Gus Dur lahir dalam keluarga muslim yang sangat terhormat dalam komunitas muslim. Gus Dur lahir dari pasangan K.H. Wahid Hasyim dan Hj. Solehah. Gus Dur adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim adalah mantan Menteri Agama pada masa kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949. K.H. Hasyim Asyari adalah kakeknya dari pihak ayah yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sedangkan K.H. Bisri Syansuri. Adalah kakek Gus Dur dari pihak ibu, merupakan kyai terhormat yang mengajar pesantren pertama untuk kaum perempuan.
Sejarah Gus Dur
Ketika Gus Dur berusia 4 tahun, Ia dan keluarganya pindah ke Jakarta, mengikuti ayahnya yang terpilih menjadi Ketua partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Selang beberapa tahun kemudian, setelah masa perang kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1949, ayah Gus Dur, ditunjuk menjadi Menteri Agama oleh Soekarno. Selama itu pula, Gus Dur mengenyam pendidikan sekolah dasar di Jakarta. Namun, pada tahun 1953, ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim meninggal dunia karena kecelakaan mobil.
Setahun kemudian, Abdurrahman Wahid masuk ke bangku SMP. Ketika itu, Gus Dur malah tinggal kelas, sehingga ibunya mengirim Gus Dur untuk belajar dibawah asuhan K.H. Ali Maksum di Yogyakarta untuk belajar agama, setara dengan SMP. Pada tahun 1957, Gus Dur menyelesaikan pendidikan SMP dan melanjutkan pendidikannya di Pesantren Tegalrejo. Dalam waktu 2 tahun, Gus Dur mampu menyelesaikan pendidikannya dengan nilai diatas rata-rata, karena standar kelulusan biasanya ditempuh dalam waktu 4 tahun.
Pada tahun 1963, Gus Dur melanjutkan kuliahnya di Universitas Al Azhar di Kairo, berkat Beasisiwa yang diterimanya dari Kementrian Agama. Ia juga dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia untuk Mesir. Setahun kemudian, Ia memutuskan untuk berhenti kuliah dari Universitas tersebut karena ketidaksesuain metode belajar.
Pada tahun 1966, Gus Dur melanjutkan studinya di Universitas Baghdad, Irak, masih dengan beasiswa yang diterimanya. Gus Dur menghabiskan waktu 4 tahun hingga lulus dari Universitas Baghdad, tepatnya pada tahun 1970. Kemudian Ia mencoba meneruskan pendidikannya di Belanda. Namun, Belanda tidak mengakui pendidikannya di Baghdad. Kemudian Gus Dur pergi menuju Perancis dan Jerman untuk melanjutkan studi S-2.
Pada tahun 1974, Gus Dur kembali ke Indonesia dan bergabung dengan Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), sebuah organisasi yang terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang disebut “Prisma” dan Gusdur menjadi salah satu kontributor utama. Sementara itu, Gus Dur mecari dan berkunjung ke seluruh pesantren di tanah Jawa. Melihat keadaan pesantren yang memprihatinkan, Gus Dur memantapkan keyakinannya untuk mengembangkan pesantren daripada melanjutkan studinya ke Kanada.
Sembari bekerja sebagai kontributor majalah, Gus Dur juga bekerja sebagai guru di pesantren Jombang. Satu tahun kemudian Gus Dur mengajarkan Kitab Al Hikam di pesantren tersebut. Pada tahun 1977,Gusdur bergabung ke Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktek dan Kepercayaan Islam dengan mengajar materi tambahan syariat Islam dan misiologi.
Beberapa tahun kemudian, Gus Dur mempersunting Sinta Nuriyah sebagai istrinya. Dalam pernikahannya itu, mereka dikaruinia emapat orang anak Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny), Alissa Qotrunnada, Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.
Keterlibatannya di panggung politik ketika Gus Dur diminta oleh kakeknya Bisri Syansuri, untuk bergabung dengan NU. Pengalaman pertama di bidang politik ketika diselenggarakan pemilihan umum legislatif pada tahun 1982, Gus Dur berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah Partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU.
Dua tahun kemudian, pada tahun 1984, Gus Dur terpilih menjadi ketua NU. Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto dan rezim Orde Baru. Mengingat organisasi NU merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia yang mempunya pengaruh besar. Sehingga pemerintah perlu mendapatkan dukungan dari organisasi NU. Pada mulanya, Gus Dur dan rezim Soeharto memiliki hubungan yang baik. Namun masalah muncul ketika Gus Dur mulai mengkritik pemerintahan Soeharto dengan kasus-kasus seperti Waduk Kedung Ombo dan beberapa lainnya yang membuat hubungan antara pemerintah rezim Soeharto dan NU mulai renggang. Selang beberapa tahun kemudian, Gus Dur mulai terang-terangan melawan kebijakan-kebijakan pemerintahan Soeharto.
Pada tahun 1998, Gus Dur membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) setelah jatuhnya rezim orde baru Soeharto. Meskipun partai politik bentukan NU, namun Gus Dur menyatakan bahwa PKB terbuka untuk semua kalangan. Dalam pemilihan umum presiden pada tahun 1999, Gus Dur mencalonkan diri menjadi Presiden dan beliau berhasil memenangkan pemilu dan memangku jabatan Presiden.
Tidak sesuai dengan harapan, selama memangku jabatan Presiden, pemerintahan Gus Dur banyak mengalami masalah dan Gus Dur memili hubungan yang buruk dengan para petinggi pemerintahannya sendiri, termasuk dengan para Jenderal TNI dan juga ditariknya dukungan Amien Rais dan Megawati yang sebelumnya mendukung Gus Dur karena perbedaan prinsip.
Pada tanggal 23 Juli 2001, Gus Dur diturunkan dari jabatan Presiden melalui pemakzulan dalam sidang luar biasa Majelis Permusyawaratan Rakyat dan digantikan wakilnya Megawati Soekarno Putri menjadi Presiden.
Akibat kesehatan yang semakin memburuk, bahkan sejak Gus Dur masih menjabat Presiden, beberapa kali Ia mengalami stroke, diabetes dan gangguan ginjal. Akhirnya, pada tanggal 30 Desember 2009, Gus Dur menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Terima kasih Anda telah membaca Satriya Pinandhita itu adalah GUS DUR. Mungkin Anda tertarik ingin membaca artikel ©Kejahatan dan Kemuliaan yang lainya?