang dihadapi sekarang bukanlah Belanda, tetapi Pangeran
Dipokusumo (masih keluarga). Pendirian Raden Ronggo Prawirodirjo III, lebih
baik mati daripada menyerah kepada Belanda. Terjadi konflik batin dalam diri
Raden Ronggo Prawirodirjo III, Pangeran Dipokusumo tidak berdosa, ia hanya
menjalankan perintah ayahnya, Sultan Yogyakarta yang ditahan oleh Belanda.
Apabila Pangeran Dipokusumo tewas, berarti Belanda amat senang karena duri yang
berbahaya akan lenyap, keinginan Belanda menguasai Kraton Yogyakarta segera
tercapai.
Dengan pertimbangan
yang berat tersebut, Raden Ronggo Prawirodirjo III memilih mati dengan
pusakanya sendiri, yaitu tombak sakti ”Kyai Blabar” dengan perang pura-pura
melawan Pangeran Dipokusumo.
Menurut buku “Sekitar Yogyakarta, karangan Dr. Soekanto yang mengutip dari buku “Aanteekeningen” diutarakan sebagai berikut :
Dalam Babad keturunan
Prawirosentiko tertulis, bahwa Pangeran Dipokusumo diperintahkan oleh Sultan
menangkap Bupati Wedono Ronggo Prawirodirjo III hidup atau mati; atas
permintaan sendiri beliau dibunuh dengan tombak pusaka Kyai Blabar oleh
Pangeran Dipokusumo dalam perkelahian pura-pura antara seorang melawan seorang.
Demikianlah Raden Ronggo Prawirodirjo III menemui ajalnya sebagai korban
Daendels, Van Broom dan Danuredjo II. Apakah beliau harus mati karena masuk
komplotan Pangeran Notokusumo, Notodiningrat dan Ratu Kentjono Wungu ?
Bupati Madiun
merangkap Bupati Wedono Mancanegara Timur telah gugur sebagai kusuma bangsa
tanggal 17 Desember 1810 di Desa Sekaran, Kertosono. Jenazahnya di bawa ke
Istana Yogyakarta dengan upacara kebesaran. Beliau dimakamkan di makam Banyu
sumurup, komplek Makam Imogiri. Atas pertimbangan keluarga pada bulan Februari
1957 oleh Sultan Hamengku Buwono IX, beliau dipindahkan makamnya ke samping
makam isterinya, GKR Maduretno, di Gunung Bancak setelah di semayamkan lebih
dahulu di Masjid Taman Madiun.
Untuk mengisi jabatan
Bupati Madiun dan Wedono Mancanegara Timur maka diangkat sementara Pangeran
Dipokusumo oleh Sultan Hamengku Buwono II untuk mengisi jabatan tersebut, yang
berkedudukan di Maospati, Madiun. Pengangkatan ini dengan pertimbangan atas
jasa beliau. Sesuai adat dan tradisi kerajaan bahwa ahli waris Prawirodirjo
III, khususnya putra sulung bernama Prawirodiningrat masih belum dewasa dan
masih mendapat pendidikan di Yogyakarta, maka kedudukan Bupati Madiun untuk
sementara waktu di pegang Pangeran Dipokusumo
Pangeran Dipokusumo
menjabat dari tahun 1810-1822. Politik pemerintahanya masih melanjutkan politik
Ronggo Prawirodirjo III dengan tunduk sepenuhnya pada Yogyakarta dan tidak
menuruti sepenuhnya permintaan Belanda.
Terima kasih Anda telah membaca Babad MADIUN (bagian 10). Mungkin Anda tertarik ingin membaca artikel ©Kejahatan dan Kemuliaan yang lainya?