Pada masa pemerintahan Demak dan Pajang
wilayah Taman masih berupa hutan belukar, tetapi setelah peperangan Purabaya
dan Mataram usai, Bupati Madiun Pangeran Adipati Pringgolojo 1595–1601
merencanakan membangun istana kabupaten di Hutan Taman, memilih taman karena di
sana ada rawa-rawa yang luas seperti telaga dengan air yang bersih, (sekarang
disebut Ngrowo) Tahun 1703, Pada saat Kasunanan Kartasura, Raden Ayu Puger,
istri Susuhunan Paku Buwono I yang berasal dari Madiun, berkeinginan membangun
Taman sari di daerah ini, maka daerah rawa-rawa ini disebut “Taman”. Tahun
1725, ketika yang memerintah Bupati Pangeran Mangkudipuro, di daerah ini
didirikan makam keluarga dan sebuah masjid untuk pengembangan Agama. Tahun
1784, oleh Sultan Hamengku buwono I, makam Taman ditetapkan sebagai Makam
keluarga Bupati Ronggo Prawirodirjo I dan penerusnya.
Hingga sekarang ada 13 Bupati Madiun yang dimakamkan
di Makam Taman, yaitu :
1.
Pangeran
Mangkudipuro,
2.
Ronggo Prawirodirjo
I,
3.
Ronggo Prawirodirjo
II,
4.
Pangeran Dipokusumo,
5.
Tumenggung
Tirtoprodjo,
6.
Ronggo
Prawirodiningrat,
7.
Ario Notodiningrat,
8.
Adipati Sosronegoro,
9.
Tumenggung
Sosrodiningrat,
10.
Ario Brotodiningrat,
11.
Tumenggung
Kusnodiningrat,
12.
Tumenggung Ronggo
Kusmen, dan
13.
Tumenggung Ronggo
Kusnindar.
Makam Taman juga disebut Makam Karanggan
(Makam Keluarga Ronggo).
Sejak saat itu, dengan piagam bertulis huruf
Jawa Arab (pegon) dengan tinta kuning emas, Desa Taman diberi otonomi luas
dengan Kepala pemerintahan desa bergelar Kyai yang diserahkan kepada Kanjeng
Raden Ngabehi Kiai Ageng Misbach yang saat itu menjadi penasihat Kanjeng
Pengeran Ronggo Prawirodirjo I. Hingga sekarang yang menjabat Kyai Taman
sebagai berikut :
1. Raden Ngabehi Kyai Ageng Misbach
2. Kyai Ageng Moch Kalifah
3. Kyai Moch Rifangi
4. Kyai Donopuro I
5. Kyai Benu
6. Kyai Surat
7. Kyai Donopuro II
8. Kyai Imam Ngulomo
9. Kyai Tirto Prawiro
10. Kyai Raden Kabul Umar
11. Kyai Raden Banuarli.
12. Raden Koento Purnomo (sebagai Kepala Desa biasa sejak
Tahun 1964)
Desa Perdikan Taman juga di beri mandat oleh Kasultanan
Jogjakarta untuk merawat sebilah Tombak Pusaka “Kyai Sidem Pengayom” panjangnya
4 meter.
Pada masa Desa Perdikan Masjid Taman disebut
Masjid Donopuro. Hal itu sesuai dengan julukan para kyai pemimpin Desa Perdikan
Taman. Baru setelah masjid kuno yang dikelilingi makam para mantan bupati
Madiun ini masuk dalam daftar peninggalan cagar budaya tahun 1981, maka namanya
pun diganti menjadi Masjid Besar Kuno Madiun.
Melalui masjid kuno yang beratap joglo dengan
tiga pintu masuk utama inilah syiar agama Islam di wilayah Karesidenan Madiun
di mulai. sejumlah tradisi ke-Islaman yang saat itu menjadi sarana syiar agama
di antaranya perayaan 1 Muharam yang diwarnai dengan pembacaan Al Qur’an serta
sajian makanan jenang sengkolo, nasi liwet, sayur bening, dan lauk-pauk
tradisional seperti tahu dan tempe. sayur bening yang disajikan pada malam 1
Muharam memiliki arti kebeningan jiwa. Sedangkan nasi liwet berarti kebeningan
atau kejernihan jiwa itu diharapkan dapat mengental di hati. Jenang sengkolo
memiliki arti adanya harapan agar dijauhkan dari musibah. Sedangkan lauk tahu
tempe mewakili makanan khas yang digemari rakyat kebanyakan. Selain menyajikan
aneka makanan tersebut bagi jemaah dan warga sekitar, masjid juga menggelar
seni Gembrung, berupa senandung sholawat yang diiringi alat musik sejenis jidor
dan lesung (alat untuk menumbuk padi). Namun sekarang seni itu sudah hampir
musnah dan tak pernah diadakan lagi. Yang masih tersisa adalah Grebeg Bucengan
(tumpengan) saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
Sampai saat ini masjid kuno tersebut tidak
pernah direnovasi sama sekali, kecuali hanya penambahan kanopi jika jemaah
membeludak. Dikatakan, baik bangunan dalam masjid maupun pendopo joglo masjid
merupakan bangunan utama masjid kuno tersebut.
Terima kasih Anda telah membaca Babad MADIUN (bagian 15). Mungkin Anda tertarik ingin membaca artikel ©Kejahatan dan Kemuliaan yang lainya?