PEMBERONTAKAN PKI DI MADIUN 1948
Dimulai ketika
kabinet Hatta melakukan perintah untuk merasionalisasi dan reorganisasi (rera)
tentara pada Kementrian Pertahanan dan Markas Besar Tertinggi Angkatan Perang
sampai ke eselon terbawah. Rasionalisasi
adalah proses dimana individu membangun logika yang benar (sistematis) untuk
digunakan pada keputusan, tindakan atau keteledoran dimana hal ini berangkat,
lewat sebuah proses mental yang berbeda. Dimana tentara-tentara yang
berperilaku buruk dikembalikan ke kampung halaman atau dikirim ke desa-desa
terpencil untuk menjadi petugas keamaan dan petani. Hatta melakukan
rasionalisasi bukan karena tidak ada alasan, tapi pemerintah tidak sanggup
membiayai banyaknya tentara yang dimiliki negara setelah berhasil merebut
kemerdekaan dan menindak lanjuti perjanjian Renville agar secepatnya membentuk
Negara Serikat Indonesia.
FDR (Front Demokrasi
Rakyat terdiri dari PKI, partai buruh, Pesindo dan lain-lain) yang telah ikut
ambil adil dalam pengkaderan tentara-tentara merasa dilucuti oleh kabinet
Hatta. FDR yang notabene adalah pengikut gerakan Moscow (Gerakan Komunis),
menyusupkan ideologi-idelogi komunis kepada tubuh tentara lewat pengkaderan
itu. FDR menyatakan kalau 35% tubuh TNI di bawah kekuasan FDR, mereka
beranggapan kalau rasionalisasi adalah upaya pelucutan kekuatan FDR dan
melemahkan kekuatan negara. Karena sebagian besar laskar-laskar yang terkena
rasionalisasi adalah yang beraliansi dengan PKI.
Setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai organisasi yang
membina kader-kader mereka, termasuk golongan kiri dan golongan sosialis.
Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai Sosialis
Indonesia (PSI) juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok
Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Yogyakarta.
Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti
D.N. Aidit, Syam Kamaruzzaman, dll. kemudian juga dari kalangan militer, bahkan
beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Joko Suyono, Letkol Sudiarto
(Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Soeharto (Komandan Brigade X, Divisi
III. Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreis III, dan menjadi Presiden RI),
Letkol Dahlan, Kapten Suparjo, Kapten Abdul Latief dan Kapten Untung Samsuri.
Pada bulan Mei 1948
bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha, Musso, kembali dari Moskow, Rusia.
Tanggal 11 Agustus, Musso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali
posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia.
Musso yang memuji-muji Rusia dan menyatakan bahwa Rusia mengakui RI dan tidak pernah mengakui kedaulatan Belanda di Indonesia. Rusia yang selama ini berseberangan antara Amerika dan satu-satunya negara yang ditakuti Amerika. Pernyataan-pernyataan Musso itu berakibat meningkatkan citra FDR di mata masyarakat dan memberi angin segar kepada FDR. Pertemuannya dengan presiden berbuahkan hasil, presiden meminta Musso untuk membantu memperkuat negara dalam melancarkan revolusi. Akhirnya dia disibukan dengan membakar semangat rakyat untuk menentang kapitalis dan imprealis.
Dibalik itu semua Musso memiliki tujuan terselubung yaitu menginginkan Indonesia bersatu dengan Soviet untuk menghancurkan blok imperialis pimpinan Amerika Serikat. Demi mewujudkan itu Musso memberikan thesisnya dalam sebuah rapat PKI (26-27 Augustus 1948) yang berjudul “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”. Diterimanya thesis itu tanggal 31 Agustus 1948 PKI membuat gebrakan dengan dibubarkannya FDR untuk bergabung ke PKI dengan begitu anggota yang awalnya cuma 3.000 orang naik pesat menjadi 30.000.
·
Pembentukan Pasukan PKI
Pembentukan kekuatan
PKI sejak proklamasi Republik Indonesia dideklarasikan oleh Soekarno-Hatta,
untuk memberontak bukanlah isapan jempol belaka. Sebelum pemberontakan di
Madiun terjadi, PKI telah melakukan upaya pemberontakan di daerah strategis,
seperti peristiwa Serang (1945), peristiwa Tangerang (1945), peristiwa tiga
daerah (Brebes, Pekalongan dan Tegal) (1945) dan persitiwa Cirebon merupakan
wujud nyata sebuah upaya pemberontakan PKI akan kedaulatan negara Indonesia.
Mereka melakukan
upaya pemberontakan karena ingin mendirikan soviet di Indonesia, mereka tidak
menghiraukan bahwa seluruh elemen bangsa sedang berjuang menegakkan
kemerdekaan. Walaupun peristiwa-peristiwa di atas berujung kekalahan, mereka
tiada hentinya menegakan idiologinya. Ini bukti tekat keras mereka untuk
merealisasikan idiologi komunis.
Demi mewujudkan
berdirinya kekuatan bersenjata di pihak PKI, orang-orang komunis menyusun
organisasi kelaskaran terdiri dari Pesindo, Laskar Merah, Laskar Buruh, Laskar
Rakyat, Laskar Minyak, TLRI (Tentara Laut Republik Indonesia) sampai ke TNI.
Mereka mendapatkan senjata ketika Mr. Amir Sjarifuddin mendapat jabatan Perdana
Menteri. Mr. Amir Sjarifuddin adalah salah satu dedengkot PKI, ketika menjabat
dia memprioritaskan pembagian fasilitas berupa senjata-senjata lebih kepada
laskar-laskar yang beraliansi kepada PKI.
Peristiwa Madiun
(Madiun Affairs) adalah sebuah konflik kekerasan atau situasi chaos yang
terjadi di Jawa Timur bulan September–Desember 1948. Peristiwa ini diawali
dengan diproklamasikannya negara Soviet Republik Indonesia pada tanggal 18
September 1948 di Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia
dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifuddin.
Pada saat itu hingga
era Orde Lama peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun (Madiun Affairs), dan
tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Baru
di era Orde Baru peristiwa ini mulai dinamakan pemberontakan PKI. Bersamaan
dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun, baik
itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat
dan agama.
Pada awal konflik
Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan untuk menumpas
pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh pemerintah
Republik Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan memperhitungkan, Belanda
akan segera memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan serangan total
terhadap kekuatan bersenjata Republik Indonesia. Memang kelompok kiri termasuk
Amir Syarifuddin Harahap, tengah membangun kekuatan untuk menghadapi Pemerintah
RI, yang dituduh telah cenderung berpihak kepada AS.
Pada saat kekosongan pimpinan
TNI di Jawa Timur, orang-orang komunis menyadari adanya kesempatan untuk
melakukan dialokasi atau pemindahan pasukan-pasukan PKI untuk mendekati Madiun.
Entah sejak kapan Madiun direncanakan sebagai daerah basis PKI, ini membuktikan
betapa rapinya organisasi dalam tubuh PKI. Madiun mempunyai wilayah yang
stategis baik dari segi ekonomi, topologi daerah dan militer terutama angkatan
udara karena adanya lapangan udara Iswahyudi. Banyak pabrik gula seperti, PG
Rejoagung, PG Kanigoro, PG Pagotan, PG Redjosarie Gorang-gareng, PG Sudono
Geneng, PG Purwodadie Glodok dinilai memenuhi standar ekonomi. Adanya bengkel
kereta Api yang letaknya dekat dengan PG Rejoagung dan lintasan kereta api yang
menghubungkan Surabaya – Jakarta ini juga memberikan nilai lebih kota Madiun.
Topologi daerah yang diapit 2 Gunung, Gunung Willis dan Gunung Lawu juga
merupakan wilayah strategis untuk bertahan dari serangan dan melarikan diri.
·
Serangan PKI
Kubu PKI tidak
langsung menyerang kota Madiun dengan senjata tapi dengan sering melakukan
rapat-rapat untuk melakukan reorganisasi yang dihadiri Musso dan Mr. Amir
Sjarifuddin. Sebelum rapat dimulai tanpa disadari tiba-tiba muncul pasukan
berbaju hitam-hitam yang semakin hari semakin banyak yang tidak diketahui
asalnya. Pasukan berbaju hitam-hitam selama
sebelum rapat berlangsung bertempat tinggal di gedung-gedung sekolah yang
kebetulan libur. Setelah rapat umum selesai, mereka mulai unjuk gigi. Setiap
sudut kota Madiun dijaga oleh pasukan berbaju hitam, kawasan-kawasan strategis
pun tak luput mereka jaga seperti pasar, alun-alun, stasiun kereta api dan
jembatan-jembatan. Setiap orang yang mau masuk kawasan strategis itu selalu
digeledah oleh pasukan berbaju hitam.
Gerak-gerik pasukan
hitam membuat warga kota Madiun ketakutan. Bagaimana tidak ketakutann, lawan
politik dan pamong praja diculik dan dibunuh. Ketua PNI, walikota, patih
Madiun, camat Manisrejo, camat Jiwan, camat Kebonsari, camat Takeran dan
lain-lain mereka diculik oleh pasukan hitam. Di Magetan Bupati dan patih dibunuh
secara mengerikan. Kepala kepolisian Karesidenan Madiun Komisaris Besar
Sunaryo, diculik dari kantornya kemudian dinaikan ke atas truk terbuka dan
diarak keliling kota, diiringin barisan demonstran berseragam hitam. Kemudian
dikirim kesuatu tempat yang tidak diketahui dan akhirnya dia tidak pernah
kembali. Disusul Kepala Polisi Distrik Uteran Achmad dan inspektur polisi
Suparlan juga mengalami hal yang sama.
Tanggal 10 September
1948, mobil Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo (RM Suryo) dan mobil 2 perwira polisi
dicegat massa pengikut PKI di Ngawi. Ketiga orang tersebut dibunuh dan mayatnya
dibuang di dalam hutan. Demikian juga dr. Muwardi dari golongan kiri, diculik
dan dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang
melakukannya. Di antara yang menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang
namanya sekarang diabadikan dengan Monumen yang berdiri di tengah alun-alun
Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun.
Tak luput tokoh-tokoh
agama juga menjadi sasaran mereka, seperti Kyai Selo (Abdul Khamid) dan anaknya
dibunuh sedangkan Kyai Zubir dimasukan ke dalam sumur hidup-hidup. Rata-rata
korban pembantaian PKI mayat-mayatnya dibuang begitu saja layaknya bangkai
tikus. Mayat-mayat bergelimpangan di jalan-jalan dan di buang ke sungai Bengawan
Madiun. Korban-korban penculikan diperkirakan tidak ada yang bisa selamat,
mereka dibantai secara keji. Ditusuk, ditembak, disembelih dan dilempar ke
sumur seperti itulah kekejaman PKI di Madiun. Menurut saksi hidup Mariyun Harjo
“Saat itu, suami saya dijemput oleh sekelompok orang dengan alasan akan
melakukan suatu rapat mendadak di daerah Kresek, Kecamatan Wungu. Namun,
sesampai di sana semua orang yang ada disiksa lalu dibuang“. Sepertinya
kata-kata Mariyun mewakili semua kekejaman PKI. Diperkirakan jumlah total
keganasan PKI warga Madiun pada tahun 1948 mencapai ribuan orang.
Setelah berhasil
menduduki kota Madiun PKI mendeklarasikan Soviet Republik Indonesia pada
tanggal 18 September 1948. Menarik, setelah menyatakan sebagai Soviet Republik
Indonesia dalam sekejab Madiun dirubah sistem pemerintahnya seperti Soviet atau
beridiologi komunis. Pajak penduduk ditiadakan, karena dianggap tidak
mencerminkan suatu negara yang demokratis. Tetapi rakyat diwajibkan
mendaftarkan beberapa jumlah emas dan permatanya kepada penguasa. Tidak
seorangpun dibolehkan memiliki uang lebih dari limaratus rupiah.
·
Penumpasan Pemberontakan PKI di Madiun
Setelah mengetahui
adanya pemberontakan di Madiun presiden berseru “Tidak sukar bagi rakyat, Pilih
Sukarno Hatta atau Muso dengan PKI nya” Upaya pendudukan PKI di Madiun ternyata
tidak didukung penuh oleh masyarakat Madiun, jadi stigma negatif kalau masyarakat Madiun adalah pendukung PKI hanya
omong kosong belaka. PKI tidak menyadari kalau upaya pemberontakan mereka
tidak didukung penuh masyarakat Madiun. Setelah mendengar seruan Presiden RI
Sukarno dan sebelum bantuan dari TNI datang para pelajar-pelajar yang tergabung
dalam TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar), TGP (Tentara Geni Pelajar)
ataupun TP (Tentara Pelajar) mereka langsung menentang tindakan Musso.
Mengetahui
pelajar-pelajar menentang rencananya, asrama TRIP diserbu dan dilucuti senjatanya
yang mengakibatkan pelajar bernama Mulyadi tewas karena ditusuk bayonet tentara
Pesindo (Salah satu laskar PKI). Mengetahui kejadian itu pelajar-pelajar
membentuk organisasi bernama PAM (Patriot Anti Musso) untuk melawan tindakan
politik Musso.
Karena Musso tidak
merasa mendapatkan dukungan dari pelajar-pelajar, Musso membujuk mereka dengan
janji menggratiskan biaya sekolah. Tentunya rayuan ini ditolak mentah-mentah
oleh pelajar, mereka mengetahui kalau janji-janji itu palsu. Setelah ajakan
Musso gagal segera mereka mendatangi makam Mulyadi meneriakan yel-yel anti
Musso dan menyanyikan “temanku pahlawanku”.
Ditengah perjalanan
pulang mereka mendapat kejutan, mobil mereka dicegat tentara Pesindo. Senapan
mesinpun dihadapkan kepada mereka. Tapi bukanya takut tapi malah mengejek dan
menantang tentara Pesindo. “Kalau berani satu lawan satu” anehnya dengan
senapan mesin tentara Pesindo malah ketakutan.
Melihat keutuhan
negara sedang dirong-rong oleh PKI, jendral besar Indonesia Panglima Sudirman
langsung memberikan langkah kongkrit. Kolonel Gatot Jawa Barat dan Kolonel
Soengkono Jawa Timur diperintah Sudirman untuk menumpas pemberontak. Saat itu
jendral Sudirman tidak dapat memimpin serangan karena sakit, maka dipilihlah
Kolonel A. H. Nasution, Panglima Markas Besar Komando Jawa (MBKD) sebagai
pimpinan serangan.
Jendral Sudirman
memerintahkan kepada mereka untuk menumpas pasukan pendukung Musso dalam 2
minggu. Kenyataanya pasukan inti PKI hancur lebur dalam waktu singkat. Mereka
dikepung pasukan TNI dari sisi barat yang dipimpin kolonel Gatot Subroto dan
sisi timur dipimpin kolonel Soengkono, serta pasukan Mobile Brigade Besar (MBB)
Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.
Kekuatan pasukan
pendukung Musso digempur dari dua arah : Dari barat oleh pasukan Divisi II di
bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer
Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari
Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di
bawah pimpinan Kolonel Sungkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa
Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobiele Brigade Besar (MBB)
Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.
Panglima Besar
Sudirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas
pasukan-pasukan pendukung Musso dalam waktu 2 minggu. Memang benar, kekuatan
inti pasukan-pasukan pendukung Musso dapat dihancurkan dalam waktu singkat.
Tanggal 30 September 1948, Kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan
Republik yang datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat,
bertemu di Hotel Merdeka di Madiun. Namun pimpinan kelompok kiri beserta
beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan diri ke beberapa arah,
sehingga tidak dapat segera ditangkap.
Baru pada akhir bulan
November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Musso tewas atau dapat
ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Mr. Amir Syarifuddin
Harahap, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948, di makam
Ngalihan, atas perintah Kol. Gatot Subroto.
Untuk mengenang jasa
pejuang Pemerintah Madiun membangun monumen disebut Monumen Kresek di Desa Kresek,
Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun. Kerena tempat itu pusat pembantaian masal
tawanan-tawanan PKI.
Tulisan ini kami
susun berdasarkan sumber utama “Buku Sejarah Kabupaten Madiun Tahun 1980” serta
kami tambahkan beberapa artikel yang ada di sites, blog para pecinta sejarah
Madiun dan juga dari buku/catatan atau referensi-referensi lain. Sebelumnya
kami minta maaf apabila teman-teman blogger merasa artikelnya telah kami kutip
ke dalam tulisan ini. Kami hanya berupaya untuk ikut melestarikan dan mempopulerkan
sejarah perjuangan nenek moyang kita, agar generasi muda sekarang mengetahui
dan akhirnya ikut nguri-uri semua yang telah di wariskan kepada kita. Kami
berharap generasi muda khususnya di Madiun dan sekitarnya tidak melupakan dan
bahkan menganggap rendah terhadap budaya sendiri (budaya Jawa) di bandingkan
budaya mancanegara.
Semoga dengan semakin banyaknya pecinta sejarah dan budaya di Madiun, maka semua cerita sejarah dan budaya yang ada di Madiun sekitarnya akan semakin banyak terungkap, terlepas adanya pro-kontra dan perbedaan-perbedaan. Terima kasih