“Madiun sudah bangkit
Revolusi sudah dikobarkan
Kaum buruh sudah melucuti polisi dan tentara Republik
Pemerintahan buruh dan tani yang baru sudah dibentuk”
Revolusi sudah dikobarkan
Kaum buruh sudah melucuti polisi dan tentara Republik
Pemerintahan buruh dan tani yang baru sudah dibentuk”
Pemberontak. Inilah kesan yang pertama kali ditangkap oleh sebagian
besar bangsa Indonesia terhadap Musso. Label ini melekat setelah ia
dituduh sebagai pemimpin pemberontakan PKI di Madiun pada September
1948.
Namanya pun tenggelam di tengah arus sejarah Indonesia
kontemporer. Perjuangannya selama pendudukan Belanda seolah-olah sia-sia
akibat label pemberontak itu. Apalagi ditambah dengan komunisto-phobi
yang masih melekat kuat pada bangsa Indonesia. Label PKI lah yang
sesungguhnya mengubur semua sejarahnya di Indonesia.
Musso merupakan tokoh pergerakan legendaris yang sezaman dengan Tan
Malaka. Keduanya sama-sama tokoh PKI, tapi berbeda pandangan dalam
melihat peristiwa 1926. Tan Malaka menolak pemberontakan tersebut karena
basis ide dan massa sebagai prasyarat memberontak belum terpenuhi.
Namun, Musso berpendapat beda sehingga mereka pecah kongsi. Meski
demikian, pergerakan mereka tak berhenti. Keduanya bergerak dengan cara
beda, tapi nafas sama, komunisme.
Sejarah mencatat, Musso merupakan salah satu guru politik Sukarno
ketika indekos di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya. Sukarno pun
mengaku banyak belajar darinya, terutama soal marxisme. Musso tetaplah
gurunya meskipun perbedaan politik nan tajam pernah terjadi di antara
keduanya. Sukarno pun tak pernah mengelak soal keberadaanya. Ia tetap
menaruh hormat kepada Musso seperti yang ditulis Cindy Adams dalam
“Sukarno: Penyambung Lidah Rakyat”. “Ajaran Jawa mengatakan, seseorang
yang menjadi guru kita harus dihormati lebih dari orang tua.”
Musso tetaplah Musso. Sejarah kelam yang ditulis rezim Suharto
tentang orang-orang kiri membuat namanya hilang dalam ingatan sejarah.
Hanya ditulis sebagai “pemberontak”, perongrong Pancasila dan UUD 1945.
Sama halnya dengan Tan Malaka yang juga bernasib sama. Namanya pun
dihapus dari sejarah pergerakan kemerdekaan dan diganti dengan
doktrin-doktrin penuh kebohongan oleh rezim Suharto. Sejarah orang-orang
kiri pun dihapus sedemikian rupa, seolah-olah mereka hanyalah pengotor
saja.
Majalah Tempo edisi Senin, 8 November 2010 mengupas tuntas soal sang
legenda ini, Musso. Dengan apik, Tempo membahas banyak hal soal diri
mantan anggota Komintern asal Indonesia ini. mulai sejak masa kecil,
pergerakan kemerdekaan, hingga anak-cucunya sekarang.
SI MERAH DI SIMPANG REPUBLIK
Banyak orang mengenalnya sebagai tokoh Partai Komunis Indonesia dalam
pemberontakan 1926 dan 1948. Yang pertama aksi PKI menentang pemerintah
kolonial Belanda. Yang terakhir gerakan PKI di Madiun, Jawa Timur,
melawan pemerintah pusat.
Dialah Musso, anak Kediri yang ketika kecil dikenal rajin mengaji.
Mendapat pendidikan politik ketika indekos di rumah H.O.S.
Tjokroaminoto, di masa-masa awal kemerdekaan sepak terjangnya tak bisa
diremehkan. Peran politik Musso bisa disejajarkan dengan peran Sukarno,
Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka.
Dia belajar politik di Moskow, Rusia, dan mengamati dari dekat
strategi gerakan komunis Eropa. Ia bermimpi tentang negeri yang adil,
setara, dan merdeka seratus persen. Ia memilih jalan radikal, bersimpang
jalan dengan kalangan nonkomunis, bahkan juga kalangan kiri yang tak
segaris. Tapi radikalisme itu tak membuatnya bertahan. Ia lumat dalam
gerakan yang masih berupa benih. Akhir Oktober, 62 tahun lampau, Musso
tersungkur.
Terima kasih Anda telah membaca MUSSO (Pemimpin Pemberontakan PKI Madiun). Mungkin Anda tertarik ingin membaca artikel ©Kejahatan dan Kemuliaan yang lainya?