1. Prasasti
Sendang Kamal
Prasasti Sendang kamal berlokasi di
dukuh Sumber, Desa Kraton, Kecamatan Maospati, Kabupaten Magetan. Dari jalan
Raya Solo Madiun sekitar 1 km dan ada papan bertuliskan “Prasasti Sendang Kamal
+ 1 km” di kiri jalan. Sebelum masuk ke lokasi situs ini, Anda akan
melihat patung monyet dan gapura yang memperlihatkan tulisan Jawa dan 2 orang
duduk bersila. Lalu saat masuk ke dalam lokasi yang berukuran 35×15 meter ini,
Anda akan melihat 3 batu prasasti, sebuah bangunan Belanda tak beratap, dan
sebuah kolam di belakang bangunan tersebut.
Prasasti ini
sebenarnya berjumlah 4 tetapi menurut buku “Cagar Budaya Prasasti Sendang
Kamal” yang mengadopsi pula dari buku terpercaya, bahwa sebuah lagi dibawa dan
disimpan di Museum Betawi. Padahal, dari keempat batu prasasti yang dapat
dibaca hanyalah yang berada di Museum Betawi ini.Isi prasasti tersebut ada dua
versi, salah satunya adalah bentuk pengabdian punggawa kepada raja dengan
mempersembahkan 400 ekor sapi. Kerajaan yang dimaksud adalah Kerajaan Kediri.
Sedangkan mengapa dinamakan “Sendang Kamal”, ada berbagai versi dan salah
satunya karena kolam yang berada di belakang bangunan Belanda itu pada saat
digunakan mandi oleh salah satu bupati dari Madiun, airnya menjadi jernih yang
warnanya putih kebiru-biruan mirip Telur Kamal (kini sering disebut telur Asin
dari telur bebek).
2. Prasasti
Mruwak (1108 Śaka/1186 M)
Prasasti ini ditemukan oleh Mahasiswa
Jurusan sejarah IKIP PGRI Madiun bulan Juli tahun 1975, saat mengadakan kegiatan
Kuliah Kerja lokal. Yang dibimbing oleh Drs. Koesdim Heroekoentjoro dan Drs.
Arief Soekowinoto.
Prasasti Mruwak. Isi
pokok prasasti ini adalah penetapan Desa Mruwak menjadi sīma. Sebab penetapan
tersebut adalah adanya penyerangan dari pihak luar, sehingga Desa Mruwak
dipindahkan ke tempat yang lebih tinggi dari lokasi semula.
Prasasti Mruwak
terbuat dari batuan andesit (upala prasasti) yang berbentuk blok (balok) dengan
variasi puncak setengah lingkaran. Tinggi prasasti ini 84 cm, lebar 60 cm (atas)
dan 45 cm (bawah), bagian bawahnya berbentuk bunga padma. Prasasti Mruwak
beraksara dan berbahasa Jawa Kuna yang dipahatkan di semua sisinya. Bentuk
hurufnya kasar, tidak teratur serta pada beberapa bagian sudah aus. Sisi
lainnya ditumbuhi lumut dan jamur yang menyebabkan prasasti tersebut rusak
(Nasoichah, 2007:23–24).
Penggunaan kata Mrwak
dalam prasasti masih dipakai hingga sekarang sebagai penyebutan nama Desa
Mruwak. Dari pembacaan, diketahui Prasasti Mrwak berangka tahun 1108 Śaka (1186
M), menyebut tentang desa Mrwak dan nama Digjaya Śastraprabhu. Penyebutan nama
raja ini juga ditemukan pada prasasti lain dengan sebutan Śrī Jayawarsa
Digwijaya Śastraprabhu. Nama Śastraprabhu disebutkan di dalam dua prasasti.
Pertama, Prasasti Mrwak dan kedua Prasasti Sirah Kĕting yang berasal dari Dukuh
Sirah Kĕting, Desa Bandingan, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur yang berangka tahun
1126 Ś (Wardhani,1982:161). Berdasar keterangan dalam Prasasti Mruwak, Desa
Mruwak pernah mengalami perpindahan tempat. Hal ini dikarenakan Desa Mruwak
mendapat serangan dari pihak luar. Seperti dapat dilihat dari isinya, Prasasti
Mruwak yang berupa prasasti sīma diturunkan oleh śrī jaya prabhu yang yang
tidak lain merupakan penguasa wilayah Madiun dan Ponorogo. Peristiwa
penyerangan tersebut disebutkan dalam sambandha dan isi prasasti.
Dilihat dari
identifikasi tempat, diketahui bahwa wilayah kekuasaan Śrī Jaya Prabhu berada
di sekitar Madiun dan Ponorogo (berdasarkan Prasasti Mruwak dan Sirah Kĕting),
yaitu terletak di sebelah barat Gunung Wilis. Sedangkan Desa Mruwak yang
dijadikan sīma sendiri terletak di barat Gunung Wilis dan di tenggara sungai
besar (berdasarkan Prasasti Mrwak). Bagian yang menarik dari Prasasti Mrwak,
bahwa letak Desa Mruwak yang digambarkan dalam prasasti tersebut masih dapat
dibuktikan dengan toponimi saat ini. Sungai besar yang disebutkan dalam
prasasti sampai sekarang masih ada, oleh penduduk setempat dinamakan Kali
Catur. Mengenai perpindahan tempat, Desa Mruwak berpindah dari tempat yang
dekat dengan sungai ke tempat yang lebih tinggi, yaitu dekat gunung dan hanya
berjarak sekitar 1 km. Kondisi tersebut memungkinkan penduduk desa pada masa
itu masih tetap bermatapencaharian sebagai petani sehingga perpindahan ini
tidak terlalu signifikan. Namun apabila dilihat kondisi desa saat ini terdapat
perbedaan penggunaan lahannya, dahulu bertani dengan menggunakan sawah datar
dengan lahan basah karena dekat sungai, kemudian beralih menjadi sawah berteras
karena berada pada lereng gunung. Kondisi yang berdekatan dengan sungai
memungkinkan dahulu masyarakat Desa Mruwak juga mencari ikan selain bertani,
namun ketika berpindah sebagian kegiatannya berubah menjadi berburu di hutan
dan berladang. Penyebutan jenis-jenis binatang hutan seperti kera dan rusa,
serta tanaman-tanaman perladangan seperti tanaman pare di dalam Prasasti Mruwak
menggambarkan dilaksanakannya kegiatan tersebut.
3. Peninggalan
Sejarah Nglambangan
Peninggalan Sejarah
Nglambangan, merupakan situs peninggalan bersejarah yang berlokasi di desa
Nglambangan, kecamatan Wungu, tepatnya berjarak 8 km kearah timur kota Madiun
menuju desa Dungus. Lokasi ini banyak dipergunakan untuk upacara ritual pada
saat bulan-bulan syuro. Di tempat ini terdapat peninggalan-peninggalan pada
jaman Majapahit, yang antara lain berupa; Pura Lambangsari, Pesiraman dan
tempat-tempat yang dianggap keramat oleh warga sekitarnya, tempat-tempat
seperti: Rumah Eyang Kromodiwiryo, Watu Dakon yang dulunya digunakan untuk
menyimpan pusaka, Punden Lambang Kuning, Lumbung Selayur, Sumur Kuno dan Sendang
Jambangan.
Desa ini masuk dalam
wilayah Kecamatan Wungu Kabupaten Madiun. 50% Penduduknya bekerja sebagai
petani dan sisanya adalah pegawai dan pedagang. Tanaman padi merupakan hasil
bumi unggulan dari desa ini,, dalam satu tahun desa ini mampu 3 kali panen
padi, hal itu disebabkan para petani di desa ini menggunakan pompa air untuk
mengairi sawah mereka sehingga walupun musim kemarau para petani di desa ini
tetap bisa menanam Padi.
Ditengah Desa
terdapat sebuah situs yaitu Situs Punden Lambang Kuning atau yang lebih dikenal
dengan nama Punden Nglambangan. Oleh pemerintah Kabupaten Madiun situs ini
telah diakui sebagai peninggalan purbakala, sehingga keberadaanya perlu
dilestarikan. Pohon-pohon yang berada dalam komplek situs ini telah berumur
ratusan tahun, sehingga suasana dalam komplek situs ini amat tenang dan sejuk.
Pada siang hari banyak penduduk desa yang berkumpul dan beristirahat, bahkan
tempat bermain anak-anak.
Pada setiap tahun di
hari Jum’at legi di bulan suro atau Muharam warga desa mengadakan bersihan atau
bersih desa. Biasanya digelar pertunjukan wayang kulit pada malam hari, reog
dan langen beksan tayub pada siang harinya, warga desa berduyun-duyun membawa
nasi tumpeng untuk selamatan sebagai wujud puji syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa atas keselamatan, panen hasil bumi, dan terhindarkan warga desa dari
bencana dan wabah penyakit.
Terima kasih Anda telah membaca Babad MADIUN (bagian 21). Mungkin Anda tertarik ingin membaca artikel ©Kejahatan dan Kemuliaan yang lainya?