Bupati Madiun
Pangeran Raden Ronggo Prawirodiningrat adalah putra ke enam Ronggo Prawirodirjo
III dengan ibu suri GKR Maduretno, saudaranya kandungnya ada sebelas, yakni :
1. RA Prawironegoro,
2. RA Suryongalogo,
3. RA Pangeran Diponegoro,
4. RA Suryokusumo,
5. Raden Adipati Yododiningrat (Bupati Ngawi),
6. Raden Ronggo Prawirodiningrat sendiri (Bupati Madiun),
7. RA Suronoto,
8. RA Somoprawiro,
9. RA Notodipuro, dan
10. RA Prawirodilogo.
Sedangkan dari ibu
selir putri asli Madiun, lahirlah Pahlawan Nasional Raden Bagus Sentot
Prawirodirjo. Beliau sejak kecil hidup dilingkungan istana Yogyakarta.
Pada masa
pemerintahan Ronggo Prawirodiningrat ini, meletus perang Jawa, atau Perang
Diponegoro. Rakyat Madiun dan sekitarnya dari semua golongan mendukung
perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap pemerintahan Belanda. Perang Besar ini
disebabkan karena Bangsa Belanda selalu ikut campur urusan pemerintahan
Kasultanan Yogyakarta dan selalu melakukan penindasan, pemerasan yang tidak
berperi kemanusiaan, hingga rakyat semakin menderita.
Pendukung Perang
Diponegoro di Kabupaten Madiun, dan di seluruh wilayah Mataram, pada umumnya
terdiri dari :
1. Rakyat
Kebanyakan : mereka sudah tidak tahan atas berbagai Pajak yang tinggi
mencekik hidup mereka (usaha Belanda dalam menutup Kas akibat kekalahan Perang
pada era Napoleon )
2. Golongan
Bangsawan : mereka tidak puas dengan peraturan sewa menyewa tanah yang
hanya dihargai sebagai ganti rugi belaka (praktek Monopoli Belanda)
3. Ulama
dan Santri : mereka merasa tidak senang dengan tingkah laku kaki tangan
Belanda minum-minuman, berjudi, dan madat yang akhirnya merajalela.
Maka dengan munculnya seorang pemimpin yang berani melawan dominasi Belanda, mereka segera menyambut dengan semangat juang yang membara.
Maka dengan munculnya seorang pemimpin yang berani melawan dominasi Belanda, mereka segera menyambut dengan semangat juang yang membara.
Perang Diponegoro
berawal dari rencana Belanda membangun jalan Yogyakarta- Magelang melewati
Muntilan, namun berbelok melintasi Makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo.
Pangeran Diponegoro murka, dan meyuruh bawahannya untuk memcabut patok-patok
yang telah dipasang Belanda.
Rabu, 20 Juli 1825,
Perang meletus dengan adanya serangan mendadak tentara Belanda di rumah
Pangeran Diponegoro dan pamannya Pangeran Magkubumi serta para pendukungnya di
Tegalrejo.
Perang Diponegoro ini
berlangsung 5 tahun, yaitu periode I, tahun 1825-1826. periode II, tahun
1827-1830.
Dari catatan Kapten
Inf. P.J.F. Louw dan Kapten Inf. E.S. De Klerck menyatakan sebagai berikut :
Daerah Madiun dan sekitarnya yang ikut berperang adalah :
- Maospati (tempat Bupati Wedono Madiun yang
memegang komando tertinggi wilayah Mancanegara Timur )
- Wonorejo
- Kranggan atau Wonokerto
- Muneng dan Bagi
- Keniten (Ngawi)
- Magetan (terdiri dari 3 kabupaten)
- Bangil (Ngawi)
- Purwodadi (Magetan)
- Gorang-gareng (terdiri dari 2 kabupaten)
- Ponorogo (terdiri dari 6 kabupaten)
- Caruban
- Lorog (Pacitan)
- Panggul (Pacitan)
Selain daerah
Kabupaten tersebut diatas, masih ada yang kemungkinan bukan di bawah para
Bupati, diantaranya Desa Perdikan, Desa Norowito, Desa Pangrambe, Desa Sentanan
dan Desa Apana yaang terdapat di Pacitan, juga Domini-Domini Kerajaan.
Wonorejo adalah daerah penelitian Belanda yang selanjutnya untuk pertama kali orang-orang Belanda menetap disitu. Kranggan atau Wonokarto atau Tunggul, terletak di Madiun Bagian utara, dekat Kota Ngawi di kiri kanan sungai Madiun. Di sebelah tenggara Tunggul terletak di Kabupaten Muneng dengan Ibukota Muneng ( sekarang masih terkenal) di sebelah selatan Ngawi terdapat Kabupaten Keniten, berbatasan dengan Magetan dengan batas alam sungai Jungki. Purwodadi merupakan Kabupaten termuda dengan lokasi di sebelah selatan Keniten, termasuk wilayah Kabupaten Magetan sekarang. Maospati saat itu merupakan tempat bersemayam Bupati Wedono sebagai komando tertinggi untuk wilayah Mancanegara Timur.
Pada waktu permulaan
perang, bupati di wilayah Madiun yang memimpin perang sebagai Panglima daerah
sebagai berikut :
- Raden Mas Tumenggung Prawirodirjo (saudara
sepupu Pangeran Diponegoro), Bupati Kepala I di Wonorejo Madiun.
- Raden Mas Tumenggung Prawirosentiko, Bupati
kepala II di Tunggul
- Raden Mas Tumenggung Surodirjo, Bupati
Keniten
- Raden Mas Tumenggung Yudoprawiro, Bupati
Maospati
- Raden Mas Tumenggung Yudokusumo, Bupati
Muneng
- Raden Mas Tumenggung Surodiwiryo, Bupati
Bagi
- Raden Ngabehi Mangunprawiro, Bupati
Purwodadi
Dukungan Bupati
Wedono Pangeran Raden Ronggo Prawirodiningrat, masih diragukan oleh Pangeran
Diponegoro, karena beliau walaupun anti Belanda namun masih setia pada Sultan
Yogyakarta. Usia Ronggo Prawirodiningrat waktu itu baru 21 tahun, maka dalam
menjabat Bupati Wedono, beliau masih di dampingi oleh beberapa Bupati yang
sebagian besar ikut berperang mendukung Pangeran Diponegoro.
Pemimpin peperangan
yang berasal dari Madiun terdiri dua orang yaitu : Mas Kartodirjo dan Raden
Tumenggung Mangunprawiro, putra Tumenggung Mangunnegoro yang telah gugur dalam
medan perang, selaku panglima perang Pangeran Diponegoro. Raden Tumenggung
Mangunprawiro menggantikan kedudukan sebagai Bupati dan Panglima perang,
walaupun secara yuridis adiknya bernama Raden Tumenggung Yudodipuro yang
menjadi Bupati Purwodadi kemudian.
Awal perang terjadi
di Kota Ngawi, Kawuh, Gerih dan Kudur Bubuk semuanya di perbatasan Kabupaten
Madiun.
Catatan harian, Letnan Jendral De Kock, tanggal 8 Agustus 1825, berdasar laporan spionase, bahwa Kabupaten Madiun, Caruban dan Magetan sudah mengumpulkan pasukan terpilih lengkap dengan berbagai senjata tempur di bawah Panglima Mas Kartodirdjo dan akhir Agustus 1825, tujuh Bupati wilayah Kasunanan Surakarta mulai tidak setia pada Belanda.
Van Lewick, Residen
Rembang staf diplomatik Belanda pada Bulan November 1825 berusaha untuk
mengadakan perdamaian dengan mengundang bupati-bupati di wilayah Madiun, yaitu:
Madiun, Maospati, Magetan, Muneng dan Gorang-Gareng dengan iming-iming
tertentu, diharap semua Bupati tidak membantu Perang Diponegoro dan mengakui
pemerintahan Hindia Belanda. Usaha Van lewick ini gagal karena mereka tetap
menghormati sikap Bupati Wedono Madiun.
Setelah usahanya gagal, Van Lewick mengirim satu detasemen tentara dibawah Kapten Infanter Theunissen dan diperkuat lagi dengan berbagai satuan lapangan dari Surabaya.